29 Agustus 2011 | Km 0 | Pukul 05.30
Tak ada alasan khusus saya memulai hitungan panjang perjalanan dan melakukan pencatatan dari Kotagede. Sebuah “kota awal” di mana Mataram dipusatkan dan pemerintahan dibentuk pasca Perjanjian Giyanti disepakati.
Di waktu terang tanah, kota ini masih menampakkan kejayaan masa lalunya. Rumah-rumah tua masih berdiri yang dilintasi jalanan yang sempit. Juga masjid agungnya yang lengang yang belum lama ditinggalkan para pemanjat doa di malam-malam akhir Ramadhan. Setahun silam di bulan Ramadhan, mahasiswa Jurusan Disain dan Komunikasi Visual (Diskomvis) ISI Yogyakarta dilepas turun ke jalan-jalan itu untuk merekam denyut kontemporer kota itu yang dtuangkan dalam buku komik bersama, "Kotagede dalam Komik".
Jika pun ada alasan khusus memulainya dari sini, lantaran di kota inilah Pemberontakan Mangir Wanabaya berakhir dengan tragis. Di tahun 2008, saya ingin sekali membaca babak terakhir dari lakon yang disusun Pramoedya Ananta Toer berjudul "Mangir" di kawasan ini, sebagaimana saya menyelesaikan bagian awal dari lakon itu di kampung perdikan Mangir di selatan kota Bantul, sebelum Wanabaya disertai Baru Klinting menuju Alun-Alun Mataram (Kotagede).
Menantu Mangkubumi itu tewas mengenaskan dibantai di Alun-Alun setelah melewati usaha licik pihak Mataram memadamkan pembangkangan Mangir yang dinilai “meresahkan” kewibawaan Raja.
Mangir menjadi satu-satunya kawasan yang tak mengakui kedaulatan Mataram lantaran berpegang pada riwayat bahwa tanah mereka bukan pemberian dari Mataram, melainkan dari Majapahit. Artinya, Mangir adalah tanah merdeka dengan sistem pemerintahan sendiri. Berkali-kali Mangubumi menghancurkan Mangir dengan kekuatan militer, namun selalu terpental. Hingga Mangkubumi mengumpan anak gadisnya untuk menaklukan Wanabaya.
Siasat yang disebut Pram licik yang menjadi ciri khas politik Jawa itu pun mendapatkan berkahnya. Mangir takluk. Bukan oleh adu kanuragan yang diwariskan jiwa-jiwa satria, tapi akal bulus memenangkan pertarungan secepatnya.
Intrik politik dan keculasan Pangeran Mangkubumi macam itu justru tak saya temukan ketika menonton film "Benteng Mataram" besutan Bay Isbahi (1983, 98 mnt). Selain adegan silat Ki Ageng Mangir Wanabaya yang diperankan Teddy Purba dengan tombak saktinya Baru Klinting, saya justru terengah-engah dengan dada montok Pambayun yang diperlihatkan dengan penuh minat oleh Minati Atmanegara.
Ketika masjid Kotagede rehat usai salat subuh ditunaikan, keramaian diambil alih oleh pasar. Kesibukan ini tentu bukan lantaran lebaran segera tiba, melainkan ritual saban hari. Lebaran kemudian menjadikannya lebih meriah, lebih riuh, lebih hidup.
Kenangan saya pun terlempar di sebuah spektrum waktu ketika kawasan ini dipenuhi pergolakan. Tak hanya politik, sebagaimana soal Mangir dan intrik-intrik internal Keraton Mataram, melainkan juga lahirnya bandit-bandit. Bambang Purwanto dalam salah satu esei sejarah sumbangannya di buku "Kota Lama Kota Baru" terbitan penerbit Ombak tahun 2006, memberi kesan lain tentang Kotagede ini.
Ya ya, Kotagede memang bekas ibukota kerajaan Mataram Islam abad ke-17. Mulanya kota ini hanya menjadi kota para abdi dalem yang bertugas menjaga makam dan masjid kerajaan.
Tapi seturut waktu akibat penghapusan tanah apange Praja Kejawen tahun 1910-an, para abdi dalem kehilangan sumber ekonomi dan tersingkir menjadi buruh dan tani. Mereka tersingkir oleh keluarga pedagang yang kaya. Dalam bahasa Mitsuo Nakamura, Kotagede berubah dari kota para perajin kerajaan menjadi pusat industri dan perdagangan bumiputera untuk mendukung para petani di sekitarnya.
Sejarah kekerasan di Kotagede pada akhir masa kolonial paling tidak bisa dirunut ke belakang pada akhir masa kolonial. Orang-orang Kotagede memiliki perangai yang mudah brutal dan kehilangan solidaritas sosial. Di Mutihan dan Singosaren yang menjadi lokasi pertanian luas, beberapa orang dianiaya secara kejam dan bahkan dibunuh di tempat karena penduduk lokal berhasil menangkap mereka pada saat sedang mencuri jagung, padi, atau ketela. Juga dikenal kelompok grayak yang beroperasi di sepanjang jalan ketika hari mulai gelap.
Akibatnya, sebagian besar pedagang menghindari perjalanan setelah magrib atau sebelum matahari terbit. Para grayak atau gali-gali itu juga tak sungkan-sungkan mendatangi rumah penduduk dari pintu ke pintu, lalu memaksa penduduk untuk menyerahkan hartanya.
Tentu bukan karena esei Bambang Purwanto itu yang membikin saya menunda jalan subuh dan memulai perjalanan saat matahari merah sudah naik 2 derajat pada pukul 05.30 di atas tanah Kotagede menuju ke pedalaman Jawa, menuju Kediri.
1 comment:
http://pembayun-mangir.blogspot.com/
Post a Comment