12 June 2012

“Gdzie Lenin”: Dari Polandia hingga Jawa

::gusmuh

Mungkin ini hubungan yang aneh. Teramat jarang kalangan terpelajar dari Polandia melakukan cross-culture dengan Jawa. Tapi ia memohonkan permakluman ketika ia jatuh cinta pada Jawa hingga ke sumsumnya.

Tiap pekan tatkala ada meditasi "kejawen" ia duduk paling depan di hall perpustakaan. Ketika diselenggarakan readinggroup 8 Kitab Primbon Betaljemur Adammakna karya kompilasi Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat di era Sinuwun Hamengku Bowono V, ia menyimak dan mencatat laiknya antropolog.

Kami memanggilnya Yunita untuk memudahkan lidah Indonesia melafalkan. Di Polandia ia mengenal Indonesia pertama kali dari Pramoedya Ananta Toer lewat epistolari Buru-Jakarta: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Baginya, buku itu membikin Pram patut disejajarkan dengan penulis catatan harian politik semacam Aleksandr Solzhenitsyn yang menulis The Gulag Archipelago, Gustaw Heling Grudzinski, Gulag: Many Days, Many Lives, dan Dostoyevsky The House of the Dead. Keempat orang itu menulis kehidupan kerjapaksa di pembuangan dengan sangat hidup.


Saat saya katakan bahwa saya menyenangi bola (alakadarnya), Euro 2012, dan National Stadium Warsawa, wajahnya sontak serius. Ini katanya dengan bahasa Indonesia yang rapi: "Saya kira Mas-nya itu pintar, tapi goblok juga."

"Goblok" itu tentu bukan hinaan. Kata itu juga ditemukannya pertama-tama di readinggroup Betaljemur Adammakna. "Goblok" di situ merujuk pada hubungan kehidupan sosial Polandia dan Euro 2012.

Tidak seperti dituliskan wartawan Jawa Pos, bahwa sudut Warsawa, Old Town, tak ubahnya DisneyLand. Cerita Yunita terlampau murung. Semurung Polandia saat pesawat Tupolev Tu-154 buatan Rusia tahun 1960-an jatuh pada 10 April 2010 di Smolensk, Rusia.

Kecelakaan itu membuat Polandia kehilangan Presidennya, Lech Kaczynski, istri, dan sejumlah pejabat tinggi militer dan kementerian. Rombongan itu untuk upacara ziarah politik memperingati 70 tahun pembantaian Katyn; pembunuhan massal oleh polisi rahasia Soviet 1940 di bawah pimpinan tangan besi Stalin. Korban jatuh 22 ribu orang warga Polandia, di antaranya perwira, tuantanah, dan cendekia kritis.

Pengagum tokoh kontroversial dunia keagamaan Jawa Sitti Djenar ini alih-alih mengumbar wicara bahwa Polandia memiliki sederet tokoh penulis dan pemikir sosial-keagamaan berkelas seperti pemikir sosial Rosa Luxemburg, novelis Joseph Conrad, nobelis sastra Isaac B Singer dan Gunter Graas, komponis klasik Frederic Chopin, dan Paus Yohannes Paulus II (Karol Wojtyla). Ia malah berkisah bagaimana sensor bekerja di semua lini kehidupan saat invasi Soviet dimulai 1940: tak ada paspor, bacaan dikontrol, dan ibunya harus hati-hati mengeluarkan mesin ketik.

Pecandu tradisi kungkum airsuci Jawa dan panahan ini seperti menahan diri tak menceritakan bahwa negerinya melahirkan tokoh-tokoh besar macam Copernicus yang jadi halaman pembuka buku legendaris Stephen Hawking  A Brief History of Time yang menekuk pandangan failasuf-failasuf Yunani seperti Aristoteles tentang polakerja semesta.

Alih-alih bercerita bahwa Polandia melahirkan nobelis-nobelis sastra seperti Henryk Sienkieewicz (1905), Wladyslaw Reymont (1924), Czeslaw Milosz (1980), dan Wislawa Szymborska (1996), ia justru berkisah buku penulis Stanislav Lem, seorang ateis, berjudul Solaris (1961). Buku itu lolos dari sensor yang berkisah tentang petualangan luar angkasa.

