::gus muh
Bayangkan Martin Aleida datang ke sebuah diskusi buku atau obrolan budaya. Tubuh jangkung. Atletis. Kadang memakai oblong. Lebih sering kemeja lengan pendek. Dan hampir pasti keduanya dimasukkan ke dalam celana panjang yang--umumnya--warna krem. Kacamatanya tebal, namun bukan model kacamata intelektual-intelektual macam Kuntowijoyo ataupun Soedjatmoko. Tampilannya dandy, tapi sederhana. Dan, hampir pasti ia memakai sepatu kets. Di bagian kelima tulisan ini dibahas soal gaya hidup ini.
Bayangkan Martin Aleida datang ke sebuah diskusi. Datang saat diskusi hampir dimulai. Dan lenyap saat diskusi nyaris selesai yang membuatnya "tak punya kesempatan" duduk/berdiri bergerombol sesama pengunjung diskusi untuk hal-hal di luar topik diskusi. Martin, oleh karena itu, seorang yang efektif dan efisien. Tak mau bertele-tele. Jarang basa-basi. Ia langsung ke pokok persoalan.
Membayangkan Martin Aleida datang ke setiap diskusi adalah cara saya membaca 28 esainya dalam "Langit Kedua" di buku terbarunya Langit Pertama Langit Kedua (2013) yang diterbitkan secara mandiri (sebelumnya buku-bukunya diterbitkan oleh penerbit-penerbit major seperti Penerbit Buku Kompas).
Ke-28 esainya mencakup banyak hal, seperti surat (5), kritik buku (9) dan film (3), serta sehimpun perdebatan (12).
Ciri khusus esai Martin Aleida adalah gugatan. Yang suka menggugat bacalah esai Martin. Untuk menggugat, Martin tak harus membuka banyak literatur dan menautkan berderet-deret kutipan untuk melontarkan argumennya.
Gugatan sekandung dengan perdebatan. Mendebat berarti pula menggugat. Tak mengherankan pula bahwa dalam "Langit Kedua" esai tentang perdebatan mengambil porsi terbanyak dalam jumlah. Duabelas. Ya, 12. Dan temanya perporos pada linimasa sama dan akibat-akibat sosial setelahnya, termasuk dendam yang mengiringinya: 1965.
Martin Aleida, seperti gayanya memasuki ruang diskusi, menggugat pemilik (gagasan) nama-nama ini: Salim Said, Ajib Rosidi, Taufiq Ismail. Beberapa lagi pemilik nama yang lain turut digugatnya, seperti nama Franz Magnis-Suseno, Sulastomo, bahkan kepada "teman-teman sekubunya" tak lupa ia berikan "catatan" seperti Sobron Aidit dan Putu Oka Sukanta. Tapi bobot "kritik" tak sebanyak dan seintensif kepada ketiga nama itu. Takaran hantamannya kepada pemilik tiga nama itu lebih besar.
Kepada Salim Said. Di antara sekian wartawan TEMPO, Salim Said "dipilih" Martin Aleida untuk disuratinya dengan bahasa yang tajam dan siap "berkelahi". Surat elektronik itu yang membuat kita terbuka bagaimana "dapur redaksi" majalah terbesar di Indonesia itu di masa-masa awalnya. Juga gesekan ideologis yang terjadi di dapur itu. Penyebab buka-bukaan itu adalah tanggapan Salim Said atas "memoar" Martin Aleida yang mengambil bentuk resensi buku Wars Within karya Janet Steele.
Ada lagi surat elektronik Salim Said yang bertanggal 5 Oktober 2007. Oleh Toeti Kakiailatu diteruskan ke email Martin Aleida. Surat elektronik itu "hanya" satu paragraf dan ditulis dengan banyak kesalahan penulisan nama yang parah. Martin, sebagaimana ditulis Salim Said, "ternyata, menurut Rose, adalah kader partai (sembari bekerja di Harian Rakjat, dikirim ke sekolah partai), dan bukan anak muda yang tidak tahu apa-apa seperti yang dikatakan GM kepada kita hampir 40 tahun silam..."
Salim Said, seperti yang dituliskan Martin, adalah wartawan Angkatan Bersenjata yang kecenderungan berpikirnya jika berkata jujur tentang "masa lalu" manusia-manusia "sampah" politik Orde Militer Soeharto, nyawa mereka bisa selamat. Perlu diketahui bahwa TEMPO pernah dalam linimasa sejarahnya "menampung" penulis-penulis eks-Lekra seperti Amarzan Ismail Hamid, Manyaka Thayeb, dan Martin Aleida.
