13 June 2008

Aku dan Pamuk

Bagian 1: Percakapan Pada Kereta Tugu-Gambir

::muhidin m dahlan

SNOW
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M Nugrahani
Penerbit: Serambi, April 2008
Tebal: 731 halaman.

9 Juni 2008
Tugu, Jogja. Hari ini aku berangkat ke Jakarta. Menunggangi ekor Taksaka pagi. Bersama Orhan Pamuk (Snow). Aku tak tahu sudah berapa lama pastinya buku ini datang dikirimkan penerbit Serambi ke rak bukuku di lereng Gunung Sempu, Kasihan, Bantul, Yogyakarta; hingga hari ini aku memilihnya untuk menemaniku selama perjalanan membelahi tanah Jawa bagian selatan; sekaligus mengurangi satu "dosaku" kepada penerbit pendonor. Kutinggalkan istri dan sulung yang sudah semalaman meluncur ke tanah kelahiran: KEDIRI; dan putri kecilku yang mengiringiku dengan tangis dan lambaian harap di depan kantor I:BOEKOE di Alun-Alun Kraton Jogjakarta.

Barangkali pilihan ini juga berarti sebagai bentuk penebusan dosa kepada pemberi buntelan yang mempercayakan Pamuk untuk menjadi teman berjalan yang menjanjikan keasyikan.

Aku mengeluarkan sebuah lensa pembesar dari salah satu kantong tas raksasaku bersamaan dengan berderaknya kereta ini menuju tujuan akhirnya: JAKARTA. Lalu kulontarkan kesimpulan sebagai hipotesis awal; bahwa Pamuk, sepanjang perjalanan dalam kereta yang kerap terantuk kalau sudah mau berhenti, sebetulnya ingin berkisah tentang kota yang gugup. Sebuah kota yang terus-terusan disusupi ketegangan yang dibekukan salju. Ia minikopi dari sebuah kolase raksasa Turki yang optimis sekali melepaskan kereta kesilaman ke-Islam-annya dengan memuja secara absolut sekularisme yang dikandung modernisme, sementara di sisi lain berhadapan dengan para pemangku sisa-sisa kejayaan masa lalunya. Kaum yang kaget. Rona kemiskinan yang akut. Lelangut gugup menghadapi kenyataan dari sebuah akrobatik Attaturk yang bergerak semaunya tanpa mau negosiasi dengan masyarakatnya ketika mengumumkan "jalan baru" Turki pada 1924.

Dari Eddy, sebuah SMS masuk: "Bolehkah anda ngasih coretan atas novel NN? Aku ditagih terus."
Dariku, sebuah SMS keluar: "Anda memang suami terbaik. Bahkan sudah cerai karena dicederai pun Anda tetap ditagih dan didesak oleh istri Anda. Dan Anda sabar dan mau..."
Dari Eddy, sebuah SMS masuk: "Tai 1212 x...."
Dariku, sebuah SMS keluar: "Sekali lagi sungguh Anda adalah lelaki yang luar biasa baiknya. Salut aku."
Dari Eddy, sebuah SMS: "Tai... 1908-2038 x"


Pamuk kembali memanggilku. Maka tersaji isu ateisme, jilbab, Islam politik, radikalisme, kaum-kaum berjanggut yang lugu dari gurun (Kurdi), para penentang agama habis-habisan, peragu, dan kediktatoran pemerintah. KARS, nama kota itu. Kota udik yang berdiri di garis antara. Tapi selalu guyah. Ia dihuni kegugupan yang rudin. "Di sini, kaum lelaki begitu sibuk beragama dan kaum wanitanya suka bunuh diri," begitu sederet larat yang suram dan ironis yang menggambarkan manusia-manusia yang setengah putusasa tanpa pegangan. Seluruh eksperimen politik identitas (kembali ke masa utsmani), anarki global (sekularisme), dan apatisme (ateisme romantik) saling menyumbang peran dalam badai salju mengerikan itu.

Dari RA, sebuah SMS: "Kang, tahu tdk kata "ganyang" dipakai FPI: "ganyang ahmadiyah!" begitu .... Milik PKI?"

Dariku, sebuah SMS keluar: "Dimanapun semua organ berhuruf 3 wataknya sama. Oh ya aku sdg membaca buku yang mirip dengan isu yang kamu beritahu barusan…."


