23 September 2008

Sastra, Tulisan, dan Buku Berkualitas

::warastuti

Saya lihat Andrea Hirata dan Helvy Tiana dalam suatu sesi debat mengenai buku berkualitas di TVOne beberapa waktu lalu. Saya hanya sekilas saja menyimak, karena memang tidak sengaja menemukan segmen acara tersebut. Jika tidak salah hadir juga di sana Muamar MK., penulis Jakarta Undercover. Kesimpulan saya dari debat mereka ialah Helvy menggebu mengatakan bahwa tulisan pop, chick atau teen lit adalah batu loncatan atau pendekatan kemasan yang bisa digunakan untuk memperkenalkan sastra pada anak hare gene yang memang boleh jadi jumlahnya akan signifikan menguasai pasar. Sementara Andrea bilang, itu soal segmen, juga tidak bisa dibuktikan bahwa pembaca teen atau chick lit akan “meningkat seleranya” menjadi pembaca buku-buku sastra (sastra di sini artinya tulisan yang dibentuk dengan kedalaman isi, pesan, serta tutur bahasa).

Saya condong pada pendapat Andrea. Selera itu dibentuk, sebagaimana kebiasaan. Buku mengalami komodifikasi sedemikian rupa sehingga melahirkan genre lit-lit tadi, yang temanya berkisar soal putus-sama-kekasih dan dibungkus dengan bahasa yang tak bermassa. Kini banyak orang sadar membaca itu penting, tetapi sedikit orang yang sadar bahwa bacaan membentuk pribadi. “Kita adalah apa-apa yang kita baca”. Sedikit orang sadar bahwa buku terbagi menjadi kategori: Sampah atau Mencerahkan. Memang ini teramat relatif dan sensitif terhadap selera masing-masing, tetapi tentunya para pendidik dan budayawan lebih tahu, setidaknya secara teoretis, buku mana yang layak-baca dan mana yang tidak. Memang, menulis juga hak setiap orang. Misalnya Anda lulusan ITB, (seharusnya) dibentuk untuk peka pada kondisi rakyat, lalu setelah lulus Anda bikin buku tentang kehidupan anak kampus yang suka ganja dan seks bebas atau bikin cerita soal putus cinta, silakan takar sendiri apakah Anda telah berhasil menyumbang sesuatu yang berarti bagi masyarakat, menjadi supplier karya baru pada lapisan generasi tertentu, atau samar melakukan pembodohan dan peyorasi peradaban. Banyak upaya mengakomodasi globalisasi dan budaya massa yang kemudian tertelikung oleh keduanya sendiri, kehilangan idealisme dan esensi.

Ketika dulu akan mengadakan Pekan Baca Tulis pertama di ITB guna meningkatkan minat baca masyarakat, kami berencana mengundang pembicara Sitok Srengenge dan Dewi Lestari. Pokoknya ketika itu kami sedang kebingungan mencari pengisi acara. Dan tahukah Anda apa yang diceritakan seorang panitia?

“Teh, Sitok Srengenge minta honor sekian juta. Dewi minta sekian juta.”

Urung sudah niat kami mengundang mereka. Memangnya kami ini Java Musikindo atau Diandra Production apa??? Diminta bicara dan kampanye pencerdasan buat rakyat saja minta bayaran demikian besar. Adakah kebaikan yang tidak perlu dilabeli harga? Idealisme dan esensi jadi hilang.

Serupa tapi tak sama. Kalangan film juga meributkan soal sensor yang menghambat kreativitas. Tidak hanya soal pornografi tetapi juga soal kekerasan. Para penulis yang "mudah kaya" seperti Muamar MK. Atau Muhidin M. Dahlan juga mungkin akan berdalih “Lha ini kan kreativitas. Suka-suka dong! Demokrasi gitu loh”. Tetapi, ketahuilah bahwa kreativitas menuntut tanggung jawab. Sebelum berbuat sebagai insan cendikia, seharusnya kita mikir dong, apa efek hasil karya kita terhadap masyarakat, apakah mencerahkan.. apakah baik.. atau tidak (Memangnya Einstein juga memberlakukan teori relativitas atas naluri ya?!). Jika semua orang hanya berpikir menurut egonya sendiri: Memuaskan ekspresi, menginginkan sensasi, atau (seperti koruptor harta) memuaskan nafsu sendiri, rusaklah negeri ini. Bagi saya, it’s another kind of corruption. Kita tak kan bisa bicara soal sustainable development tanpa pola pikir yang komprehensif terlebih dahulu.

Satu hal lagi tentang buku, jangan serahkan selera Anda pada publik! Buku yang laris belum tentu berkualitas, juga sebaliknya. Asah identitas Anda sendiri sebelum orang lain, iklan, tayangan TV melakukannya untuk Anda!

KOMENTAR:
#At July 30, 2008 11:18 PM, Anonymous Donny Reza: Emang yang lit-lit itu isinya gimana ya? Hehe. Sepakat 1000% dengan paragraf kedua dari bawah. Omong kosong dengan kebebasan berkespresi tanpa disertai tanggung jawab.

#At July 31, 2008 1:51 AM, OpenID randompacking: wew..."buku sampah" sambil makan "makanan sampah" di sebuah negeri yang "sampah industri" adalah barang import!! sedih...

2 comments:

Anonymous said...

Tulisan ini penuh lagak tapi menyedihkan sekali. Seniman minta honor kok dipermasalahkan. Kalau gak cocok harga ya udah tak usah dimasalahkan dan apalagi dihubung-hubungan dengan kebaikan, idealisme, dan esensi segala. Penyanyi dangdut dan penceramah agama honornya gede gak ada yang memasalahkan tuh. Kenapa sastrawan minta honor gede diperkarakan? Dik, cobalah tanyakan ke Zainuddin MZ dan Rhoma Irama berapa honor mereka.

Kabul said...

Binhad : kalo tolol jangan ngomong