Hari itu, Ahad 20 Mei 2007, “Jalan Gejayan” di Jogjakarta resmi bersalin nama menjadi “Jalan Affandi”. Persalinan itu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, HUT Kabupaten Sleman, dan peringatan Seabad Affandi (Festival Affandi).
Saya belum mendapatkan apa alasan persisnya pemerintah mengganti nama jalan yang membentang dari utara (Jalan Lingkar Utara Condongcatur) ke selatan (di daerah Demangan, Jalan Solo/Adisutjipto) itu, kecuali bahwa hari itu dilangsungkan sebuah karnaval memperingati Seratus Tahun Affandi. Bahkan dalam proses tukar-ubah (convertion) itu tak ada misalnya semacam selebaran atau form penentuan pendapat rakjat (pepera), khususnya warga yang sudah tinggal di ruas jalan itu.
Jika jalan selama ini diyakini sebagai medan perbenturan kepentingan antara pemerintah yang menciptakan tertib sosial dan warga yang berpeluh-lelah setiap hari untuk mengais ceceran rezeki untuk bisa bertahan hidup, maka dalam proses tukar-ubah nama itu pemerintah memposisikan diri bertindak sebagai penafsir tunggal jalan itu.
Jalan raya kemudian bukan hanya sekadar tempat bagi orang-orang melintas atau distribusi barang, namun juga menjadi arena berlakunya kuasa-kuasa tertentu yang dilakukan rakyat jelata, pemilik modal, hingga pemerintah. Harga diri, kesopanan, uang, kekuatan gertak, ancaman, kekerasan, tipu-menipu, keramahan, serta tolong-menolong hadir bersama-sama di jalan raya. (Gunawan, 2000:3)
Ini kemudian mengukuhkan bahwa “jalanan” adalah panggung komunitas politik yang di atasnya seluruh kepentingan akan berbenturan dan saling mengait. Mengikuti kerangka Clifford Geertz dalam Politik Kebudayaan (1992) atas apa yang disebut politics of meaning, sejarah “Jalan Gejayan” bisa menjadi rujukan bagaimana panggung politik itu digelar. Menurut Geertz, kebudayaan tiada lain satu format pemaknaan yang memberi wujud baru atas pengalaman masyarakat. Adapun politik menjadi panggung atau lapangan bagaimana format itu dipraktikkan.
Sebelum krisis ekonomi dan politik menjelang akhir 1990-an, ruas Gejayan adalah panggung ekonomi dan pendidikan dengan empat kampus terletak di situ, yakni IKIP Jogja (sekarang UNY), Sanata Dharma, Atmajaya, dan UII (Fak Syariah). Tapi ketika tahun 1998, ruas jalan ini menggeser unsur ekonomi lebih ke pinggir dan sepenuhnya menjadikan politik sebagai sentral setelah sebelumnya termarjinalkan.
Puncak panggung politik itu terjadi pada 5 dan 8 Mei 1998 ketika ruas jalan ini lumpuh total ketika demonstrasi mahasiswa yang berlangsung dari siang hingga subuh berakhir ricuh. Selama pendudukan mahasiswa, pot-pot bunga dipecahkan, pepohonan diseret, gardu telepon digerayangi, lampu-lampu jalan ditekuk ke tanah, pembatas jalan dibongkar hingga jalan ini nyaris tak bisa dilewati kendaraan roda empat. Dan kejadian ini pula merenggut nyawa seorang warganya.
Dijadikannya “Jalan Gejayan” sebagai arena politik 1998 itu dipicu oleh sebuah benturan yang tak terdamaikan antara kepentingan politik pemerintah (tuntutan agar Presiden Soeharto turun) dan warganya (masyarakat kampus dan warga sekitarnya).
Kini, setelah sembilan tahun setelah peristiwa heroik itu, ruas “Jalan Gejayan” kembali menjadi panggung politik. Dan kali ini panggung politik kebudayaan berkait dengan konversi nama dari “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi”.
Politik Kebudayaan
Peristiwa konversi “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi” bukan peristiwa kebudayaan biasa, tapi politik kebudayaan. Siapa pun yang mengikuti sejarah Affandi, pasti akan bertemu pada sebuah simpul, bahwa selain sebagai seniman lukis terkemuka, Affandi juga adalah aktivis politik, khususnya politik Partai Komunis Indonesia.
