Kalau lagi kesal dan kepala lagi bekerja setegang begini, kelamin tidak bernafsu. Vagina mati rasa.
Aku yakin kau sudah membaca penggalan dari novel lelaki ini yang berjudul Jalan Sunyi Seorang Penulis yang sebelumnya berjudul Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta itu. Yup, dialah laki-laki yang konon darahnya halal engkau minum karena karyanya yang kontraversi itu. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur dan Kabar Buruk dari Langit, itulah judul novelnya yang membuat dia ‘dihajar’ banyak pihak sekaligus melambungkan namanya.
Tidak, aku tidak akan bicara novel tersebut. Aku tak mau latah. Aku juga tidak akan bersoal tentang kebencian Taufik Ismail pada sastra Mazhab Selangkang (SMS) yang konon Muhidin M. Dahlan (nama penulis ini) termasuk di dalamnya. Sebuah karya sastra yang bercerita persoalan selangkang, birahi, dan wilayah ‘lendir’ lainnya sebagaimana Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, atau Binhad Nurrohmat.
Entahlah. Saya tidak tahu apa-apa. Saya bodoh kawan. Hei, jangan paksa saya berbicara perihal yang ‘mengerikan’ itu. No comment istilahnya.
Dia begitu ‘jauh’ rasanya. Ketika saya pertama kali berada di Yogyakarta tahun 2004, bukunya Pelacur-pelacur tadi sudah diributkan orang seiring dengan berkali-kalinya naik cetak. Novel itu salah satu dari sekian buku yang menjadi ‘teman wajibku’ setiap pagi dan sore hari di Rumahlebah. Saya harus membaca buku, setiap hari, sepanjang hari, mengejar banyak ketidaktahuanku pada dunia buku. Kau tahu, aku tinggal jauh di perkampungan terpencil, di mana orang-orangnya hidup nyaris tanpa buku bacaan. Tidak juga sebenarnya, ada Fredy S. Dan novel-novel sejenis bertebaran di mana-mana, yang dibaca bergiliran oleh kawan-kawan menjelang tidur di sudur kamar sambil berebut onani. Dan aku sudah lama bosan dengan bacaan ‘remeh’ semacam itu. Seperti film-filmnya Ineke Koesherawati, Sally Marcelina, setiap bab cerita berujung pada ‘kelamin’.
Bukan sok bijak. Aku sudah membaca eniaraw ketika kelas enam SD, jauh melampaui teman-teman seangkatan. Aku punya teman yang sepuluhtahunan lebih tua dariku yang hampir di setiap dompet mereka ada kartu remi bergambar orang setubuh. Aku menonton laser disk yang menayangkan gambar orang telanjang ketika duduk di bangku SLTP kelas satu akhir? Prestasi? Tentu saja, teman-teman seangkatanku mulai menontonnya lama setelah VCD player bertebaran di setiap rumah di kampungku, ketika aku sudah SMA.
Ah, aku sampai di mana? Ya, Muhidin M. Dahlan, tentang novelnya Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Seleraku aneh barangkali, ketika aku membaca keseluruhan cerita Nidah Kirani itu, aku merasa biasa-biasa saja. Tak ada birahi, tak ada nafsu atau sesuatu yang mengharuskan darahnya halal diminum. Aku berpikir, ini pasti memang cara bacaku yang buruk. Seburuk kabar dari langit, novel berikutnya dari Muhidin.
Bukan! Bukan karena aku tak lagi birahi karena bacaan dan film-film jorok tadi. Aku merasa Nidah Kirani berhak memperlakukan dirinya jadi apa. Aku tak menemukan geliat birahi, gerakan naik turun laki-laki di atas tubuhnya, keluar masuk, beradunya alat kelamin, kecipak airnya, lenguhan nikmat dan kata-kata jorok penuh birahi. Atau karena aku alpa halaman demi halaman yang kubaca. Sudahlah, kau tak usah bertanya ini lagi dan aku tidak akan berbicara sesuatu yang tidak kuketahui pasti.
* * *
Aku pertama kali melihat dirinya pada sebuah foto hitam-putih, sebuah photo close up yang sangat resmi di samping esai panjangnya yang dimuat di sebuah majalah kampus. Tulisan yang panjang dan rumit untuk saya waktu itu. Bukan, bukan lagi soal tulisan. Itulah pertama kali saya melihat sosoknya, sosok Muhidin M. Dahlan, lewat sebuah fotonya.
“Masa orang kayak begini diributkan? Tampangnya biasa aja tuh,” pikirku waktu itu dan kemudian mencoba melupakan dan menguburkannya dalam ingatanku. Masa bodoh dengan polemiknya di mana-mana, aku tak peduli soal darahnya yang kelak akan halal diminum. Toh segalanya ada resikonya kan? Dan dia memilih jalan itu.
Kau tahu, sejak itu dia mulai samar-samar dan menghilang dalam diri saya setelahnya. Dia sudah bolak-balik Yogya dan Jakarta, begitu cerita-cerita sepintas yang pernah kudengar. Dia sibuk di Rumah Bunga, kata yang lain. Tapi aku merasa masa bodoh, tak berniat sedikit pun ingin tahu apa itu rumah bunga. Bukannya aku merasa angkuh atau sombong, tapi bukankah seorang Muhidin begitu tenarnya saat itu? Dan apalah artinya seorang saya di matanya. Seorang bocah yang tak mengerti banyak hal, yang tak paham masalah penerbitan dan selangkangan.
Sampai kemudian bukunya yang entah keberapa terbit lagi, berjudul Adam Hawa aku sempat lagi membacanya. Soal kisah Adam dan Hawa. Memang agak keterlaluan fikirku. Tapi kemudian aku pikir haknya dia menulis buku yang kurus ini mau bicara apa saja. Bodoh amat. Tidak ada masalah buatku. Lalu aku berkata, “Berani sekali ini orang!” Sungguh, aku tidak tahu bicara dalam posisi apa. Benci? Apa urusanku dengan tulisan dia?
Kawanku Muchlis bercerita dia tinggal di Krapyak, dekat dengan Pondok Pesantren (Menulis) Hasyim Asy’ari yang lebih dikenal dengan Kutub yang waktu kukunjungi hampir tiap hari. “Kapan-kapan kau akan kuajak ke sana,” katanya.
Wah.. aku deg-degan. Sumpah jika bertemu dengannya. Tentulah wajahnya sangat menakutkan dnegan kulit legam, gemuk pendek dengan suara bariton. Tentu dia akan bicara satu-satu dan pendek-pendek saja mengingat dia penulis yang sedang banyak dibicarakan.
“Kapan-kapan ajalah...,” kataku mengelak.
Beberapa hari kemudian bukunya dibedah di Kutub. Karena di Kutub ini konon dia pernah pula berguru pada Gus Zainal Arifin Thoha “Dia tak datang, lagi di Jakarta (sombong sekali! pikir saya. Atau sibukkah dia?),” kata Ridwan teman saya yang sama-sama ikut membantu menjual bukunya di emperan kampus, ketika saya semester awal di perkuliahan. Ha, kau tahu aku kuliah sambil berjualan buku, kawan. Tapi itu dulu....
Setelah itu manusia ini hilang lagi. Lenyap begitu saja. Tak pula ada keinginanku untuk mengenalnya lagi karena dia orang sibuk, kawannya Pram dan bolak-balik Yogya-Jakarta. Gila....
* * * *
Siapa Berani Beli Cinta Dalam Karung? Sialan, novel Puthut EA yang rada konyol itu mengantarkan saya lagi pada orang ini. Dalam cerita itu tokoh-tokohnya nyata dan ada, dan si Muhidin termasuk salah satunya. Di sana diceritakan bagaimana dia meledek si Aku dan menantangnya menulis novel dalam beberapa waktu. Dia berani mempertaruhkan laptopnya. Gila... orang kaya juga dia... sampai akhirnya si Aku berhasil bikin novel dan si Muhidin dihadapkan pada kenyataan, menyerahkan laptopnya. Tapi dasar Puthut di novel itu baik hati, dia hanya menyuruh si Muhidin minum bir. Dan dia terpaksa meminumnya dengan sambil memejamkan mata dan diledek teman-temannya.