Aku membayangkan paras RA. Tapi kini aku bersama KA di mana dari dia kisah ini mengalir dari jalan-jalan KARS.

Sebagai eksperimen dari pelbagai peristiwa politik yang coba dilukiskan seorang pengarang, KARS mirip TUMAPEL di Nusantara yang dua malam lalu kuselesaikan untuk ketiga kalinya (untuk membuatkan kata pengantar buat Lentera Dipantara khusus terbitan terbaru). Ini juga adalah daerah udik. Orang jika tak cepat pulih sadarnya, menganggap bahwa Tumapel adalah kota besar dengan kompleksitas politik yang canggih. Bukan. Ia tak lebih dari sebuah kampung udik. Memperebutkan takhta desa. Namun, di tangan seorang pengarang bertangan dingin, di ruang sesempit itu eksperimen seluruh format politik dan rupa-rupa hasrat busuk manusia bisa ditumpahkan. AROK dilepas Pram bermain petak-umpet politik yang kemudian "menyumbang" laku kudeta politik pertama di Nusantara. KA dilepas Pamuk bermain api dan sekaligus kecemasan yang kemudian "menyumbang" bahwa Turki berada dalam gamang.

Tapi kereta sudah memelan kini. Setengah terengah memasuki Jakarta yang riuh. Pamuk tutup mulut. Aku lebih banyak ke toilet lantaran kedinginan disiram mesin pendingin yang tentu saja bukan salju yang diceritakan Pamuk.

Dari NN di Surabaya, sebuah SMS masuk: "Gus, msh sibuk y, aku msh menggu KABAR BURUK DARI DIRIMU nggu pesan dan ksan drmu ttg orek2anku."
Dariku, sebuah SMS keluar: "Pikiranku ke Kalimantan."


Sejatinya, di rembang senja ini aku janjian dengan RA. Tapi kutahu dari kemarin-kemarin ia tak akan datang ke Weltevreden. Dan aku melupakan janji itu. Tapi aku mencatatnya sebagai taruhan ingatan bagaimana laku manusia saling menenggang diri dan menyadarkanku bahwa aku menurunkan rasa sabarku sampai pada titik yang paling nadir. Kesabaran adalah pagar menuju negosiasi dari dua komunikasi yang kerap saling menyilang dalam kesalahpahaman. Dan kini kukepit Pamuk dengan cekauan yang kuat supaya tak tercecer. Kutenteng kardus buku yang membuat telapak tanganku memerah. Juga sebuntelan printer. Selongsongan kanvas poster Tirto. Juga kegamangan menapaki lantai pertama stasiun yang selalu memberitahu—dan sudah berkali-kali—bahwa diri ini kembali ke Jakarta.

Aku kembali berdiam di NewSeum Indonesia, Veteran I. Ada MANG DI. BUNDA MAR. Ada PAK HALIL. Ada JIB. Ada TR. Ada RISKA. Ada FEBY. ANIS. RENGES. Satu-satu berpapasan denganku. Beberapa bercakap-cakap di meja hitam. Berseloroh apa saja.

Tapi hatiku galau, seperti puisi KA. Serupa jembatan yang berderau lemah, retak, selalu guyah. Menggantung di antara banyak pengertian dengan makna yang tak bisa diandalkan kekukuhannya. Aku berpikir tersudut sendirian di kamar kerja seusai mencobai printer dengan mencetak proposal Kronik Presiden 2004-2009 (hari demi hari). Ada rasa ingin untuk membatalkan perjalanan ke Palangkaraya dan kembali lagi ke Jogjakarta esok harinya. Tapi aku sudah belajar banyak dari hidup agar mengendapkan kegalauan sebelum menjadi sebuah keputusan. Karena di mana pun dan kapan pun setiap keputusan selalu meminta ongkos yang tinggi.

Oh ya, Italia kalah besar dari Belanda. 3-0. Sekaligus aku kalah bertaruh lagi dari Renges La Renata. Kekalahan untuk kedua kalinya setelah 23 Mei silam pada Liga Champions di Rusia. Sesudahnya aku mengazani sahabatku yang sungguh jauh entah di mana untuk bangun dari tidurnya dan bersegera menulis. Tapi pagi ini mustahil ia menulis.

Weltervreden, Jakarta Pusat

No comments: