Ini mirip dengan soal yang juga tak habis-habis di dua kabupaten bertetangga di Jawa Timur: Gunung Kelud itu punya siapa, orang Blitar atau Kediri?
Rakyat Jokowi yang berusia muda dengan enersi yang meluap-luap ternyata butuh pilihan-pilihan yang simpel, sebagaimana Bapak Jokowi juga suka yang simpel-simpel. Simpel itu revolusioner, kata Sukarnois radikal. Dan dalam banyak hal, perampok dan pemburu cinta garis keras juga punya prinsip yang sama. A atau B! Merdeka atau Mati! Uang atau Nyawa! Aku atau dia!
Sukarno juga orangnya simpel; terutama soal merokok. Istana Merdeka atau Istana Negara memang tertutup buat para perongrong “Persatuan Nasional”, proyek agung Si Bung, tapi cukup ramah untuk perokok.
Lho, Sukarno perokok? Di Istana Negara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta?
Untuk soal ini, Presiden Joko Widodo bakal berhati-hati minta pertimbangan jawaban dari Bapak Sukardi Rinakit yang mungkin tak nyenyak tidurnya di pekan “Pancasila-Sukarno” 2015 ini. Karena itu, saya anjurkan Pak Jokowi bertanya kepada Mangil Martowidjojo, si kumendan Detasemen Kawal Pribadi si Bung Besar.
Dalam kesaksiannya, si Mangil membenarkan bahwa merokok di kantor presiden bukan praktik kejahatan. Merokok di Istana adalah sesuatu yang lumrah.
Presiden Sukarno itu perokok. Merek rokoknya State Express “555”. Si Bung Besar biasanya merokok sehabis makan. Kalau pagi, si Bung yang lahir di Surabaya (versi bisikan Bapak Rinakit, Blitar) itu suka minum kopi tubruk dengan takaran: satu cangkir diisi sesendok kopi dan satu setengah sendok gula. (Maafkan Bung Besar ya, Mas Pepeng “Klinik Kopi”).
Sukarno tahu betul komposisi jumlah rokoknya dalam kaleng. Sekaleng jumlahnya 50 batang. Sebagai perokok kelas ringan (wajib dua batang sehari sehabis makan), Sukarno suatu hari masygul dan tak habis pikir. Bagaimana mungkin persediaannya 50 batang bisa habis dalam satu hari saja.
Mangil orang pertama yang diinterogasinya. Diketahuilah, teman-temannya sesama pengawal si Bung yang menyikatnya. Maka dari itu, tugas si Kumendan bukan hanya mengurusi pakaian dan tongkat si Bung, tapi juga persediaan rokoknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Kepada si Kumendan, Sukarno memberi nasehat: “Mangil, kamu itu selalu dekat Bapak. Ibaratnya kamu harus selalu pegang baju Bapak sebelah belakang. Mangkanya kamu sebaiknya selalu membawa sakarin dan korekapi. Sungguhpun yang minta api itu bukan saya, tapi orang lain yang mau merokok, kamu dapat pahala.”
Wew, memberi korekapi saja dapat pahala, apalagi sekalian dengan rokoknya. Sungguh itu akuntansi pahala yang simpel. Baik hati dan bijak bestari ya si Bapak Bung ini kepada perokok; sebijak Bung Abraham Lincoln yang santai-santai saja saat di ruang kerjanya Si Sekretaris Kabinet menyulut rokok.
Walaupun respek kepada sesama perokok, Bapak Bung tak segan-segan menghardik perokok urakan yang sembarangan buang puntung terakhir hisapannya.
Saat Si Bapak Bung jalan-jalan pagi, ia terhenti di pos jaga Istana Negara. Matanya tertumbuk pada puntung rokok di tanah. Kepada penjaga Si Bapak Bung bertanya: “Siapa yang suka merokok? Keluarkan, saya mau lihat merek rokokmu apa?”
Setelah si petugas jaga mengeluarkan rokok dari sakunya, rupanya mereknya berbeda dengan puntung rokok yang masih terkapar di tanah. Sudah, si Bapak Bung mengambil tindakan yang simpel: menunduk dan memungut puntung rokok itu dan meletakkannya di asbak di meja pos jaga sambil mengeluarkan nasehat untuk selalu jaga kebersihan.
Simpel. Nggak pake ribut, apalagi pakai kultwit dan menyebarkan petisi, seperti nasib malang menimpa Menteri Khofifah saat menyumbang sembako+rokok kepada warga yang tinggal di pedalaman.
Intinya jaga kebersihan. Hidup yang seimbang. Merokok iya, tapi lihat-lihat tempat dan jangan buang puntung rokok sembarangan. Tak lupa si Bung Besar selalu membiasakan banyak minum air putih dingin tanpa es.
Selamat ulang tahun untuk Si Bapak Bung. Salam 555!
* Pertama kali dipublikasikan di web mojok.co, 7 Juni 2015. Tulisan di mojok.co yang lain di sini.
No comments:
Post a Comment