::gus muh
Bang Saut Situmorang (di Jogja, "bang" ini sebutan sayangnya) akhirnya menolak secara terang-terangan, tegas, tanpa tedeng aling-aling lembaga yang dengan konsisten dikritiknya: lembaga pemberi hadiah sastra "paling bergengsi": KLA.
Patut diberi catatan sendiri. Tak habis-habis energi Saut untuk menyiapkan kayu bakar perlawanan berupa bom molotov terhadap agen-agen yang sering didefiniskannya sebagai antek2 neoliberal atau hamba-hamba sahaya modal asing. Di bawah kursi-kursi kaum ini, Bang Saut menanam bara api. Semoga ia konsisten dan patut dicatat sejarah bahwa apa yang dilakukannya beroleh pendukung yang luas dan dari sana orang mendapat spirit, bahwa yang dilakukannya tak memperburuk wajah sastra, malah meneguhkannya.
Dari kasus Bang Saut vs KLA ini, saya teringat beberapa potongan kliping saya pada halaman kebudayaan "Lentara" Harian Bintang Timur edisi Januari 1965. Pada suatu masa, tepatnya 23 Desember 1964, Yayasan Yamin yang diketuai Ketua MPRS-WPM III Menko Pembangunan Chairul Saleh (CS), mengumumkan pemenang Hadiah Sastra Yamin. Dalam keterangan persnya yang dikutip Harian Berita Indonesia, CS memberi alasan: "bahwa Hadiah Yamin untuk hasil2 kesusasteraan Indonesia betapa ketjilpun artinja dipandang dari sudut materi, sekaligus akan menempatkan beberapa hasil karya sasterawan2 kita dipusat perhatian masjarakat Indonesia, hal mana pasti akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan kesusasteraan kita".
Ada empat orang pemenang Hadiah Sastra Yamin itu: (1) Toha Mochtar (Daerah Tak Bertuan--novel; hadiah Rp 200.000); (2) Pramoedya Ananta Toer (Peristiwa di Banten Selatan--novel; hadiah Rp 150.000); (3) Trisno Juwono (Pagar Kawat Berduri--novel; hadiah Rp 100.000); dan (4) Bur Rusuanto (Mereka Akan Bangkit--kumpulan cerpen; hadiah Rp 50.000).
Pram tanpa tedeng aling-aling menolak hadiah itu. Kata Pram: "[hadiah itu] menjinggung kehormatan saja." Maklum, di deretan pemenang itu, terdapat pemenang "hadiah chusus", yakni Bur Rasuanto yang dianggap pengarang Lekra/Manipolis sebagai "opsir tingg Manikebu/KK PSI" dan juga sastrawan antiburuh. Pram juga menengarai bahwa ini usaha merehabilitasi nama-nama orang-orang Manikebu (Manifes Kebudayaan). Padahal, berpedoman pada sikap Bung Karno yang meritul Manikebu, Hadiah Yamin justru menantang keputusan Bung Karno.
Pram dan juga Bakri Siregar, ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), menolak habis-habisan Hadiah Sastra itu, bukan soal uang semata. Tapi sikap ideologi. Bakri Siregar yang juga jadi anggota juri (juri yang lain: Djamaluddin Adinegoro (Ketua), Nj Dr Jetty Rizali Noor (Wkl Ketua), GM Chardjia Kasuma (anggota), RM Harjoto (anggota), Munadjad Danusaputro (anggota), M Said (anggota), dan Sumantoro (anggota) kaget luar biasa ketika nama Bur Rasuanto lolos karena sama sekali di luar pengetahuannya (tak ada sebelumnya kesepakatan akan ada "Hadiah Chusus"). Kategori itu menyusup begitu saja seperti siluman.
Menurut Bakri, ucapan Chairul Saleh yang mengatakan bahwa tujuan Yayasan Yamin adalah bersasaran Manipol, dijawab lantang bahwa tak bisa dikompromikan kriterium yang dipakai manikebu yang "mengaburkan batas kawan dan lawan", "pengaburan batas antara karjasastra manipolis dan kontra-manipolis, karja revolusi dan karja kontrarevolusi" .
Sikap Pram itu, ketika aksi massa kian mematang, memang menjadi seruan yang paling tegas agar jangan coba-coba mencampurkan antara air dan minyak dalam soal dialektika ideologi bersastra. "Apakah kriterium jang dipergunakan utk mengukur kemanipolan djiwa oleh Yayasan Yamin cd Dr Chairul Saleh? Sudah djelas, Manipol adalah revolusioner- kiri. Dan sesuai dengan itu harus didjawab: dimana kemanipolan, kerevolusioner- kirian, dari karja2 jang diangkat oleh Yayasan Yamin? Setidak-tidaknja harus dirumuskan, dimana tjiri2 kerevolusioner- kirian karja2 termaksud," kata Pram.
Kecaman para sastrawan Lestra/Lekra itu memang membuahkan hasil. Pada pengumuman di lembar "Lentera" Bintang Timur edisi 10 Januari 1965, tertulis berita bahwa "Suatu sidang chusus Yayasan Yamin jg diadakan pada tanggal 5 Djanuari 1965 dibawah pimpinan Dr Chaerul Saleh selaku Ketua Dewan Pengurus Yayasan Yamin, setelah membitjarakan pendapat2 jg dinjatakan mengenai pemberian hadiah2 Yamin untuk hasil kesusasteraan Indonesia mengambil keputusan untuk membatalkan pemberian hadiah chusus sebesar Rp 50.000 dan sebuah piagam penghargaan. .. [alasannya] bahwa pemberian hadiah chusus itu tidak terdapat dalam keputusan Dewan pelaksana dimana ditentukan hanja ada hadiah2 pertama, kedua dan ketiga; sebab kedua karena jg diumumkan itu bukan hasil musjawarah lengkap karena tidak ikutnja salah seornag panitia (prof Bakri Siregar karena sedang berada di luar negeri)."
Sekadar catatan, hubungan Pram dan Menteri Penerangan M Yamin (kini jadi nama yayasan) sudah dimulai sejak 1944 di mana saat itu ia diupahi 30 perak (dibelikannya satu stel kemeja biru yang dipakai ngikuti kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Islam yang diasuh Dr Rasjidi) untuk menjadi stenograf di mana Pram mencatat ceramah Yamin. Pram menyusun ceramah itu selama 2 bulan yang kemudian menjadi naskah "Diponegoro" . Naskah yang lain juga yang disusun Pram atas nama Yamin adalah Gadjah Mada. Naskah yang ini nggak tahu Pram diupah atau tidak. Nah, tahun 1944 upah 30 perak diterima Pram, tapi pada 1964 hadiah 150 ribu ditolaknya mentah-mentah karena soal sikap ideologi bersastra.
* * *
Jadi jika hari ini Bang Saut menolak hadiah sastra KLA, mari kita tempatkan sebagai sikap ideologi bersastra. Sebagaimana sikap Pram yang menolak tegas Hadiah Sastra Yamin. Semoga ada berkah.
No comments:
Post a Comment