Salim Said adalah: (237) "seperti orang Indonesia kebanyakan yang suka memelihara kuku, Anda membiarkan kuku kelingking Anda memanjang. Dan jarak ibu jari kaki Anda dengan tengah begitu renggang. Saya suka itu, karena itu pertanda Anda seorang pejalan jauh..."
Tapi, laki-laki bersuara berat ini, tak ubahnya seperti algojo. Laki-laki yang disebut Martin Aleida: "oh man, it was really a disaster". Ini gambaran lanjutan Martin sosok Salim Said, wartawan, eseis film, dan "pengamat" militer ini:
(235) "Terbayang di mata saya, dia berdiri berkacak pinggang di atas bukit, menatap kami yang matanya sudah ditutup kain hitam, dan siap menghunus pistol. Ah, mati hanya sekali. Terbayang tiga letusan mendentam menerjang kepala. Tubuh kami bergulung-gulung di lereng bukit dan mencebur ke sungai bening dan deras di bawah, menghanyutkan tubuh kami ke muara. Dan ... kandas di surga! Di sana, sebelum masuk, kami membukakan pintu lebih dulu buat Salim Said. Inilah moral kami para korban. Dan ribuan kami yang telah hilang, dilenyapkan. Sebuah moral, sebuah utopia. Tak berdosa. Menjadi landasan, bukan palu!"
Beberapa ingatan tajam tentang Salim Said, si penulis buku Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak dan Profil Dunia Film Indonesia ini diceritakan kembali Martin Aleida dalam suratnya. Saya kutipkan dua fragmen. Terutama adegan dramatis pertikaian Martin dengan Salim Said:
(238-9) "Ketika terjadi pertikaian antara anda dengan saya, dengan berjalan cepat dari ruang redaksi anda menginjak-injak meja saya yang terletak dekat pintu, di ujung tangga. GM (Goenawan Mohamad -- bukan ::gusmuh LOL), setelah menyuruh saya diam, mengiringi anda menuruni tangga, dan hilang entah ke mana. Tapi saya masih sempat berteriak, 'Tembaklah, nyawa saya gratis!' Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai habis di seluruh negeri... Memang, waktu itu saya tidak melihat anda mengeluarkan pistol dari sarangnya."
(240) "Saya teringat anda menyebutkan A. Sibarani sebagai orang Lekra dalam skripsi S1 anda. Dan sibarani datang ke TEMPO mencari anda dengan mengenakan topi koboi dan sepatu lars. Di ruang tamu, karikaturis terkenal itu menghardik tak tahan menahan emosi, 'Mana Salim?' Sibarani, mungkin lebih kiri dari komunis, tapi dia bekerja untuk Bintang Timur yang berafiliasi dengan Partindo. Saya juga masih ingat anda meneror dia dengan mengerahkan RPKAD."
Kepada Ajib Rosidi. Mula-mula Martin Aleida "sopan" saat membuat resensi sambutan atas buku Yang Datang Telanjang (KPG, 2008; xxviii+771 hlm). Martin hanya mengkritik mengapa ia begitu keras kepada Sukarno, Nasution, dan Soeharto, tapi "meleleh" ketika Ajib bicara tentang Sjafrudin Prawiranegara, seorang pembelot dalam kemelut sejarah bertagar #PRRI di Sumatera Barat. Bagi Ajib, Sjafrudin adalah sosok paripurna.
Ajib juga adalah salah seorang yang ngotot bahwa Lekra itu organ PKI seperti halnya SOBSI, SARBUPRI, BTI, CGMI, dan lain-lain. Wacana bahwa Lekra bukan bagian dari PKI, kata Ajib, hanya akal-akalan Joebaar Ajoeb "sebebasnya" dari Buru pada 1970-an.
Sesungguhnyalah Ajib itu orang baik dan intimatif. Kata Martin Aleida, "baik hati". Setidaknya apresiatif buat beberapa nama "merah" seperti Agam Wispi, Pramoedya Ananta Toer, Basuki Resobowo, Z Afif, Kohar Ibrahim, Sitor Situmorang, S Anantaguna, Boejoeng Saleh, maupun AD Donggo. Namun Martin Aleida angkat suara keras ketika Ajib "mengantar" kematian pendiri Lekra dan pengurus teras PKI, A.S. Dharta a.k.a Klara Akustia pada 2007 dengan selembar esai yang dimuat di Pikiran Rakjat (17 Februari 2007).
Esai "pengantar kematian" Ajib itu kaya fakta personal, dan sekaligus nyinyir kepada Dharta. Martin yang memuji "kebaikan hati" Ajib itu tiba-tiba berbalik. Tepat di nisan Dharta. Saya kutipkan "kata-kata mutiara" Martin Aleida khusus untuk Ajib Rosidi yang disebutnya "budayawan berkaliber internasional dari Jawa Barat".
(300-301) "Ajib yang saya kagumi mendadak sontak menjadi sosok yang tidak peka, menistakan adat kebiasaan... Saya tak habis pikir, kesalahan apa yang telah diperbuat Dharta selama hidupnya sehingga Ajib Rosidi merasa layak mengiringi jenazah penyair dan pendiri Lekra itu ke alam baka dengan caci-maki yang begitu bersemangat... Sarkas untuk sebuah kematian."
(302) "Aksi jumpalitan, kutip sana-sini, bongkar sana bongkar sini, hanya untuk membikin lukisan gelap tentang seseorang yang sedang menghadap khaliknya. Seperti orang pusing tujuh keliling mencari tahu siapa gerangan nama sebenarnya A.S. Dharta."
(303) "Tanpa periksa dengan saksama, sehina macam apakah Dharta sehingga dalam kematiannya ini sang istri, anak, dan cucu-cucunya yang belum kering air mata dukanya harus menanggung malu lewat kata-kata yang diumbar oleh budayawan yang berkaliber "internasional" asal Jawa Barat itu?"
"Perselisihan" antara Martin Aleida dengan Ajib Rosidi memasuki tahapnya yang kritis setelah pada 25 Maret 2011 PDS HB Jassin yang berada di sisi kiri Taman Ismail Marzuki melarang mejabudaya mendiskusikan buku Asep Sambodja, Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-Pengarang Lekra (ULTIMUS 2011). Martin menulis dua surat. Keduanya merespons pada peristiwa yang sama. Ya itu tadi pembatalan diskusi buku Asep Sambodja yang sedianya berlangsung sebagai bagian dari "100 Hari" setelah penulis itu wafat karena digerogoti kanker.
(323) "Semoga Bung tidak lupa, di pagi sebelum matahari benar-benar telah bangun, Bung [yang bernama Ajib Rosidi] meminta saya dengan tekanan suara menyergah [dan didekati istri saya yang belum lepas telekungnya seraya menyiapkan tamu sebesar Ajib] untuk membatalkan diskusi mengenai buku Asep Sambodja (sekaligus memperingati 100 hari wafatnya), yang akan diselenggarakan hari itu oleh kelompok mejabudaya di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin."
Surat Martin tak hanya soal "pembatalan" diskusi buku Asep Sambodja itu, tapi melebar ke mana-mana. Termasuk soal Endo Senggono, yang sudah mengelola PDS HB Jassin selama 24 tahun, yang disebut Ajib Rosidi, "tingkah lakunya rawan".
Martin marah dengan cara Ajib Rosidi memandang dokumentator yang mempercayakan separuh aktivitasnya di dua tongkat yang selalu dikepitnya itu.
(317) "Ini orang dahsyat Bung. Orang baik. Dia pernah mengutang Rp 10 juta kepada seseorang hanya untuk membayar gaji karyawan yang bukan pegawai negeri sipil. Yayasan apa kerjanya! Yayasan, menurut banyak orang, tak pernah berupaya mencari dana untuk memelihara PDS. Yang memberi uang malah Yayasan Lontar, di mana Goenawan Mohamad duduk dalam kepengurusannya. Yang dilakukan yayasan hanya mendorong Gubernur. Memanfaatnya empati masyarakat."
Ketika Ajib menyinggung ke-Lekra-an Martin Aleida, di poin No 7, Martin bahkan sudah berdiri tegak. Menunggu. Pasrah. Siap dipenggal Ajib.
(317) "Saya, istri saya, juga pernah ditahan, dan jadi tukang lap lantai yang berdarah, mengucur dari tahanan yang disiksa di Kodim 0501 Jakarta Pusat, Air Mancur. Di rumah saya, anak saya yang ketiga masih ikut kami, bertiga kami di sana. Kalau Bung mau menjemput dengan golok Cimande, kami (paling tidak saya sendiri) sudah siap menjulurkan leher untuk Bung..."
Kepada Taufiq Ismail. Sebagaimana kegeraman Martin Aleida kepada Ajib Rosidi, kegeraman kepada Taufiq Ismail menjadi-jadi. Baiklah, ini semua bermula dari sms "bersejarah" Taufiq Ismail yang beredar luas di internet: "Saya baca di internet undangan diskusi sastra di PDS HBJ (Jum 25/3, 15:30), judul atasnya memperingati 100 hari Asep Sambodja, tapi judul berikutnya yg lebih penting 'ttg pengarang2 Lekra.' Moderator Martin Aleida dg 2 pembicara. Saya terkejut. Ini keterlaluan. Kenapa PDS memberi kesempatan juga kpd ex Lekra memakai ruangannya utk propaganda ideologi bangkrut ini, yang dulu ber-tahun2 (1959-1965) memburukkan, mengejek, memaki HBJ, memecatnya sampai kehilangan sumber nafkah? Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini? Petugas PDS yg tentunya tahu rujukan sejarah ini seharusnya sensitif untuk menyuruh ex Lekra itu menyewa tempat lain saja, bukan di PDS. Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS." *HU (Husseyn Umar - Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin; AR (Ajib Rosidi - Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin); Rini, Endo - Staf PDS HB Jassin*
Saya keliru. Bukan sms itu mula-mulanya. Tapi dua pekan sebelumnya, Taufiq Ismail menggertak staf-staf PDS HB Jassin agar membatalkan diskusi seni rupa yang diselenggarakan Bumi Tarung Fans Club pada 12 Maret 2011. Taufiq menuduh orang-orang di balik diskusi ini adalah "Lekra Generasi Ketiga". Jika diskusi jadi, gertak Taufiq via staf PDS HB Jassin, Rini, bisa dikenakan pidana karena Lekra adalah organisasi terlarang.
Gusarnya Taufiq Ismail ini sampai juga kepada Ajib Rosidi. Dari Magelang, Ketua Dewan Pembina Yayasan ini cepat-cepat menghubungi Martin via ponsel menanyakan diskusi "Lekra Generasi Ketiga" itu. Tak bisa menyalahkan Martin, Ajib akhirnya menimpakan kesalahan kepada Endo Senggono yang tak melapor. Tanggapan Endo enteng saja, diskusi dilanjutkan, "Jalan terus... kalau dibatalkan malah bisa bikin masalah berkepanjangan. Kita lihat saja nanti." Diskusi seni rupa "Lekra Generasi Ketiga" itu berjalan mulus. Namun tidak untuk diskusi dua pekan berikutnya yang membahas buku Asep Sambodja. Diskusi buku itu benar-benar pindah tempat. Tindakan yang diambil Taufiq Ismail itu seperti memberi pelajaran kepada para "pewaris ideologi ular berbisa", istilah Taufiq Ismail, "agar berak di tempat lain yg pantas".
Seperti apa Martin Aleida membaca sikap-sikap Taufiq Ismail itu?
(340) "Suasana hati Taufiq Ismail ketika menulis SMS itu, kalau boleh saya tebak, adalah suasana kalang-kabut karena kebelet, tak bisa buang air besar. Gara-gara dia sendiri. Dia sudah tak bisa 'memberaki' siswa-siswa Sekolah Menengah Atas melalui program sastrawan bicara siswa bertanya, karena pemberi dana, Ford Foundation, menyetop bantuan Rp 100 juta/tahun, lantaran dia menyuarakan suara pemerintah ketika bersaksi mengenai pornografi. 'Counter part kita bukan pemerintah, tetapi grassroots. Anda tidak menyuarakan apa yang selayaknya anda suarakan,' begitulah kira-kira kata-kata mati yang disampaikan Ford Foundation kepada Taufiq. Dan, kabarnya, seperti juga kalau dia membaca puisi, maka dia pun menangis..."
(363) "Baru! Inilah sesungguhnya kunci untuk memproklamirkan telah munculnya sebuah angkatan. Tapi, justru pada unsur yang hakiki inilah terpampang kelemahan pada klaim Jassin (tentang) 'Angkatan 66' ... Subagio memandang sajak-sajak Taufiq Ismail mewakili sajak-sajak perlawanan yang bermunculan tahun 1965/66. Sama halnya dengan sajak-sajak Klara Akustia, yang menurut dia, mewakili sajak-sajak perjuangan Lekra selama lembaga kebudayaan itu berdiri tahun 1950 sampai menemui ajalnya di tangan Orde Baru di akhir 1965. Dia sampai pada pengandaian yang membuka mata ketika mengatakan bahwa kalau sajak-sajak perlawanan 'Angkatan 66' dijejerkan dengan sajak-sajak Lekra, 'kita bisa silap dan menyangka bahwa semua sajak itu menyuarakan kehendak satu angkatan... Kalau kita tidak waspada pada unsur aksidental yang disebut secara eksplisit, seperti tempat kejadian, tokoh-tokoh pujaan atau cemoohan, kita tidak akan mengira bahwa sajak yang satu memperjuangakan cita-cita Orde Baru, sedang yang satunya cita-cita 'Zaman Baru'..." (Bersambung)
Martin Aleida 5
Martin Aleida 4
Martin Aleida 2
Martin Aleida 1
1 comment:
Salam berlawan!
hallo mas. boleh saya minta emailnya? saya sedang dalam penulisan novel biografis Alm.Njoto
Post a Comment