Klise memang terdengar. Namun ketulusan dan hidup penuh syukur itu diulas dengan cara yang tak biasa. Sebagaimana enigma frase "tulus" itu sendiri dalam tindakan hidup sosial. “Tulus itu dicaci tidak tumbang; dipuji tidak terbang,” kata Anies Baswedan. (h 294)
Tulus adalah kristalisasi dari proses energi “Angkatan Kelima” yang memenangkan persaingan karakter-dalam dari ringkusan hidup harian yang keras. Prinsip dasar semangat "Angkatan Kelima" adalah melihat hidup bukan melulu deret ukur masalah, melainkan misteri yang terus-menerus disingkap oleh jiwa penerabas.
Galau itu tak menjadi masalah bila diikuti move on yang berarti gerak tanpa henti menyingkap misteri kehidupan. Bahkan kata "jahat", "gelap", "dingin" sekalipun dalam bentang-pikir penyingkap misteri semacam Albert Einstein menjadi bermakna. Kata Einstein, dingin adalah karena ketiadaan panas, gelap terjadi karena ketiadaan cahaya, dan munculnya jahat karena ketiadaan cahaya Tuhan.
Olah-perspektif semacam Einstein itu bukan sesuatu yang jadi dengan sendirinya, melainkan diramu dalam lingkungan belajar. Ki Hadjar Dewantara merumuskan trisentra belajar: rumah, perguruan, pergerakan.
Dari situ jelas, sekolah atau perguruan hanyalah salah satu institusi sosial yang merangsang manusia-muda menyingkap misteri kehidupan lewat “rahmat pusaka” yang dititipkan Tuhan. “Rahmat Pusaka” yang merupakan tempaan karakter pembelajar dari—meminjam istilah Ki Hadjar lagi: kendel (paham), ngandel (yakin), bandel (kreatif)—inilah yang melahirkan perkakas peradaban; dari lampu, mesin, hingga internet dengan sederet perkakasnya yang berdiam di Lembah Silikon USA.
Dengan pengalaman 23 tahun menjadi guru—dari SMAK Diponegoro Blitar hingga De Brito Yogyakarta—J Sumardianta sekuat-kuatnya mengeksplorasi “rahmat pusaka” anak didiknya agar “bandel”-nya muncul dan mendapatkan respek.
Karena dalam prinsip dasar Pak Guru—sebagaimana diteladankan St Kartono—guru adalah saksi yang mengutamakan nilai-proses, ketimbang nilai-akhir. Panggilan pertama mengajar adalah teladan laku bagi muridnya. Sebab si murid lebih banyak mengingat apa yang dilakukan gurunya ketimbang apa yang diajarkannya.
Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, "nglakoni" (menjalani) adalah puncak dari ilmu setelah "ngerti" (memahami) dan "ngrasa" (menghayati). Dalam kultur pendidikan di De Brito "nglakoni" itu diringkus dalam "Program Imersi" (h 262). Sebuah program yang melepas siswanya selama saat untuk menjalani hidup di masyarakat terbawah yang jauh dari fasilitas. Si murid dilepas dari belajar kepada guru di sekolah ke belajar pada guru kehidupan.
Saya kemudian memahami, mengapa dari 326 halaman buku ini porsi mengembalikan posisi dasar guru menjadi besar dan nyaris tak mempersoalkan murid sebagai “makhluk terlemah” dalam rantai belajar-mengajar di sekolah.
Semua manusia adalah guru. Guru-guru itu terentang dari si petarung tak mengenal lelah bernama Daud di masa Palestina kuno (h 17), si penyair sufi Jalaluddin Rumi dari Balkh Afganistan (h 317), si jenius Albert Einstein dari Jerman dan cemerlang di USA (h 250), hingga penerabas Jan Koun yang membikin WhatsApp (h 31).
Pak Guru juga menawarkan perkaya hidup Anda dengan berendah hati belajar pada keuletan kakek bodoh penghancur gunung agar seisi kampung menikmati sinar matahari pagi. (h. 167)
Tak hanya kepada manusia Anda berguru, tapi kepada flora juga terdapat misteri kehidupan yang bisa ditimba untuk memperkaya perspektif. Belajarlah pada kehidupan pakis dan bambu (h 185) untuk tahu mengapa pentingnya akar yang kokoh untuk menantang angin besar di ketinggian. Renungkanlah hikayat ilalang yang selalu diinjak-injak tapi berwatak penerobos yang bahkan mampu merekahkan aspal yang keras untuk bisa hidup dan meraih kemahsyuran (h. 235).
Bahkan, buku HGTM Pak Guru ini mempersilahkan Anda berguru pada kulup kelamin Mas Darman Gondo (h. 208) tentang makna darah dan kesengsaraan untuk meraih kebahagiaan dan kesehatan tubuh yang prima.
Karena itulah buku HGTM bukan buku melulu motivasi, tapi lebih tepat disebut siasat; sebuah ritus-laku yang ditimba dari pengalaman penulisnya menjadi pelayan bagi murid-muridnya selama hampir sepertiga abad di institusi sekolah (perguruan).
Tak mengherankan, keinsyafan yang ditimba dari pengalaman itulah yang menyadarkan Pak Guru bahwa narasi atau cerita bisa menjadi metode masuk untuk mentransformasikan hal-hal abstrak kepada murid: kejujuran, kerja keras, karakter, inspirasi, kepemimpinan, pendidikan, dan kebahagiaan. Termasuk narasi humor yang membuat guru dan murid bisa tertawa bersama-sama; menertawakan nasib masing-masing sebagai manusia.
Paham saya mengapa enteng betul humor-gelap tentang mata bengkak Abu (h 261) ketika ditanya Ibu Guru bisa muncul secara alami dari interaksi Pak Guru dan muridnya yang egaliter.
Tersebutlah Abu yang tiap masuk kelas matanya selalu lebam ditanya ibu gurunya: "Mengapa kantong matamu bengkak begitu?" Abu menceritakan rumahnya yang 'praktis'; dapur, kakus, kamar tidur, dan ruang tamu berhimpitan. Tiap malam, ayah Abu selalu bertanya: "Sudah tidur Abu?" Abu selalu bilang belum dan hasilnya: gamparan.
Untuk "menyelesaikan" masalah, enteng saja Bu Guru menasehati: "Kalau begitu, mulai nanti malam, kalau ayahmu bertanya lagi, kamu diam saja. Tidak usah menjawab."
Hari-hari berlalu. Ibu guru senang karena mata Abu kembali sehat. Dan betapa kagetnya Bu guru ketika melihat wajah Abu yang ternyata makin runyam di suatu hari. Inilah cerita Abu:
"Semalam ayah ibu bertanya bersamaan, 'Abu, sudah tidur? Saya tidak menjawab, Bu Guru. Pura-pura saja Abu tidur. Ayah ibu mulai menggeliat. Ayah mendengus keras sekali dan ibu membalasnya dengan tendangan kaki dan pekikan yang tertahan. Tiba-tiba ibu bertanya pada ayah: 'Sudah mau keluar?' Ayah dengan napas berkejaran menjawab pendek, 'Ya!' Tahu sendiri, Bu Guru, kalau ayah ibu bepergian, Abu selalu diajak. Mendengar mereka mau keluar larut malam, saya berteriak: 'Abu ikut!' Teriakan saya itu membikin muka saya hancur begini, Bu Guru."
Demikianlah, masih ada 40 narasi dalam 40 tulisan dalam buku HGTM ini yang mengajak Anda bergiat tulus, hidup enteng, berpikir positif, sebagaimana prinsip enam “sa” yang dirumuskan Ki Ageng Suryo Mentaram untuk menyecap kebahagiaan, yakni: sabutuhe (sebutuhnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sabenere (sebenarnya), samesthine (semestinya), dan sakpenak’e (sepantasnya).
Habis Galau Terbitlah Move On
Penulis: J Sumardianta
Penerbit: Bentang, November 2014
Tebal: 326 hlm
1 comment:
Blog kakak bagus. Saya penjual motor untuk area Tulungagung, Kediri dan Trenggalek. Jika ingin membeli motor klik disini kak
Post a Comment