:: gus muh
Kongres Kebudayaan 2013
diselenggarakan saat heboh pencurian Museum Nasional belum juga hilang dari
halaman koran cetak dan daring. Peristiwa itu menandai satu fase paling genting
bahwa sesungguhnya kita tak tahu bagaimana mengelola "apa-yang-ada"
di lini masa kebudayaan.
Katakanlah pencurian artefak-artefak budaya yang juga berlangsung intensif di Yogyakarta di mana Kongres Kebudayaan 2013 berlangsung adalah "peristiwa biasa" dalam pasar gelap barang-barang antik. Namun sekaligus peritiwa itu kita bisa pahami sebagai ambruknya kewaskitaan bahwa kita lemah menjadi bangsa penjaga warisan.
Katakanlah pencurian artefak-artefak budaya yang juga berlangsung intensif di Yogyakarta di mana Kongres Kebudayaan 2013 berlangsung adalah "peristiwa biasa" dalam pasar gelap barang-barang antik. Namun sekaligus peritiwa itu kita bisa pahami sebagai ambruknya kewaskitaan bahwa kita lemah menjadi bangsa penjaga warisan.
Dan mental itu makin rusak
saat kita melihat ancaman serius pada salah satu situs besar Nusantara di
Trowulan,
Jawa Timur, yang sialnya justru
dilakukan pemerintah sendiri.
Lemah menjaga yang ada jangan
berharap banyak muncul inovasi budaya yang kuat yang membuat dunia memberi
penghormatan.
Kita ingin bicara tentang “Kebudayaan untuk Ke-Indonesiaan” hari ini dan masa depan dengan berkampanye besar-besaran ihwal "ekonomi kreatif"; di saat yang sama masa silam kita bocor di sana-sini dan memiuh. Lalu kita bicara warisan apa.
Pewarisan budaya adalah soal yang kompleks. Namun dalam kompleksitas itu ada hal-hal yang sebetulnya yang mudah kita lakukan, yakni memelihara yang sudah terberi oleh masa silam. Masa silam masih menjadi penyumbang yang sangat besar dalam wacana kebudayaan kita, terutama yang lahir dari renaisans Nusantara pertama abad 10.
Mesti kita akui pariwisata—dan kini ekonomi kreatif (sic!)—sama sekali masih bertumpu pada warisan masa silam ini. Terutama apa yang terberi oleh alamnya. Di satu sisi kita menengadahkan harap bahwa "masa silam" masih cukup kuat menyumbang berkah ekonomi, sementara ketika muncul tuntutan bagaimana merawat—apalagi menafsir—masa silam itu, dada kita menjadi tersengal-sengal.
Sampai di sini strategi warisan pewarisan budaya mengalami sungsang. Paras kita lebih tampak bukan sebagai resi berwajah teduh dan teguh yang menjaga nyala lilin peradaban Indonesia, melainkan makelar-makelar budaya dengan mata belingsatan mencari semua celah untuk mendapatkan keuntungan pragmatis. Kita adalah pedagang budaya yang buruk dan serakah!
Tapi baiklah. Katakanlah kita memang makin lemah dalam menjaga warisan “masa silam”. Tapi apakah dengan begitu kita sudah memiliki perencanaan yang jelas bagaimana penciptaan kebudayaan baru untuk manusia baru?
Mari berandai-andai. “Ekonomi kreatif” mengandaikan bahwa kebudayaan terkini yang bisa bersaing adalah kebudayaan yang memiliki nilai ekonomis. Sebut saja film dan musik. Film diproduksi sebanyak-banyaknya. Musik masih bunyi, hiruk-pikuk, dan belum senyap. Namun masih “eksis”nya film Indonesia dan masih ributnya suara musik di kuping adalah bagian dari strategi kebudayaan ataukah hanya tuntutan eksistensi tanpa rencana besar apa pun.
Kita sangsi besar. Sebab sudah lama dunia perfilman berjalan seperti orang buta. Nabrak sana-sini. Museum dan lembaga arsip film yang representatif untuk melihat serangkaian pencapaian artistik tak dipunyai. Sekolah perfilman yang memadai juga tak ada. Kalau pun ada sangat tidak ideal untuk mendorong lahirnya tenaga kreatif yang melimpah.
Di bidang musik, bahkan kita tak punya catatan yang lengkap apa pun untuk menjawab pertanyaan; hidup macam apa saja yang sudah terjadi pada dunia bunyi ini selama satu abad terakhir, baik musik tradisi maupun musik populer. Sementara museum musik yang menjadi altar di mana kita berkaca juga sampai kini belum dipunyai; hatta kita punya presiden seorang pencipta lagu dan bisa memetik gitar di Forum APEC Bali Oktober 2013.
Tapi bukankah di mana-mana hiruk-pikuk kebudayaan kita temukan di brosur-brosur agenda budaya di banyak kota. Ya, betul. Beragam peristiwa kebudayaan digelar masyarakat, festival budaya nyaris setiap pekan digebyar, pameran seni rupa, pertunjukan musik dan teater, seminar budaya dan bahasa makin sering diadakan.
Namun mengarah ke titik mana semua peristiwa itu kita tak tahu. Terlihat bergerak, tapi gerak itu bukan gerakan, namun gerak-gerik. Gerak-gerik tak pernah membawa kita pada lompatan besar, melainkan berkitar-kitar pada kasak-kusuk dan rampasan proyek saban tahun dari anggaran negara.
Dalam gerak-gerik budaya itu kita sama sekali tak butuh peta yang serius. Sebab peta hanya dibutuhkan untuk sebuah gerakan budaya. Sementara itu, peta membutuhkan data yang komprehensif tentang ekosistem kebudayaan yang dipunyai; bukan saja keluasan bidangnya, melainkan juga kelampauannya untuk mendapatkan strategi yang berefek jangka panjang.
Bila sudah bicara mana data komprehensif itu, kagetlah kita! Di mana bisa mendapatkan data paripurna itu? Di kampus-kampus yang memiliki fakultas budaya? Ah, jangan bercanda. Tapi sudahlah, seperti biasa, kekagetan itu hanya sesaat dan besok hidup kembali normal seraya mengumpulkan sejawat mendiskusikan: strategi apa lagi yang kita bikin untuk menjual warisan yang ada!
Kita ingin bicara tentang “Kebudayaan untuk Ke-Indonesiaan” hari ini dan masa depan dengan berkampanye besar-besaran ihwal "ekonomi kreatif"; di saat yang sama masa silam kita bocor di sana-sini dan memiuh. Lalu kita bicara warisan apa.
Pewarisan budaya adalah soal yang kompleks. Namun dalam kompleksitas itu ada hal-hal yang sebetulnya yang mudah kita lakukan, yakni memelihara yang sudah terberi oleh masa silam. Masa silam masih menjadi penyumbang yang sangat besar dalam wacana kebudayaan kita, terutama yang lahir dari renaisans Nusantara pertama abad 10.
Mesti kita akui pariwisata—dan kini ekonomi kreatif (sic!)—sama sekali masih bertumpu pada warisan masa silam ini. Terutama apa yang terberi oleh alamnya. Di satu sisi kita menengadahkan harap bahwa "masa silam" masih cukup kuat menyumbang berkah ekonomi, sementara ketika muncul tuntutan bagaimana merawat—apalagi menafsir—masa silam itu, dada kita menjadi tersengal-sengal.
Sampai di sini strategi warisan pewarisan budaya mengalami sungsang. Paras kita lebih tampak bukan sebagai resi berwajah teduh dan teguh yang menjaga nyala lilin peradaban Indonesia, melainkan makelar-makelar budaya dengan mata belingsatan mencari semua celah untuk mendapatkan keuntungan pragmatis. Kita adalah pedagang budaya yang buruk dan serakah!
Tapi baiklah. Katakanlah kita memang makin lemah dalam menjaga warisan “masa silam”. Tapi apakah dengan begitu kita sudah memiliki perencanaan yang jelas bagaimana penciptaan kebudayaan baru untuk manusia baru?
Mari berandai-andai. “Ekonomi kreatif” mengandaikan bahwa kebudayaan terkini yang bisa bersaing adalah kebudayaan yang memiliki nilai ekonomis. Sebut saja film dan musik. Film diproduksi sebanyak-banyaknya. Musik masih bunyi, hiruk-pikuk, dan belum senyap. Namun masih “eksis”nya film Indonesia dan masih ributnya suara musik di kuping adalah bagian dari strategi kebudayaan ataukah hanya tuntutan eksistensi tanpa rencana besar apa pun.
Kita sangsi besar. Sebab sudah lama dunia perfilman berjalan seperti orang buta. Nabrak sana-sini. Museum dan lembaga arsip film yang representatif untuk melihat serangkaian pencapaian artistik tak dipunyai. Sekolah perfilman yang memadai juga tak ada. Kalau pun ada sangat tidak ideal untuk mendorong lahirnya tenaga kreatif yang melimpah.
Di bidang musik, bahkan kita tak punya catatan yang lengkap apa pun untuk menjawab pertanyaan; hidup macam apa saja yang sudah terjadi pada dunia bunyi ini selama satu abad terakhir, baik musik tradisi maupun musik populer. Sementara museum musik yang menjadi altar di mana kita berkaca juga sampai kini belum dipunyai; hatta kita punya presiden seorang pencipta lagu dan bisa memetik gitar di Forum APEC Bali Oktober 2013.
Tapi bukankah di mana-mana hiruk-pikuk kebudayaan kita temukan di brosur-brosur agenda budaya di banyak kota. Ya, betul. Beragam peristiwa kebudayaan digelar masyarakat, festival budaya nyaris setiap pekan digebyar, pameran seni rupa, pertunjukan musik dan teater, seminar budaya dan bahasa makin sering diadakan.
Namun mengarah ke titik mana semua peristiwa itu kita tak tahu. Terlihat bergerak, tapi gerak itu bukan gerakan, namun gerak-gerik. Gerak-gerik tak pernah membawa kita pada lompatan besar, melainkan berkitar-kitar pada kasak-kusuk dan rampasan proyek saban tahun dari anggaran negara.
Dalam gerak-gerik budaya itu kita sama sekali tak butuh peta yang serius. Sebab peta hanya dibutuhkan untuk sebuah gerakan budaya. Sementara itu, peta membutuhkan data yang komprehensif tentang ekosistem kebudayaan yang dipunyai; bukan saja keluasan bidangnya, melainkan juga kelampauannya untuk mendapatkan strategi yang berefek jangka panjang.
Bila sudah bicara mana data komprehensif itu, kagetlah kita! Di mana bisa mendapatkan data paripurna itu? Di kampus-kampus yang memiliki fakultas budaya? Ah, jangan bercanda. Tapi sudahlah, seperti biasa, kekagetan itu hanya sesaat dan besok hidup kembali normal seraya mengumpulkan sejawat mendiskusikan: strategi apa lagi yang kita bikin untuk menjual warisan yang ada!
Dimuat di Harian Koran Tempo, 10 Oktober 2013, "Pendapat", hlm A 10
No comments:
Post a Comment