Bacalah halaman muka Harian Rakjat edisi 27 September 1955, tepatnya di bawah masshead-nya, tampak dari kiri ke kanan berjejer foto empat seniman yang dicalonkan PKI sebagai anggota parlemen: (1) Affandi, (2) S Sudjojono, (3) Henk Ngantung, (4) Basuki Resobowo. Foto itu disertai penjelasan profil mereka masing-masing satu paragraf.
Dalam keterangan PKI di edisi Harian Rakjat sebelumnya, 10 September 1955, ada sepuluh seniman yang mereka calonkan di mana mereka adalah "bukan seniman2 jang bisa dikatakan tidak berarti". Menempati urutan pertama adalah Affandi (pelukis). Berikutnya berturut-turut: S Sudjojono (pelukis), Basuki Resobowo (pelukis), Henk Ngantung (pelukis), A. S. Dharta (penyair), Hr. Bandaharo (penyair), Bakri Siregar (kritikus pengarang tonil dan cerita pendek), M Isa (pengarang cerita pendek), dan Hadi (penyair).
PKI sangat membanggakan sikap politik kebudayaan mereka yang longgar atas masuknya seniman-seniman. Partai ini memiliki sikap bahwa seniman yang memilih PKI berarti ada jaminan kebebasan mentjipta dan perbaikan sjarat2 bekerdja. Partai ini memang satu-satunya partai peserta pemilu 1955 yang memasukkan paling banyak seniman dalam pencalonannya, walau calon itu bukanlah anggota resmi partainya. PKI menyebut seniman-seniman yang mereka calonkan adalah “seniman2 tak berpartai kecuali Sudjojono” .
Alasan PKI membuka pintu bagi masuknya seniman adalah "untuk memungkinkan suara para seniman disampaikan langsung kepada Parlemen adalah angin baru, angin jang segar didalam iklim politik ditanahair kita” .
Mereka lalu membanggakan sikap mereka itu dengan sikap partai politik yang lain yang menjadi seterunya. "Kalau saudara lihat daftar tjalon Masjumi misalnja, tak ada seorangpun seniman jang ditjalonkan. Mungkin partai itu beranggapan soal2 kesenian tidak penting bagi haridepan Indonesia. PSI, partai jang menamakan dirinja partai kaum intelektuil, rupa2nja djuga demikian terbatasnja pengertiannja terhadap soal2 kesenian, halmana terbukti dari kenjataan bahwa dari daftar tjalon2nja jang pandjang itu hanja ada seorang seniman jang diadjukan, jaitu Achdiat K Mihardja, pengarang roman ,,Atheis". (Harian Rakjat, 10-09-1955)
Affandi kita tahu tak menolak pinangan PKI yang memang saat itu menjadi partai yang sangat dinamis. Dalam perebutan kursi Konstituante, Affandi terpilih sebagai anggota parlemen dalam Pemilu 1955 bersama Sudjojono, Henk Ngantung, dan AS Dharta.
Pelukis Basuki Resobowo menuturkan bahwa di sidang Konstituante Affandi lebih banyak diam dan bahkan keterusan tidur. Namun ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Affandi berada di komisi Perikemanusiaan yang dipimpin Wikana, teman karib Affandi sejak sebelum Revolusi Agustus. "Kita bicara tentang Perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang Perikebinatangan?" demikianlah Affandi suatu ketika memulai orasinya. Tak ayal, yang mendengar pun ger-geran. Namun Affandi mengatakan itu dengan mimik serius karena ia pelukis yang cukup dekat dengan dunia binatang dan tetumbuhan.
Selain sebagai anggota parlemen dari Fraksi Komunis—yang kemudian dibubarkan Bung Karno menyusul Dekrit 1959, Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dia berada di bagian seni rupa (Lesrupa—Lembaga Seni Rupa) bersama antara lain Basuki Resobowo dan Henk Ngantung.
Menurut Basuki, Affandi bukan manusia politik. Jika berpolitik, sikapnya terlalu naif. Jika ia berpaling kepada rakyat karena jiwa filantropis saja. Dia kasihan kepada massa jelata karena hidupnya terus-terusan menderita yang tanpa diketahuinya bahwa kemiskinan itu disebabkan struktur sosial. Nah, pikiran Affandi itu tak sampai pada keyakinan bahwa harus ada perjuangan untuk merombak sistem masyarakat. Affandi, bersama Sudjojono, di dalam Lekra tetap digolongkan oleh orang-orang seperti Basuki ke dalam kelas manusia borjuis yang hanya menggebrak dan berteriak di lingkungan borjuisnya sendiri; melawan formalitas untuk mengejar kebebasan perseorangan, sebagaimana keyakinan orang-orang futuristik dalam senirupa.
“Affandi tanpa dimengertinya dan disadari telah menjadikan dirinya sebagai faktor penghambat lahirnya manusia baru di Indonesia, manusia yang tidak konyol dan tidak dekaden,” tulis Basuki Resobowo dalam Bercermin di Muka Kaca (cetak ulang Ombak, 2005).
Kejengkelan Basuki kepada kawan karibnya itu bisa dimengerti karena Affandi, sebagaimana digambarkan dalam sebuah video tentang Affandi yang diputar di Troppen Museum (Holland), tetap saja percaya pada mitos sewaktu mau melukis tari Barongan di Bali. Di sana Affandi digambarkan jongkok ngesot bertempuh dan menyembah kepada kepala upacara, lalu bersemadi, dan nyuntigkan bunga di kepala.
Politik berkesenian Affandi memang unik. Dia menjadi anggota fraksi PKI, tapi tidak kemudian menjadi seorang propagandis murni partai karena memang sebelum menjadi anggota Parlemen dan bergabung dengan Lekra, Affandi sudah punya nama besar. Gaya berkeseniannya pun tetap saja ekspreksionis. Gaya abstrak ini tak mudah dipahami oleh orang yang tidak akrab dengan seni lukis. Tentu saja ini “berlawanan” dengan arus besar perupa Lekra yang realis seperti Basuki Resobowo. Dengan jalan dan gaya itu ia kemudian mendapat julukan Maestro Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia. Gaya itu pula yang mengantarnya mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada 1974.
Dari Affandi, kita bisa melihat sisi lain gaya berkesenian aktivis Lekra dan sikap politik kesenian PKI yang selama ini beragam di internalnya. Namun isu keragaman itu kemudian ditekuk, sementara yang terus dikampanyekan adalah sosok seniman Lekra dan aktivis budaya PKI dengan setengah setan setengah manusia.
“Jalan Komunis” Affandi
Sosok Affandi memang sosok yang luwes dan “naif”. Dan justru “kenaifan”nya itu ia bisa diterima oleh banyak pihak. Oleh PKI, nama Affandi jelas diperhitungkan. Karena itu mereka bersatu suara untuk mempercayakan aspirasi mereka diwakili Affandi di Parlemen.
Sementara pada masa Orde Baru tatkala PKI dikubur hidup-hidup dan Lekra dirayah dihabisi, justru Affandi mendapatkan penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1969 serta pada 1978 dianugerahi Bintang Jasa Utama.
Dari sosok Affandi kemudian kita temukan dua jalan dari arus politik kebudayaan yang berseteru itu meluruh. Affandi menjadi pipa pertemuan dari sebuah toleransi kebudayaan yang disuburkan dengan dendam setelah PKI turun ke liang lahat.
Dan nama itu kemudian menjadi monumen baru setelah namanya dibaptis pemerintah menjadi sebuah nama jalan, yakni “Jalan Affandi” di Jogjakarta. Dan ini kali dalam sejarah, nama anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia dan sekaligus aktivis Lekra dijadikan nama sebuah jalan oleh pemerintah.
Paling tidak, konversi itu menabalkan bahwa “Jalan Gejayan” selain sebagai panggung ekonomi dan politik, juga oleh pemerintah menjadi panggung terbuka dilangsungkannya rujuk kebudayaan dan ideologi yang selama puluhan tahun berseteru.
* Esai ini dimuat di Harian Kompas Edisi 10 November 2007 atau bertepatan dengan ulang tahun ke-4 anak saya, Dipa Pinensula Whani. Saya dan anak saya membacanya pertama kali di pagi hari di sebuah parkiran di Jogja dan ia saya tawarkan hadiah ulang tahun. Ia meminta, bukan buku cerita, tapi kaos sepakbola dan kereta yang punya gerbong panjang-panjang sekaligus. Karena honor belum turun, gantinya adalah kunjungan gratis ke stasiun kecil di Kecamatan Gamping Jogja.
No comments:
Post a Comment