::gus muh
Saya membaca bagian pertama dari Langit Pertama Langit Kedua karya Martin Aleida (2013) dari atas sadel sepeda lipat dalam perjalanan Kembaran (Bantul)-Patehan (Keraton Yogyakarta). Pergi-pulang. Berkali-kali tapakan. Tentu saja di sela-sela istirahat mengeringkan keringat, saya mengeluarkan buku dengan sampul minimalis itu: dominan putih, ilustrasi minimal, dan barisan-barisan huruf judul dan subjudul berwarna merah. Di sampul belakang, foto penulisnya yang berkacamata sedang mengacungkan tangan kanan di depan meja tanpa kopi tanpa teh tanpa airputih dan buah pepaya, apalagi bir. Hanya sebatang pena, ponsel keluaran awal abad, dan kacamata kedua (cadangan).
Membaca delapan cerpen Martin di "Langit Pertama" tak membutuhkan suplemen imajinasi pembaca karena memang Martin tak sedang bermain-main dengan imajinasi liar, sebagaimana penulis-penulis yang terus-menerus bereksperimen bentuk tapi kerap lupa pesan yang ingin disampaikan. Tahu-tahu sudah titik terakhir. Dan pembaca, astaga, tiba-tiba merasakan kehampaan dan mengumpat perlahan dalam desis: "Cerita ini mau ngomongin apa. Wuasssssssuuu!"
Martin tidak seperti itu.
Ia tak bereksperimen bentuk. Tak mencari-cari genre. Ia seorang realis. Ia mewarisi penutur leluhurnya di Lekra. Pembacamu bisa memahami pesan apa yang kamu sampaikan sudah lebih dari cukup. Lebih-lebih kalau estetiknya dapat dan bukan sekadar petuah-petuah verbal. Martin hanya perlu menyelami kedalaman realitas dan menanamnya dalam plot-plot pendek yang tersedia.
Yang diperlukan dalam membaca prosa Martin adalah memori untuk menampung kenangan perih. Dan setiap keperihan tak harus butuh tindakan sedih berlebihan. Apalagi MEWEK di tengah keramaian. Martin tak memberi kesempatan untuk sebuah tangisan yang dibuat-buat, walau tokoh-tokohnya layak menangis karena kalah ditimpa kuasa yang tak bisa dilawan.
Hal lain yang diperlukan menyelami prosa Martin adalah kesadaran waktu. Juga serpihan guntingan informasi lini masa Indonesia yang tak pernah kunjung bersih dari amis darah sejarah bentukan "Serdadu Pedagang". Walau tema yang diangkat Martin hanya berupa fabel paus dan anjing, amis darah, stigmatisasi, dan penistaan itu terasa tetap pekat.
Inilah delapan cerita di "Langit Pertama" yang disuguhkan Martin Aleida:
Perempuan Yang Selalu Menggelitik Pinggangku. Perjalanan akademis seorang anak muda penerima beasiswa teknik di Moskow. Jatuh cinta. Tapi cinta itu terhalang. Cinta sinting itu diludahi Tentara Merah. Kasihan pemuda ini. Cintanya tertolak. Pemuda itu, yang kemudian aktif di Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) dan tenaga pertama pabrik baja pertama di Indonesia: Krakatau Steel. Di ujung cerita, di buku Martin Aleida ini, disebut sebuah nama: Djoko Sri Moeljono. Saya ingat nama ini pada sebuah pagi 2008, datang dengan becak ke Perpustakaan Indonesia Buku (IBOEKOE). Memakai kemeja biru laut. Kulit tangannya sudah keriput. Tapi suaranya masih keras. Bersemangat dan sesekali batuk. Dan kisah bagaimana ia bersama beberapa alumni Moskow mendirikan Krakatau Steel dan cerita diciduk adalah salah satu topik yang dikisahkannya saat Indonesia Buku masih buka pukul 08.00-17.00.
Di Kaki Hariara Duapuluh Tahun Kemudian. Tentang memori seorang guru honorer muda, Kartika Suryani, di buku harian yang dikubur di bawah pohon Hariara. Sebuah pohon imajinasi yang sudah tumbuh di pekarangan sekolah 60 tahun lamanya. Diari adalah kitab kejujuran. Buku diari adalah prasasti kesunyian ketika papan tulis, komunikasi sosial, diawasi oleh serdadu dan mata-mata yang menyaru dalam pelbagai insitusi, termasuk sekolah (Kepala Sekolah, Penilik, Guru-Guru Pion). Upacara menanam buku sesungguhnya upacara bagaimana menyembunyikan pesan kritis untuk masa depan.
Namun, memori tentang apa dan pada lini masa kapan?