Dan 20 tahun sejak Lech Walesa menumbangkan Rezim Jaruzelski yang komunis, Polandia kini seperti dalam situasi akhir komunis: kehidupan ekonomi memburuk dan layanan kesejahteraan merosot.

Ia tak menyebutkan angka anjloknya layanan sosial Polandia yang membikin warganya frustasi hebat. Ia cuma memberikan ilustrasi: di ibukota Warsawa setengah lusin pekan dibutuhkan ibunya menunggu rekaman lab. Padahal di Rumah Sakit di kota kecil macam Yogyakarta hanya dua hari menunggu.

Kontras dengan itu pemerintah Polandia yang goyah itu dipaksa Euro 2012 merenovasi beberapa stadionnya dengan dana-dana gigantis. Pembangunan itu mirip kehadiran Istana Kebudayaan yang didirikan Lenin selama 3 tahun (1952-1955): Palac Kultury I Nauki (PKiN). Gedung yang berisi 3288 kamar ini dilengkapi bioskop, teater, museum, dan ruang kongres. Kata Stalin: Aku hadiahkan untuk kalian gedung istana kebudayaan. Bangga? Tidak! Bagi warga Polandia, istana kebudayaan yang diproyeki Lew Rudniew itu justru menjadi monumen cengkeraman Soviet. (Susanto: 2012, 126)

Di balik pesta EURO 2012, Yunita dan teman-temannya marah, sebagaimana amarah kelompok feminis radikal “Femen” di Ukraina. Dan mereka ingat kembali komunis dengan harapan yang murung. Sebagaimana Krisis Besar menghantui Eropa, warga Eropa memang dipaksa mengingat kitab suci kaum buruh: Das Capital. Mengingat lagi hantu komunis yang mesti dilupakan.

Komunis memang selalu datang saat Krisis Besar menerjang. Tapi ia akan selalu ditampik oleh trauma ketakbebasan yang sukses ditapis Walesa pada paruh akhir abad 20.

Kajian Yunita memang belum sampai pada Jawa yang merah. Jawa yang dalam kalimat ciptaan legendaris Arifin C Noer dan diucapkan oleh bibir hitam penuh asap rokok Syub'ah Asa yang memerankan Ketua CC PKI Aidit: "Kita harus menguasai Jawa . Siapa yang tak menguasai Jawa akan kalah. Lihat PRRI/Permesta. Jadi, Jawa adalah kunci."

Saya yakin ia akan sampai pada Jawa yang trauma dengan komunis. Jawa yang membantai ratusan ribu keluarga besar komunis. Jawa yang jadi ladang pembantaian massal sebagaimana di Auschwitz, Polandia, yang menjadi kandang besar pemusnahan 1.5 juta jiwa orang Yahudi oleh Nazi.

Yunita tahu Jawa adalah ibu kandung toleransi. Karena itu ia mau mengkaji Jawa (baca Mataram) sebagai subjek penghormatan atas keragaman sebagaimana tercetak di Kitab Primbon Jilid II Atassadhur Adammakna (Sambetanipun Betaljemur).

Tapi di tanah Jawa juga kaum komunis bersimbah darah. Dan “gulag” di Boven Digoel dan Buru diciptakan untuk meredam radikalisme komunis yang membara di Jawa. Digoel dan Buru dibikin untuk melanggengkan trauma.

Tapi trauma memiuh saat Krisis Besar datang. Saat krisis itulah komunis terngiang. Seperti grafiti di Yogyakarta yang bertanya di mana (kuburan) Aidit, di kota percontohan sosialis, Nowa Huta, Krakow, sebagaimana dicatat Sigit Susanto (2012: 139) tercetak sekuplet grafiti: Gdzie Lenin? (Dimana Lenin?)

*Dimuat Jawa Pos, "Bola Kultural", EURO 2012, 12 Juni 2012

No comments: