::muhidin m dahlan
MANGIR
KPG, 2000
143 halaman
6 Juli 2008. Sesubuh benar aku sudah terhempas di selatan Jogjakarta. Melanjutkan kembali pembacaanku atas Mangir. Bukan dari belakang meja dalam kamar sambil golek-golek. Tapi langsung di lokasi di mana “pembangkangan” Wanabaya alias Ki Ageng Mangir Muda dan pasukan perkasanya tinggal. Lokasi itu memang tak jauh. Hanya 20 km. Namun Perdikan Mangir bukan sesuatu yang mudah untuk dijangkau. Sekira dua jam aku mesti keliling dan bertanya-tanya di manakah petilasan Mangir berada. Menyusuri beberapa pedukuhan tanpa ada satu pun papan petunjuk dari jalan utama yang menunjuk di mana perdikan “sang pahlawan” ini berada.
Dan betapa tak yakinnya aku ketika memasuki perdikan ini. Seperti memasuki dusun yang lain sama sekali. Perdikan ini seperti sengaja dipencilkan oleh kekuasaan Mataram. Dibentengi sungai Bedok yang berwarna coklat di timur dan sungai Progo berarus kuat di barat. Pohon-pohon randu yang berdiri kukuh. Dari jauh kita seperti ditarik memasuki hutan tarik. Aku tak sedang berdiri di lima abad silam ketika Baru Klinting, Suriwang, dan Wanabaya menantang setiap kebijakan Panembahan Senapati yang ingin mencaplok mereka. Tapi aku di era ketika menuliskan ulang kisah ini di blog pribadi di masa internet dan dunia peramban merajai komunikasi dunia. Perdikan ini masih tetap dalam pengertiannya yang terdahulu. Seperti tak dijamah oleh kemajuan. Jika pun terjamah begitu lamban. Tak ada sisa heroisme sama sekali di sini kecuali kita dikelilingi sunyah. Tak ada keriuhan. Hanya seorang-seorang manusia yang lewat. Beberapa kali kudengar lenguhan lembu atau embikan kambing di kejauhan. Atau siulan pondang di tangkai-tangkai tertinggi randu. Barangkali memang dusun udik ini sengaja dicekik dan diisolasi sebagai monumen ingatan bahwa beginilah nasib para pelawan yang berusaha memakzulkan kekuasaan raja Mataram.
Dengan keterkejutan itulah aku bersimpuh di petilasan Ki Ageng Wanabaya Mangir yang terletak di tengah perdikan, RT 03 RW 40 Mangir Tengah, Sendangsari. Awalnya kukira petilasan ini kuburan, tapi rupanya tidak. “Itu watu gilang,” kata Pak Subakri (60), juru kunci generasi ketiga. Kujabat tangannya. Tahu sendiri aku tak terlalu ngeh dengan bahasa Jawa. Maka dengan pengertian yang terpatah-patah kuikuti tuturannya. Tentang perdikan. Tentang warga. Tentang kata “pembangkangan” yang ditolak oleh ki juru kunci karena orang Mangir hanya mempertahankan haknya sebagai tanah merdeka dan usianya lebih tua tinimbang tanah Mataram. Aku mencoba memohon izin, bisakah aku membaca lakon Mangir yang kupegang dalam petilasan yang dipagari tembok sekira 5x5 meter dan diteduhi tiga pohon randu raksasa. Katanya boleh, dan di petilasan watu gilang ini pula aku menyusuri kembali potong-potongan lakon dan dialog yang dibuka oleh sikap dan watak baja Baru Klinting yang dipercayakan sebagai pengawal utama Wanabaya.
Mataram takkan lagi mampu melangkah ke selatan. Kepungan Mangir sama tajam dengan mata pedang pada lehernya. Pada akhirnya bakal dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi. Mataram bernafsu mengangkang Mangir! Ai-ai-ai… Mangir akan tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan.