Kau bayangkan, dia terpaksa minum bir. Hanya bir, dan dia harus menelan bagai obat. Ah, bukankah orang ini menulis banyak soal selangkang, kenapa dengan minuman saja takut. Sebab aku ingat pesan Bang Aji “Perempuan mendekatkanmu pada minuman dan judi.” Nah... wah payah... ledekku.
Suatu hari kawanku bertanya, “Muhidin sudah mati ya?" aku kaget dan berkata inalillahi... O kenapa? “Kau baca aja novelnya. Kayaknya itu novel terakhirnya.” Aku lihat bukunya berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Masa dia mati? Barusan aku baca tulisannya di Media Indonesia tentang kisah seorang ngg.. sifi (kali) yang jatuh cinta pada seorang calon biarawati yang dimuat entah kapan.
Asu!! Makiku. Dia ternyata menipu dan kawanku tertipu. Dasar penulis. "Ini taktik agar bukunya laku," kataku kepada sang kawan. “Maksudmu?” tanyanya. “Dia sengaja bikin pengantar seperti ini agar pembaca percaya dia sudah mati dan orang-orang akan berebut membeli bukunya,” kataku dengan dongkol.
Setelah itu dia kembali hilang. Sampai kemudian Simbah AN Ismanto asu itu menceritakan soal dan pengalamannya di Jakarta dengan Muhidin aku makin penasaran dengan sosok ini. Kayak apa sih dia? Apalagi si Jejen keple itu berbuih-buih mengisahkan si Gus Muh (panggilan yang kemudian akrab dengannya, dan aku memanggil demikian) seolah tanpa ada endingnya. Wahh...!! soal buku dan kerja di Jakarta segala.
Suatu hari di tengah keinginan yang berlebihan bisa bertemu dan bersitatap dengan manusia ‘samar-samar’ ini (dia jarang ada di acara diskusi. Alasannya? Entahlah. Diskusi aku gak mau, sekilas itulah jawabannya dalam buku Jalan Sunyi Seorang Penulis tanpa memberi penjelasan apa-apa) tiba-tiba Ismanto (pake An, kawan) dan Ahmad Muchlish Amrin mengatakan Muhidin mau mengajak saya menggarap dongeng. Saya? Muhidin? Dongeng? Aduh, apa pula ini?
Soal garapan selesai. Tapi bertemu Muhidin? Aduh? Seperti apa ya orangnya? Sangarkah? Ganaskah? Tenangkah? Pendiam? Tak suka tersenyum dan tertawa apalagi berkata-kata? Jangan-jangan dia hanya main tunjuk dan berbahasa isyarat dengan tatapan mata jalang dan tentu aku tak akan berkutik lagi dengannya.
Asuuuuu!! Semuanya salah. Tidak kutemukan ketakutan itu sama sekali. Dan kau tahu, dia yang semula begitu samar, menakutkan, menjijikan, dan bukan urusan saya kini menjadi begitu penting. Tak tahu sebabnya. Tapi setidaknya dialah yang mengajarkan saya memperbaiki blog ini sehingga kau bisa membaca tulisan ini.
Dan Gus Muh, selamat jalan... semoga engkau sampai di rumah dengan selamat. Percayalah Dipa akan memaafkan keterlambatanmu malam ini. Sebuah tugas, engkau bisa beralasan, Oom koto yang ganteng itu minta waktu untuk mengajarkan, eh diajarkan memperbaiki templete blog.
1 comment:
ding...Endingnya ini yang bikin ku mesti singgah...
Gusmuh ternyata 'Suhu'nya ngeblog juga ya..hehehe banyak juga muridmu...
Post a Comment