Prosa Martin ini menantang kita untuk melakukan perhitungan waktu untuk mendapatkan gambaran latar waktu peristiwa yang dianggit Martin. Simak paragraf pertama (saya cuplik): "Sudah enam puluh tahun hariara itu tegak di pekarangan belakang sekolah itu...Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati duapuluh tahun yang silam".Mari berhitung. Prosa ini ditulis pada 2010. Jika kita menghitung mundur, dengan catatan penggalian buku diari dilakukan pada 2010, artinya pohon tua itu sudah ada sejak 1950. Hariara melambangkan masa kebebasan dan liberalisme pertama pasca Revolusi. Sementara masa suram itu, saat buku harian itu dikubur di bawah hariara, yakni 20 tahun silam, adalah tahun 80-an, tahun-tahun makmur yang palsu; saat di mana Gedung MPR di Senayan bergemuruh oleh pendaulatan: Soeharto Bapak Pembangunan dan Indonesia dipuji lembaga pangan PBB, FAO, sukses berswasembada pangan.
Ompung dan Si Pematung. Berkisah tentang pematung perempuan bernama Rosa. Sosok yang mencintai tanah tumpah darah, arwah, dan tradisi leluhurnya dengan cara yang enggan, angkuh, dan pada akhirnya luruh oleh sebuah reka cipta kedua orang tuanya. Rosa adalah perupa kontemporer yang diperhadapkan pada seni tradisi. Rosa adalah urban yang "dipaksa" untuk memberikan penghormatan yang subtil pada tradisi. Martin Aleida menuntaskan rantai yang teramat pelik bagi seorang rantau yang makin menjauh dan memiuh dari tali pusar masa kecilnya. Rosa adalah urbanis itu: "sudah kutatap New York dari Twin Towers. Telah kulihat deretan gunung disapu es yang tak pernah cair dari penginapan tertinggi di Paro, Bhutan... menyaksikan lukisan masyhur 'Kematian dan pemakaman Cain'... Juga belajar seni rupa beberapa tahun di Meksiko".
Dengan langlang buana yang seluas itu, Rosa justru canggung, dan bahkan menolak tradisinya, mengelak panggilan kampung halamannya yang lamat-lamat menggendang cuping telinga dan sanubarinya. Dan cerita bohong (rekaan) yang meluluhkan kecanggungan dan penolakan itu. Hanya cerita rekaan yang mendamaikan dan memberi jembatan bersapa antara urban dan tradisi, antara desa dan kota, antara keramaian lalu lintas auto dan keheningan laut dan karang-karang padas di gigir laut, antara di sana dan di sini, antara kekinian dan kemasa silaman, dan antara kau dan leluhurmu.
Melarung Bro di Nantalu. Cerita tentang Bro, seorang eksil yang tak pernah lagi memperoleh kewarganegaraan yang sangat ia cintai karena dinistakan oleh sejarah Indonesia 1965. Kecintaan itu dibawanya mengembara dari satu negara ke negara lain. Dari Tiongkok ke Paris. Kenangan yang dinistakan itu digenggam Jio; cawan seputih gading dan segenggam abu Bro terserak di dalamnya hendak dihanyutkannya di sungai di Nantalu. Bro dan Jio adalah dua bersahabat. Beda nasib. Bro sudah "makmur" di Paris. Punya restoran. Jio dan Bro sahabat kecil di mana, pernah keduanya "sepengajian... tiga kali khatam membaca Al-Quran. Tiga kali pula diupah-upah berbarengan." Betapa kagetnya Jio, kini, dileher Bro sudah menggantung salib. Jio bertanya-tanya derita apa yang sesungguhnya dialami Bro hingga iman yang diterimanya saat lahir di tanahairnya ikut pula ditukarnya. Sehebat apa derita yang diterima Bro, sehebat dan seperih kawan-kawannya memenuhi penjara-penjara dan kamp pembuangan di Indonesia yang dimaki-maki para pemberi santiaji sebagai manusia kufur tiada tara? Apakah derita itu setara dengan ayah Bro, hingga jadi mayat pun enggan disentuh orang kecuali rubungan lalat dan belatung; mayat seorang anggota parlemen cum dai yang dinistakan lebih nista dari "ikan patin yang terapung membusuk" hanya karena anaknya dipercaya sedemikian-demikian sebagai dalang pembantai para jenderal.
Membuka kembali Melawan dengan Restoran dan beberapa karya Sobron Aidit, sosok "Bro" menjadi terang-benderang. Bro adalah Sobron dalam rekaan. Dan di salah satu resensi atas buku Sobron Aidit Melawan dengan Restoran dalam buku ini (hlm 200), Martin menulis: "Buku yang tak berhasil melepaskan citranya yang tak lebih dari sekadar armchair travelogue di mana getaran jiwa tak menemukan lubuknya, hambar."
Batu Asah dari Benua Australia. Kisah tentang kepulangan manusia buangan. Dihancurkan dalam kurungan selama belasan tahun dan disampahkan dalam masyarakat tanpa batas waktu. Kisah tentang kepulangan yang dirindukan, tapi sekaligus masalah baru. Refleksi ribuan "buruh" yang ternista dari kamp buangan Buru saat "beradaptasi" kembali dengan dunia modern: menikmati penerangan dari lampu bohlam di malam hari, berjalan-jalan ke tengah kota yang mulai ramai dengan automobil dari Jepang. Dan tentu saja mencari pekerjaan kasar di luar domain ambtenaar, walau sang tokoh adalah master lulusan Universitas Waseda, Jepang. Sebagai putera seorang alumnus Digoel--si "aku" sendiri adalah alumnus Buru (generasi kedua kaum buangan dalam sejarah gelap pergerakan Indonesia)--satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah menjadi tukang.
Bagi "manusia sampah" yang kutukannya diabadikan rezim yang dijaga "Serdadu Pedagang", master anu di universitas beken luar negeri tak ada gunanya sama sekali. Si tokoh sadar benar dengan nasib itu. Satu-satunya keahlian yang bisa digunakan si aku dalam masyarakat modern di era pembangunan adalah jadi kuli. Dan keahlian sang tokoh adalah: mengasah perkakas yang berfungsi memotong: gunting, pisau. Modalnya: batu-asah warisan bapaknya.
Dengan batu-asah dari Australia itulah, Martin Aleida menggambarkan salah satu fragmen seorang terdidik yang disampahkan ketika bersabung nasib pasca pembuangan di tahun 1979. Ribuan orang manusia-manusia "sampah" ini mengarungi hidup yang asing saat mereka "bebas". Mereka mencari dan menggali sekreatif-kreatifnya "batu-asah" yang mereka punyai agar tak jadi "sampah" sejorok-joroknya di tengah keluarga besarnya lantaran menjadi gulma ekonomi.
Wasiat untuk Cucuku. Soliloqui seorang kakek, jurnalis kawakan yang telah menyaksikan dengan intens dunia luar seperti Amerika. Merabai kehidupan kota paling nista dengan persundalan dan kesialan yang menyertainya. Wasiat tentang sketsa kota dari orang-orang bernasib sial dan bertahan agar mati "ksatria": bukan karena sakit jantung dan stroke. Mati karena dua penyakit itu sungguh memalukan: menuju liang dengan kaki gempor dan mulut menyon. Siapakah sang kakek? Di bagian "Langit Kedua" Martin Aleida menceritakan dua paragraf kisah persalinan anaknya saat ia berkisah tentang "perkelahian"nya dengan Salim Said (hlm 239).
Tiada Darah di Lamalera. Sekilas prosa ini adalah reportase etnografi tentang tradisi perburuan koteklema di Hari Buruh 1 Mei. Namun Martin cerdik. Juga memperlihatkan pada siapa ia berpihak: pada pemburu haus darah yang dibantu mantra-mantra jahiliah oleh pastor yang berjaga di kapel-kapel batu gunung yang ditatah ataukah koteklema atau paus-paus penjelajah samudera yang mendekati gigir pantai Lamalera atau Adonara? Martin memilih kaum paus atau para pemburu itu menamainya koteklema. Martin berpihak pada mereka yang diburu dan dikorbankan untuk sebuah upacara yang diberkati agama.
Koteklema itu, seperti kawan-kawan penulis di tahun 1965, diburu tiada ampun dan darah mereka memerahkan laut Lamalera. Sejarah laut Lamalera adalah sejarah darah koteklema. Ada memang koteklema yang melawan dan binasa. Darahnya memerahkan laut. Namun ada juga menyerahkan diri bulat-bulat untuk "kesejahteraan nelayan yang kelaparan" dan demi ini demi itu. Argumentasi paus-paus yang menyerahkan diri bulat-bulat itu di pasir pantai sederhana saja: agar darah tak tumpah (lagi) di laut Lamalera.
Laut Lamalera adalah sejarah Indonesia 1965. Tapi Martin mengurainya dengan menekan rasa dendam dan kutukan. Hingga di akhir kita hampa: membela korban atau mengutuk para pembunuh dan pemburu. Korban perburuan 1965 menyimpan dilema dalam jiwa masyarakat Indonesia yang Pancasilais, sholeh beragama, tapi tak merasa berdosa membantai sesama warganya se-NKRI. Tapi perburuan paus adalah adalah fabel perburuan manusia-manusia kiri yang juga melibatkan agama sebagai pembenarnya.
Eric, Makanlah.... Martin berkisah tentang anjing impor yang malang. Namanya Eric. Lengkapnya Eric von Bloomberg. Dalam dunia anjing selebritas, kaki Eric depan yang pincang menjadikannya menjadi makhluk kelas paria. Tapi anjing adalah makhluk paling loyal pada tuannya ketimbang kucing yang culas. Hubungan cinta anjing malang yang tak bertara pada sang tuan ini yang dikisahkan Martin Aleida. Fabel ini seperti menyiratkan pesan, secacat dan senajis-najisnya bangsa anjing, toh ia lebih setia pada tuannya ketimbang kucing yang tampak imut, penurut, namun culas, licik, dan maling makanan. Siapakah sang tuan? Mungkin ia adalah asas dari sebuah bangsa bernama Indonesia, yakni Pancasila. Entahlah. (Bersambung)
Martin Aleida 5
Martin Aleida 4
Martin Aleida 3
Martin Aleida 1
2 comments:
Saya tidak menemukan seri pertama catatan ini, boleh ditunjukkan
Post a Comment