Hah, aku bertanya-tanya, makanan apa yang membentuk watak baja Baru Klinting dan sikap manusia-manusia Mangir itu yang berani menantang kekuasaan Mataram yang luas-buas itu. Dan apa pula manfaatnya Mataram kemudian membuka front dengan dusun kecil, udik, dan terpencil ini? Mungkin saja karena frasa “Perdikan” yang ditekankan punggawa perang Mangir, si Baru Klinting. Perdikan adalah tanah merdeka yang berotonomi penuh atas segala usaha warganya. Tanah ini tak mau tunduk pada kekuasaan apa pun karena mereka yakin bahwa tanah mereka pemberian dari kerajaan terdahulu sebelum Mataram, yakni Majapahit. Runtuhnya Majapahit berarti mereka memiliki hak penuh menentukan penguasaan tanah mereka sendiri. Sebagai kerajaan baru yang bekerja keras mengumpulkan mandat dari seluruh kawula, ketaktundukan Mangir adalah noda bagi wibawa. Tak pantas ada yang tak tunduk pada Mataram. Hilangnya perdikan, berarti kokohnya takhta dan perbawa. Maka tumpas. Tumpas. Tumpas. Dan Mangir pun adalah nokhtah hitam yang memalukan bagi Mataram.
Huh-huh, budak raja bukan orang mardika. Seribu telik Mataram, tak bakal bikin Mangir merangkak, seperti keong memikul upeti persembahan. Klinting, bukankah tak ada orang Perdikan butuhkan raja?
Mangir tak hanya nokhtah, tapi juga menjadi duri. Pelbagai usaha sudah dilakukan Mataram tapi selalu gagal. Prajurit-prajurit terbaiknya selalu tumpas ketika menginjakkan kaki di rimba raya Mangir. Perdikan ini menyimpan enigma: percampuran antara kepercayaan diri yang kukuh atas warganya yang percaya pada kemerdekaan dirinya dan ketangkasan perang dalam rimba.
Tapi Mataram sudah terkenal sejak awal sebagai kerajaan didirikan dengan jalan licik dan licin. Jejak rekam politik Panembahan Senapati sungguh kotor. Wanabaya dan para pendekar sekelilingnya tahu juga itu:
Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayah-angkat yang mendidik dan membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya? … Ai-ai-ai memang tak bisa lain, dengan modal dusta berlaku durjana … hanya untuk bisa jadi raja. Wanabaya, Ki Ageng mangir Muda, tak bakal jadi raja…
Dengan jalan politik durjana itulah Mangir ditaklukkan. Ini adalah watak politik kotor Jawa yang sudah-sudah, sejak Arok berkuasa atas Tumapel. Pram selalu memperlihatkan sketsa itu untuk memberi tendens pada sejarah politik masa lampau Jawa yang diwariskan terus-menerus. Coba, moralitas yang mana membenarkan seorang Panembahan Senapati melepas umpan putrinya sendiri untuk membekuk Wanabaya dan menumpas seluruh pengikutnya setelah ia gagal dengan jalan kekstariaan. Pambayun, si umpan berparas ayu itu, dilepas dengan menyaru sebagai penari keliling dan dikawal oleh empat tumenggung yang juga menyaru berpakaian orang desa yang dipimpin oleh Ki Juru Martani yang mengubah nama jadi Mandraka. Ki Juru Martani inilah ular pembisik bagaimana misi busuk ini dijalankan dan Panembahan dengan moralitas yang sudah mencium tanah itu menyanggupi putrinya dikorbankan buat tumbal kelanggengan kekuasaan.
Pengawal Mangir Muda seperti Baru Klinting, Demang Patalan, Jodog, Pajangan (tiga nama terakhir itu kini menjadi nama-nama kelurahan di sekitaran Mangir) sudah mencurigai rombongan ini. Tapi Wanabaya sudah takluk. Ia mengawini Pambayun. Dari sini seluruh pipa informasi tentang kekuatan Mangir bocor.
Klinting berhasil membongkar penyamaran ini. Tapi terlambat. Wanabaya sangat mencintai Pambayun. Dan Pembayun dengan sungguh-sungguh mencintai pendekar kampung yang menjadi musuh nomor satu ramandanya. Ia hamil. Sewaktu Ki Juru Martani menagih janji untuk kembali ke Mataram, Pambayun bersikeras tetap di Mangir, menemani suaminya. Dialog-dialog antara Ki Juru Martani dan Pambayun ini adalah dialog yang begitu menyentuh yang memperlihatkan antara watak tradisi baik Mataram (cinta dan kesetiaan Pambayun) dan watak politik praktis yang buruk yang dipaksakan Ki Juru Martani.
