::zen rachmat sugito, sejarawan partikelir
Buku ini adalah memoar yang merekam jejak pergumulan seorang penulis pemula dengan dunia buku, semacam sketsa pergumulannya dengan dunia kata-kata dan pencarian atas semua kemungkinan yang disediakan oleh kata-kata.
Muhidin M Dahlan mungkin belum bisa disebut sebagai seorang penulis “besar”, jika besar di sini acuannya Pramoedya atau Iwan Simatupang atau jika “besar” diukur dari seberapa penghargaan yang diterimanya. Ya… Muhidin bukan Pramoedya, bukan Iwan Simatupang. Ia memang sudah menerbitkan sejumlah buku karangannya, tapi toh ia belum beroleh penghargaan/award atas karya-karyanya. Usianya pun belum genap 30 tahun. Buku ini bahkan hanya merekam aktivitas Muhidin hingga usianya sekira 24 tahun saja.
Pertanyaannya, perlukah seorang penulis yang masih relatif belia dalam dunia buku dan karang-mengarang, belum punya portofolio yang meyakinkan jika diukur dari berapa award yang telah ditangguknya, belum tercatat dalam kanon sastra Indonesia, dan hanya sesekali mencuat ke permukaan dunia buku di Indonesia karena kontroversi karya-karyanya (terutama trilogi novelnya: Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Kabar Buruk dari Langit, dan Adam Hawa), sudah berani menerbitkan memoar dirinya sendiri?
Sekadar pembanding, Pramoedya menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu atau dalam khasanah dunia, sekadar menyebut, Sartre mengeluarkan Le Mots. Dua penulis kawakan di negerinya masing-masing itu menuliskan memoarnya setelah berusia tak bisa dibilang muda lagi. Mereka mencatatkan kembali pengalaman eksistensialnya dengan dunia kata-kata saat mereka sudah beranjak renta, sudah menuliskan milyaran kata-kata dan telah beroleh sejumlah award.
Tapi Muhidin? Hah! Awalnya saya memandang sinis. Tapi kemudian saya berubah pikiran. Akhirnya saya mengunduh kesimpulan: Buku ini barangkali jauh lebih fungsional bagi para penulis pemula ketimbang memoar memoar orang-orang besar, seperti yang namanya sudah saya catat di paragraf sebelumnya.
Kita sepakat bahwa Pramoedya atau Sartre adalah profil manusia-manusia istimewa yang tidak tiap tahun lahir. Prestasi mereka sudah menjulang setinggi gemintang. Nama mereka sudah dicatat dalam sejumlah epitaf atau pasase yang gilang cemerlang. Tetapi karena itulah mereka seperti di atas awang-awang yang bisa jadi tak terjangkau. Mencontoh mereka tentu tidak sia-sia, tapi bisa meletihkan, dan bisa membikin minder orang-orang seperti saya yang merasa tak berbakat dalam hal menulis dan mengarang.
Buku Jalan Sunyi seorang Penulis (sebelumnya berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta) barangkali memang diperuntukkan oleh para pemula, persisnya mereka-mereka yang merasa bukan siapa-siapa, orang-orang seperti saya, yang merasa dirinya tak terlampau berbakat menulis dan mengarang.
Kehidupan Muhidin, seorang mahasiswa drop out yang miskin, tinggal di kos yang reyot (tak seperti Sartre yang tinggal di apartemen khas borjuasi Prancis yang serba ada seperti bisa kita baca dari memoarnya, Le Mots), tak terlalu berbakat dalam dunia menulis (setidaknya seperti yang ia akui), rasanya begitu dekat dengan kehidupan kita, dengan saya tentu saja, yang akhirnya bisa membikin kita sadar bahwa menulis tak sepenuhnya bisa diatasi dengan bakat. Buku ini adalah salah satu contoh terbaik bahwa menulis lebih membutuhkan ketekunan dan proses belajar yang tak mengenal letih ketimbang mengiba pada datangnya bakat.
Ini bukan buku yang memberi pembaca sejumlah tips dan cara menulis yang memikat. Buku ini tidak seperti buku-buku yang ditulis Hernowo atau Arswendo (Mengarang itu Gampang) atau Muhammad Diponegoro (Yuk, Mengarang Cerpen Yuk) atau Carmel Bird (Menulis dengan Emosi). Buku ini tidak berpretensi untuk mengajari menulis dan mengarang. Buku ini lebih bergerak di area spirit: mencoba untuk menjalarkan semangat menyala yang (pernah) dipunyai Muhidin dalam dunia kepenulisan. Dan itu dilakukan dengan mengisahkan kisah dirinya yang penuh dinamika, pasang surut antara kegetiran-kebahagiaan, kesetiaan-pengkhianatan juga antara keyakinan dan keraguan.
Di buku inilah kita bisa mengerti betapa menulis membutuhkan kesabaran luarbiasa. Muhidin baru dimuat resensinya setelah mengirim 32 kali naskah resensi. Di buku ini pula dicatat bagaimana pahitnya menjadi penulis yang hidup di negeri yang belum sepenuhnya menghargai kata-kata dan para pengarangnya. Pengarang dibiarkan terlunta di tengah kota memundaki kehidupan yang pas-pasan. Dapat honor dari koran yang memuat tulisannya tak berarti membuatnya kaya. Dia masih harus membagi antara kebutuhan untuk makan dan kos dan tentu saja untuk membeli buku-buku yang harganya kian hari kian membumbung setinggi bintang.
Dalam bagian-bagian tertentu halaman ini, kita bisa menjumpai pergulatan Muhidin dengan rasa lapar. Persis seperti bisa kita baca dari novel Knut Hamsun yang termasyhur itu, Lapar. Dan di buku ini pula, kita bisa tahu bagaimana seluk beluk dunia perbukuan dan penerbitan (di Jogja khususnya) yang dalam banyak hal mirip seperti pasar gelap: penuh intrik, sarat pengkhianatan, dan tikam menikam dari belakang. Dan Muhidin bukan sekali dua “ditikam” dari belakang oleh kawan seiring seperjalanan. Barangkali ia sendiri mungkin pernah membokong.
Apa pun, ia toh tetap menulis, menulis apa saja. Kadang berhasil membuat sebuah tulisan yang bagus, tapi sering pula menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa saja, sehingga kerap ditolak redaktur koran atau editor penerbitan. Tapi ia terus menulis.
Dan ketika sedang menulis, Muhidin, juga siapa saja yang menikmati betul dunia kata-kata, akan lupa waktu dan segalanya. Jika itu terjadi, Dewi Lestari, pengarang Supernova itu, mungkin memang benar. Kata Dewi, “Menulis itu seperti para darwis yang menari sampai trance.”
No comments:
Post a Comment