Mudik adalah upacara religius tahunan bagi masyarakat dari berbagai kasta. Bahkan terbesar ketimbang upacara haji, baik peminat maupun keterlibatan lembaga negara. Ketimbang haji, upacara mudik juga lebih meriah dan murah. Tak perlu uang 50 juta untuk bisa menunaikannya. Memiliki tenaga yang cukup saja, upacara ini sudah terlaksana, seperti yang dilakukan keluarga Ramadhan yang kisahnya saya baca di Tribun Jogja, 4/9/2011, halaman satu, ketika berteduh di lingkar timur saat memasuki Yogyakarta.
Ramadhan dan keluarganya mudik Semarang-Surabaya dengan becak. Berisi 3 anak dan istri, 8 hari dibutuhkan Ramadhan untuk menggenjot becaknya. Dengan rute yang sama pula, dengan becak yang sama, tapi tertambah muatan satu kepala lagi, Ramadhan mengangkut lagi semua cerita keringatnya di atas becak Surabaya-Semarang.
Mudik membawa kepala masing-masing. Mudik memiliki memori masing-masing. Mudik membawa sukanya sendiri-sendiri, juga serangkaian dukanya. Oleh aparatus negara yang nguri-nguri jalan raya, sukduk itu akan menjadi angka-angka statistik. Tapi bagi saya, mudik saat ini adalah ikhtiar menyambut syawal yang merah.
Sebagaimana setiap pelaku mudik, saya juga melakukan persiapan-persiapan. Buku catatan disiapkan. Buku bacaan penunjang diselipkan dalam ransel. Bekal dicukup-cukupkan. Motor dibereskan agar laik jalan menempuh perjalanan ratusan kilometer.
Dan inilah sobekan dari rangkaian catatan yang terserpih-serpih selama mudik dan kembalinya lagi. Mengganjili ribuan artikel kronik lebaran yang pernah diproduksi. Catatan ini adalah ingatan di ruas jalanan sepanjang 577 kilometer dalam 21 jam, dengan melewati 11 kabupaten di Jawa Tengah dan Timur.
Syawal itu September. September itu terkenang sebagai bulan yang dipungkasi dengan horor ketika gerakan merah kemudian digulung. Dan.... syawal itu merah. Karena itu, jalur mudik yang saya pilih adalah Kabupaten Klaten, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, dan berakhir di Kediri. Sementara arus balik saya bergeser ke tengah: Kabupaten Nganjuk, Madiun, Ngawi, Sragen, Solo, dan Klaten.
Di setiap kabupaten itu saya mengharuskan diri untuk berhenti di Alun-Alun Kota. Selain untuk menegakkan punggung, juga menegakkan ingatan tepat di jantung di mana kota itu berdenyut. Tentang merah yang pernah menyapu kota-kota itu di sebuah masa.
No comments:
Post a Comment