Pambayun, apa boleh buat, membuat pengakuan bahwa ia memang putri Panembahan Senapati. Wanabaya tercengang bagaimana bisa dia dipecundangi dan didustai. Mangir pun geger. Dialog antara Ki Ageng Mangir dan Pambayun di halaman 61-69 membikinku beberapa kali menghamparkan pandangan di sekujur petilasan ini membayangkan keduanya bertengkar, tapi juga di antara mereka itu lolos semua apa yang dinamakan cinta dan kebencian. Apalagi sewaktu Wanabaya bersumpah jika Baru Klinting membunuh Pambayun ia juga harus dijadikan bangkai dan selahat di bawah beringin lapangan Mangir, aku langsung menengadah kepada ketiga randu jangkung yang mengatapi petilasan Ki Ageng Mangir.
Ya-ya-ya, perang terbesar yang tak bisa dielak orang-orang polos di Mangir adalah perang yang tak memerlukan otot, tapi otak—yang sayangnya dengan otak yang busuk dan picik. Perang intelijen tingkat tinggi yang di antaranya melibatkan seks dan kecantikan.
Tapi Pambayun memilih suaminya. Namun Pambayun ingin agar suaminya Wanabaya dan ramandanya Panembahan Senapati berdamai demi anak dalam kandungannya yang menjadi campuran antara darah Mangir dan Mataram. Namun Pambayun tahu juga bagaimana watak ramandanya itu yang buas sekali menginginkan darah Wanabaya.
Di sinilah peperangan licik dan penuh tipu muslihat di mulai. Dan pendekar-pendekar Mangir yang polos-jujur-lurus itu sungguh tak terlatih untuk berpanjang akal dalam bertempur. Mereka terbiasa berhadap-hadapan muka-muka, tapi asing dengan politik akal-akalan, jebakan-jebakan manis tapi berdarah. Dengan gaya jagoan, Baru Klinting dan Wanabaya menyerbu Mataram. Tapi Mataram sudah menyambutnya dengan tuak dan seks:
Mereka dibikin tak bisa membuka gelar. Jalanan lebar dipersempit dengan pagar. Di desa Cepit Balatentara Mangir akan dielu-elu, dengan tari dan tuak, dengan nyanyi dan tandak. Seluruh barisan akan dipenggal tengah dengan hiburan, tersekat di jalanan sempit, takkan dapat teruskan perjalanan berlenggang tangan. Di depan benteng, saproh dari separoh lawan akan disambut oleh semua perawan benteng Mataram. Jembatan sungai Gajah Wong di dalam benteng telah dibongkar dan dipersempit. Di mulutnya akan menunggu barisan dara anak-anak nayaka, mempersembahkan diri dan sajian. Tak ada di antara prajurit desa itu akan tahan kena sintuhan tangan lembut para dar mataram. Mereka akan menggigil mengemis kasih, tepat seperti Wanabaya di hadapan Pambayun. Begitu panglimanya, begitu juga prajuritnya.
Wanabaya dan pengawal tangguhnya akhirnya dibantai dalam benteng Mataram lewat pertarungan seru setelah terlambat sadar bagaimana mereka dan prajurit-prajurit mereka dijebak. Pambayun, yang oleh ayahnya Panembahan Senapati, diusir dari Mataram Jaya karena dianggap sebagai perempuan hina yang bersetia kepada Ki Ageng Mangir. Pambayun adalah mawar di tengah moralitas politik busuk yang diwariskan Mataram untuk masa depan.
Aku pun kembali ke Kraton Mataram, tepatnya Alun-Alun Kidul (kantor I:BOEKOE, red), untuk mengetik ulang refleksi dari bacaan ini. Di hari mendatang akan kubuat surat terakhir kepada Pambayun langsung dari Kota Gede di mana Ki Ageng Mangir dan Klinting dibantai. [bersambung]
No comments:
Post a Comment