02 March 2007

Jangan Banyak Begadang

Sekira bulan November 2002, bapak saya jauh-jauh melintasi laut Makassar dan laut Jawa ke kota jogja. Setelah sekian hari di jogja, saya tawarkan bagaimana kalau belanja oleh-oleh di Malioboro saja seperti beli batik untuk dibawa pulang ke sulawesi. Di Jogja, dan juga Solo, banyak sekali batik dan cinderamata untuk oleh-oleh tetangga.

Tapi saya tak menyangka si bapak meminta sesuatu yang nyaris sudah saya lupakan. Ia membelok di tikungan dan menawar permintaan. Allamak, dua hari tiga malam di perjalanan untuk sampai injak tanah Jogja, dia cuma ingin kaset Oma Irama. Kalau bisa filmnya sekalian.

Kata ibu, "Kamu carikanlah buat bapakmu lagu-lagu itu... supaya dia nggak rampasan sama cucu-cucunya kalau pas TPI mutar pilem Oma."

Bagi orang-orang kampung yang jauh dari episentrum industri hiburan, Rhoma Irama bukan hanya bintang pilem, tapi juga hero dan guru susila. Setelah sekian lama saya di Jogja, nyaris sosok Rhoma dan pilemnya terlupa bentuknya. Dan melihat pilem Begadang, hari-hari ini, saya seperti mau tersedak. Betapa konyolnya minat kecil saya dulu itu.

Mari nonton film Begadang. Secara tak sengaja keping CD film ini saya temukan di pojok paling kiri Glodok Jakarta sewaktu keringatan memilih film-film bokep dan beberapa film serial Cina seperti Kembalinya Pendekar Rajawali.

Film ini saya nonton pertama kali di bisokop kampung setelah 12 tahun diproduksi. Jadi kalau nggak salah usia saya waktu itu baru 12 tahun. Saya betul-betul terkesima dengan sosok ini. Lihatlah dadanya: kekar, berbulu, otot lengannya kukuh untuk berkelahi, dan, ini dia, selalu ada kalung hitam dari tali tambang yang menggantung nyaris sampai di pusarnya.

Perawakan Rhoma memang pendek gemuk. Dan nyaris semua pakaiannya selalu terbuka lebar di bagian dadanya. Rambutnya ikal. Dan suaranya itu. Bukan hanya pandai menyanyi dangdut, tapi bisa dengan fasih mengutip satu dua ayat dan hadis Nabi. Ia lelaki penuh susila. Dalam bahasa Ani, “Rhoma itu orgnya baik, sembahyang tidak ditinggal.”

Di warung itu ia memakai songkok dan di lehernya menggantung surban. Si penjaga warung, Benyamin S, hanya matanya yang kedip-kedip melihat kedatangan Rhoma. Sesekali ngakak. Rhoma mengambil sebatang rokok dari warung. Memantiknya. Tampaknya ia barusan datang dari pengajian di kampung sebelah.

"Diman, coba kau perhatikan mereka. Kau tahu Tuhan mengharamkan judi. Coba saja lihat. Betapa cela org yg menang. Dan betapa murung orang yang kalah.

"Ada alasan lain kenapa Tuhan melarang orang berjudi?" tanya Diman, temannya.
"Sebab setiap penjudi pasti melupakan kewajibannya untuk solat. Kalau sebagai manusia sudah bisa melupakan kewajiban, manusia itu pasti akan senang melakukan hal-hal munkar."

"Rhoma, pinjam uang dong," kata Ja'far yang tampaknya kalah sedang asyik berjudi.

"Meminjamkan uang untuk berjudi, sama dengan berjudi. Kalaupun saya punya uang saya tidak akan memberikannya."

"Udah, kalau nggak mau minjamin, nggak usah cermah di sini. Sana tuh ibumu ceramahi di sana..."

Rhoma marah besar ibunya disebut-sebut di tempat yang dalam istilah Rhoma: “tempat maksiat seperti ini”. Lalu gelutlah mereka. Dalam film ini, yang dilakukan Rhoma ya pacaran, tarung, ceramah, lalu nyanyi-nyanyi.

Rhoma pada paruh kedua film di penjara karena dituduh membunuh hostess Marni. Di penjara pun, Rhoma itu dikesani ya jago kelahi, penolong, penceramah, dan nyanyi-nyanyi juga. Preman yang jago pembunuh pun menjadi jemaah pengajiannya yang tekun dengar ceramah agama Rhoma di kamar tahanan yang sempit. Kalau nggak salah ada 4 ayat tentang neraka disambarnya dan ada dua hadis yang dicocorkannya untuk nakut-nakuti preman-preman asu itu.

Seting film ini kebanyakan di warung. Nyaris setengah film. Di warung itu Rhoma nyanyi, ceramah, dan pacaran. Di penjara Cipinang juga begitu itu.

Ya, yang barangkali membuat bocah ingusan seperti saya ini terbius betul dengan Rhoma Irama itu karena memang menyanyinya. Tahu sendiri aja, jarang sekali ada film yang ada nyanyi-nyanyinya. Ya cuma di film Rhoma ini. Dalam ungkapan yang tak terlalu berlebihan, Rhoma-lah yang menjadi pionir film balada di Indonesia.

Dalam film ini bahkan Rhoma menyanyi lima lagu. Dan beberapa di antaranya menjadi lagu dangdut yang mengabadi (maksudnya, masih dinyanyikan dengan enak oleh pedangdut yang saat lagu ini dicipta, mereka belum lahir). Sebut saja: ‘Begadang’. Ini dinyanyikan Rhoma di warung sambil joget-joget dengan preman-preman kelurahan yang nggak ada kerjaan. Kata Rhoma sebelum nyanyi: "Malam minggu itu milik orang2 berduit. Untuk org miskin, malam minggu sama dengan malam jumat.”

Trus ada lagu ‘Aku Sayang Padamu’ dan ‘Ani’ untuk merayu Ani (Yati Octafia), anak orang kaya tetangga sebelah. Waktu demo lagu di studio rekaman, Rhoma menyodorkan lagu ‘Demokrasi Pancasila’. Baru sekarang saya insyaf, ini lagu pembangunanisme banget, orbais sekali.

Sewaktu di penjara Rhoma dengan haru nyanyiin lagu ‘Narapidana’ yang sepotong syairnya begini: "Yang benar dipenjara, yang salah tertawa/ Memang mata dunia o o o o."

Akhirul kalam, Rhoma toh ujung2nya jadi pemenang. Ia keluar dari penjara setelah Heri dan begundalnya dibekuk karena terbukti membunuh hostess Marni. Rhoma pun ketemu lagi dengan Ani. Joget-joget. Lari-lari di padang rumput di tanah lapang. Kabarnya kawin sih mereka. Dan anak ingusan seperti saya terkagum-kagum karena pahlawannya menang dan bahagia. O Rhoma… [gusmuh]

No comments: