23 September 2013

Si Penjual Warisan

:: gus muh

Percayalah, tempe itu warisan. Bahkan sumbangan Jawa untuk (seni masak) dunia. Jika tak percaya, tanyakan kepada sejarawan Onghokham. Pada pergantian alaf ketiga, 1 Januari 2000 di Kompas Edisi Milenium, ia menulis argumentasinya satu halaman penuh bahwa tempe itu, “daging dari pertanian”, adalah cara orang Jawa yang diolah-kreatif dari Cina untuk menyiasati kepadatan penduduk dan sistem kerja paksa dengan menciptakan tempe sebagai gizi penolong.

Dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (1922) tempe itu dimasukkan dalam kategori "kue" yang terbuat dari kedelai dan melewati proses peragian yang merupakan makanan kerakyatan (volks voedsel). Tempe menyumbang protein bagi masyarakat dan masih primitif secara teknologi (diinjak-injak) yang mirip dengan produksi anggur di Eropa.

Tempe yang ditemukan secara anonim dalam masyarakat ini, oleh Onghokham, disejajarkan dengan penemuan kretek yang merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan saos.

Kretek disebut JA Noertjahjo (2000,  h 54) sebagai tonggak bangsa karena sumbangannya bagi kebiasaan masyarakat dan industri Indonesia abad 20. Disebut-sebut bahwa Sultan Agung, raja Mataram 1613-1945 adalah perokok kelas berat. Di zaman ini pula muncul kisah Roro Mendut yang menjadi salesgirl rokok abad 17. Rokoklah yang mempertemukan Mendut dengan Pranacitra di pasar.

Selain tempe dan kretek masih ada jamu, batik, dan sederetan warisan lain yang merupakan tonggak bangsa. Semuanya adalah warisan yang disumbang oleh keilmuan masyarakat masa lampau untuk dunia. 

Daulat Warisan 

Banyak memang ragam warisan. Ada yang bersifat bendawi seperti bangunan arsitektural, arsip, dan dokumen. Warisan itu juga bisa nilai-nilai tradisi seperti ritus upacara yang perlahan-perlahan tersisih, dan goyang-rasa di lidah seperti tempe dan kretek.

Warisan bisa pula berbentuk sistem politik dan hukum yang melindungi semesta warisan yang ada. Sukarno-Hatta dan sejumlah nama yang tersebutkan di “buku hitam” Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1945) mewariskan bentuk Negara Kesatuan yang berbentuk “Republik” (daulat kawasan), teks Proklamasi (daulat merdeka yang berdiri di atas tripanji kemandirian: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, bermartabat secara kebudayaan), dan UUD 1945 (daulat hukum).

Tiga daulat itulah—daulat merdeka, daulat kawasan, daulat hukum—yang menjadi pilar utama pelindung semua warisan yang ada dan menjadi pegangan pemangku pemerintahan yang terus berganti saban waktu. 

Negara Gagal 

Negara yang diatur sebuah rezim yang tak bisa menjaga warisan adalah “negara gagal”. Ilustrasinya begini. Jika sebuah keluarga atau perusahaan menuju titik bangkrutnya, maka langkah paling akhir yang dilakukannya adalah menjual warisan yang dititipkan leluhurnya berupa perhiasan, tanah, surat berharga, dan lain-lain.

Itulah yang kita lihat dalam 10 tahun terakhir. Satu-satu warisan itu tergadaikan tanpa ada proteksi apa pun dari pemerintah. Tempe sebagai warisan Jawa untuk dunia sudah lama habis dikunyah rente yang praktiknya dibiarkan.

Kretek berjuang dengan napas satu-satu di garis mati untuk segera masuk dalam cengeraman korporasi multinasional. Alih-alih pemerintah dimintai badannya untuk jadi perisai warisan ini, malahan pemerintah sendiri mendorong tempe dan kretek ke alun-alun penjagalan.

Jamu sebagai warisan sumber daya genetika, secara diam-diam, juga terdorong ke meja jagal korporasi internasional jika diplomasi pemerintah gagal memberikan perlindungan dari pemangsaan negara-negara pengklaim paten yang memiliki penguasaan teknologi. Sinyal bahwa jamu dan warisan sumber daya genetika lainnya terancam terlihat ketika pada tahun 1990-an petani Indonesia yang menanam tanaman herbal dituding perusahaan kosmetik raksasa Jepang, Shiseido, melanggar paten. Padahal tanaman-tanaman herbal petani itu lazim dipakai sebagai jamu.

Satu-satu terlepas. Satu-satu warisan tergadaikan. Jika memang tak punya keberanian moral untuk menginvestasikan dana triliunan untuk membiayai riset bagi warga-warga berotak cemerlang untuk penemuan-penemuan penting, ya paling tidak punya kesanggupan minimum, yakni merawat warisan yang sudah dipunyai.

Tapi yang terjadi tidak demikian.

Pemimpin negara berpesta pora untuk mantenan putera-puterinya di Istana Rakyat, sementara pusat dokumentasi film dan sastra di mana ekspresi kebudayaan masyarakat tersimpan hidup sekarat.

Untuk menyelamatkan politik perkoncoan yang bersembunyi di balik frasa “Pemilu”, pemangku pemerintah habis-habisan menggarong warisan alam yang ada di perut Republik tanpa sungkan. KPK bilang dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang beroperasi di Indonesia, 70 persen dikuasai kepemilikan asing. Tiap tahun KPK mencatat ada Rp 7.200 T dari warisan energi itu dirampok.

Astaga, jangankan melindungi warisan-warisan yang besar dan luas di lautan dan di perut daratan Nusantara, menjaga tempe dan kretek saja sudah katiwasan.

Menteri-menteri yang berwewenang alih-alih bekerja keras mengembalikan daulat “bangsa tempe” ini, malah segera mundur dari posisinya jika partai memilihnya menjadi calon presiden dalam sebuah pesta konvensi yang katanya menyaring pemimpin yang berkualitas menjaga warisan dan mencipta temuan-temuan baru untuk Indonesia Raya.

Menjaga garis warisan hijau di hutan Sumatera dan Kalimantan? Siapa yang mau percaya jika menjaga Museum Nasional yang notabene letaknya berada di hidung penghuni Istana Negara saja tidak becus. Peristiwa hilangnya artefak leluhur di Museum Nasional bukan sekadar pencurian biasa, namun bisa dibaca sebagai sasmita betapa lemahnya (pemimpin) bangsa ini merawat dan menjaga warisan yang dititipkan leluhur kepadanya.

Pada akhirnya tempe ini betul-betul mengutuk kita sebagai bangsa yang terinjak-injak. Lemah menjaga warisan di darat, laut, dan udara. Krisis kedelai adalah kutukan sempurna yang kita terima sebagai “bangsa tempe” yang daulatnya di tubir kebangkrutan.

* Versi Cetak Dimuat Harian Kompas, "Teroka", 8 Januari 2014, hlm 12, "Daulat Tempe dan Warisan"


No comments: