12 April 2008

Batu, Macondo, dan Halimunda

::gus muh

Perempuan, besok pakailah rok bergembok dan sekalian cawat logam bersepuh!!! Fesyen cap "Anti Teror".

Kabar ini datang dari Malang yang saya baca pertama kali pada 4 April 2008 di Harian Banjarmasin Post. Untuk mengantisipasi maraknya praktik esek-esek di panti pijat di Kota Batu (Malang), Pemkot menerapkan aturan baru. Yakni, para peramu pijat diwajibkan memakai gembok dengan mengunci rok dan celana dalam yang dipakai sehingga para pelanggan tidak mudah membuka celana dalam pemijat. Hal ini dilakukan agar citra Batu sebagai Kota Pariwisata tidak dikotori dengan praktek sebagian panti pijat yang diduga melakukan praktek esek-esek terselubung.

Dari sembilan panti pijat yang ada baru dua panti yang sudah mewajibkan karyawannya memasang gembok di rok mereka sebelum melayani pelanggan. Dua panti itu adalah Panti Pijat Rini Jaya dan Panti Pijat Doghado di Jl Raya Beji Kota Batu.

Aturan itu diikuti pula dengan selarik ancaman: Pemerintah akan menerapkan sanksi kepada para pengelola panti pijat yang membiarkan pemijatnya tidak memakai gembok saat melayani pelanggan.

Mengikuti siklus kronik Indonesia sepanjang abad 20 sampai kini, barangkali inilah aturan paling “magis” yang pernah dipikirkan pemerintah Indonesia untuk menghentikan praktik seks liar dalam masyarakat. Sekeras-kerasnya Partai Komunis Indonesia (PKI) memukul seks dan praktik perbanditan (dalam politik), tak ada yang semagis seperti di Batu ini. Sekeras-kerasnya Front Pembela Islam (FPI) menyisir tempat remang-remang dan maksiat, tak ada yang sefiksi seperti yang diambil pemerintah kota ini.

Fiksi? Magis? Ya, karena setahu saya pikiran menggembok rok perempuan hanya ada dalam fiksi realisme magis pengarang Kolumbia Gabriel Garcia Marquez, One Hundred Years of Solitude. Novel ganjil ini juga mengantarkannya menerima Nobel Prize (Sastra) pada 1982.

Novel ini berkisah tentang lahirnya sebuah kota bernama Macondo; sebuah desa yang digambarkan Marquez di paragraf pertama bukunya sebagai “desa yang terdiri dari 20 rumah berdinding batubata mentah, dibangun di tepi sungai yang airnya mengalir melewati batu-batu mengkilat, putih, dan besar seperti telur-telur dari zaman prasejarah”.

Seluruh kemusykilan, kegilaan, kekanak-kanakan, fantasi, kebobrokan moral, irasionalitas berbaur jadi satu dalam novel ini. Salah satu fantasi paling ajaib yang diciptakan Marquez adalah adegan celana panjang yang digembok. Ursula—sang Hawa dalam kota ini—mengenakan penemuan brilian ibunya itu karena takut; jika diperkosa suaminya yang jago kelahi itu ia akan mengandung seekor Iguana. Karena itu selama enam bulan perkawinan mereka, si suami, Jose Arcadio Buendia, menyetubuhi istrinya hanya dalam angan-angan.

Adegan itu pula yang diadaptasi Eka Kurniawan dengan sangat seru dalam Cantik Itu Luka. Novel ini juga berkisah tentang lahirnya kota bernama Halimunda. Coba baca paragraf berikut ini.

Setelah Shondancho menarik rok si pengantin Alamanda di malam pertama dan dikiranya seluruh bajunya sudah tanggal, betapa kaget Shondancho memandang selangkang istrinya: “Brengsek, apa yang kau lakukan dengan selangkanganmu?” tanyanya setelah melihat celana dalam yang terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya. Alamanda menjawab tenang, “Pakaian anti teror, Shondancho, kupesan langsung pada seorang pandai besi dan seorang dukun. Hanya bisa dibuka dengan mantra yang hanya aku yang bisa tapi tak akan kubuka untuk meski langit runtuh.”

Shondacho sudah berusaha membuka gembok itu dengan mencoba pelbagai alat, mendongkelnya dengan obeng, dipukul dengan palu dan kapak, bahkan tembakan pistol yang nyaris membuat Alamanda semaput karena takut. Tapi gagal. Akhirnya ia hanya bisa menggauli istrinya antara nafsu birahi dan kemarahan tanpa bisa menyetubuhinya.

Kedua novel itu adalah contoh serius sebuah novel yang menghimpun ulah-ulah gila manusia hidup dan membangun kotanya. Saya tak tahu pasti apakah ide Pemerintah Batu menggembok celana perempuan-perempuan pekerja di panti pijat itu terinspirasi oleh surealisme yang disodorkan dua buku ini. Kesamaan ide dalam penggembokan itu bertumpu pada ketakutan yang berlebihan pada irasionalitas dan bahkan telah terjatuh pada paranoia akut.

Ursula berhalusinasi atas Iguana yang bakal dikandungnya jika Jose Buendia memperkosanya, sementara Alamanda takut akan mengandung iblis bila Shondancho menyetubuhinya. Adapun pemerintah Batu luar biasa takutnya bila citrawi wisatanya akan ternoda oleh iblis jahat bernama seks. Dan yang harus menanggungkan semua itu adalah perempuan. Bila dua novel realisme magis itu perempuan menjadi subjek karena melakukannya dengan sadar, maka dalam kasus Batu ini perempuan yang jadi objek (penderita).

Selain akan membikin murka aktivis perempuan Indonesia dengan kebijakan “realis magis” ini, ide ini juga menarik untuk disimak dalam konteks bagaimana saraf surealisme yang hanya ditemui dalam lembar novel bekerja menjadi hukum positif dalam masyarakat. Sekaligus gagasan surealis itu bakal memberi stimulus bagi lahirnya model baru dalam dunia fesyen dan cara berpakaian. Dan ini untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia.

Apalagi jika aturan “realisme magis” ala Batu (cq Macondo dan Halimunda) ini menarik hati bupati-bupati lain di seluruh Indonesia, maka di seluruh counter atau factory outlet di mall-mall yang khusus menjual pakaian perempuan, akan muncul model pakaian baru perempuan, yakni rok bergembok atau cawat yang terbuat dari besi sepuhan lengkap dengan lubang kuncinya. Warna dan renda boleh berwarna-warni sesuai selera dan tren. Namun, pernahkah para lelaki yang mencipta aturan itu merasakan betapa tersiksanya para perempuan yang berjalan ke mana pun seperti prajurit yang sedang berjalan di medan perang dengan pakaian tempur lengkap atau dalam istilah Alamanda: “pakaian anti teror”.

Tapi inilah realitas dunia (kota) kita hari ini. Semua yang musykil dan hanya ditemui di angan-angan pengarang novel realisme magis akan dengan mudah kita temui dalam pengalaman nyata sehari-hari. Dan angan-angan “realisme magis” itu kini mencengkeram benak para pemangku aturan-aturan daerah seperti Kota Batu. Pada saatnya nanti, jika semua masyarakatnya menerima dengan dada lapang, Batu adalah peletak batu-pertama dari realisasi kota (khayal) Macondo dan/atau Halimunda. Lengkap dengan keganjilan-keganjilannya tentu saja.

06 April 2008

Pedihnya Perjalanan Menuju Tuhan

::santi widianti, penggiat isola pos 2001-2005

Agama kerap muncul dalam serangkaian aturan kaku yang dibakukan. Pemahaman me-ngenainya diseragamkan. Tak peduli pengalaman manusia yang beragam. Agama harus tunduk pada penafsiran yang telah ditetapkan kelompok manusia yang menjadi pucuk pimpinan agama. Barang siapa yang memiliki penafsiran yang lain, bersiap-siaplah untuk menghadapi tuduhan bidah, sesat, dan label-label lain.

Telah banyak orang yang nasibnya berakhir tragis hanya karena memiliki pemikiran yang berbeda. Sebut saja diantaranya Syekh Siti Jenar atau Al Hallaj. Ini menggiring kita untuk mempertanyakan apa-kah penafsiran agama hanya milik sekelompok manusia? Mereka mengklaim bahwa penafsiran ini atau pemikiran itu adalah sesuatu yang absolut, final dan tak terban-tahkan. Sesuatu yang paling benar. Seolah-olah mereka sudah bertemu Tuhan.

Novel berjudul Kabar Buruk Dari Langit: Luka Cinta Pencari Tuhan ini adalah karya terbaru dari Muhidin M. Dahlan setelah sebe-lumnya ia menulis antara lain buku Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta dan Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur. Tulisan Kabar Buruk Dari Langit tak terlihat jelas pada sampul novel ini.

Huruf-hurufnya berwarna hitam de-ngan latar yang juga berwarna hitam. Sekilas, pembaca akan me-ngira judul novel ini adalah Luka Cinta Pencari Tuhan. Entahlah apakah ini kesalahan teknis atau suatu kesengajaan. Jika penulis memang sengaja mengaburkan tulisan Kabar Buruk Dari Langit, barangkali ia ingin mengabarkan pesan gelap dalam novel ini. Atau mungkin ia ingin berada di tempat yang gelap untuk melihat sisi yang terang.

Tokoh utama dalam novel ini dihinggapi kegelisahan meski ia berada dalam kemapanan. Sang tokoh yang tak jelas siapa namanya dan hanya kerap disebut Pangelmu ini mengalami mimpi aneh di bulan Ramadhan. Dalam mimpinya ada perempuan jalang yang dirajam. Keanehan tak berhenti di situ. Tiba-tiba ia juga berjumpa dengan seseorang bersayap yang mengaku malaikat Jibril yang mengajaknya mengisap ganja.

Penggambaran nyeleneh dalam novel ini bisa mengagetkan pembaca yang konvensional. Sementara bagi para pelahap karya-karya Danarto, kenyelenehan ini mengingatkan pada tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Godlob. Memang, banyak tokoh yang nyeleneh ala Godlob dalam novel ini, meski tentu tak persis benar. Selain si malaikat pengisap ganja dan perempuan jalang yang disiksa, si Pangelmu bertemu pula dengan perempuan setengah gila yang terobsesi membunuh Nabi Muhammad SAW. Ujarnya, "Aku benci nama itu. Nama yang sering menjadi alasan suamiku untuk kawin dan terus kawin. Nama yang menjadikanku perempuan singgahan dan setelah itu ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan ..." (hal. 264).

Pada bagian ini, pengarang novel ini seperti hendak menyentil pembenaran perilaku yang seolah-olah suci atas nama agama, demi menutupi bopeng-bopeng kebanalan dan kerakusan syahwat manusia. Perempuan sebagai istri selalu menjadi pihak yang tak berdaya ketika disudutkan pada ancaman 'pilih poligami atau zina'. Persis seperti korban perampokan yang hanya disodori pilihan 'harta atau nyawa?'

Novel ini menuturkan bahwa perjalanan menuju Tuhan tidaklah mudah. Tak jarang manusia harus tersungkur dalam pencarian ini. Pangelmu yang beroleh nasib tragis, memilih mati meyakini iman yang diperolehnya dengan susah payah ketimbang menerima iman yang sudah jadi.

JUDUL BUKU
Kabar Buruk Dari Langit: Luka Cinta Pencari Tuhan
PENGARANG
Muhidin M. Dahlan
JUMLAH HALAMAN
562 halaman
PENERBIT
ScriPtaManent Yogyakarta
TAHUN TERBUT
Cetakan Pertama, Mei 2005

Mbok Kalau Berkarya yang Positip

::widyoharjono

Novel ini bercerita perjalanan hidup seorang perempuan yang mencari jati diri dengan ingin membaktikan seluruh hidupnya kepada tuhan. Dalam perjalanannya apa yang dia cari tidak sesuai apa yang di inginkannya. Setiap jengkal hidup yang ia dapatkan selalu ia hubungkan dengan tuhan. Maka manakala ketika ia tidak mendapt apa yang ia harapkan ia pun bersangka jelek pada tuhan.

Pencarian yang ia usahakan dengan keras akhirnya hanya sebuah kekecewaan. Padahal setiap jalan kehidupan ini adalah sebuah ujian bagi manusia. Sebuah rangkaian mencari hikmah. Apa yang di ceritakan dalam novel ini adalah keputus asa an dari sebuah sangkaan. Ada kata yang mengatakan tuhan adalah apa yang kamu sangkakan.memang betul adanya. Tapi percayalah tuhan memberikan semua ujian pasti ada hikmahnya.

Di tengah kekecewaan terhadap tuhan ini. Peran utama dlm cerita novel ini Kiran menyisir kehidupan para ustad dan mereka yng mengaku beriman. Di sela kehidupan para ustad dan ibadah yang mereka kerjakan setiap hari, melalui kekecewaanya tokoh ini,dia masuk dalam bagian hidup yang bagi ustad atau orang yang mengaku beriman adalah tabu bahkan dosa besar.

Tapi apa yang terjadi. ?

Konon cerita ini kisah nyata yang diangkat dari cerita wanita yang ingin sekali berdakwah dengan cara masuk ke organisasi yang mengtasnamakn islam. Dalam pertemuanya dengan aktivis 2 islam itu ternyata terbongkar biang kemunafikan seorang manusia. Bahkan seorang yang berpakain serba puith dan berjenggotyang sering memberikan ceramah dalam seminar 2 di kalangan kampus tidak lewat juga dari cerita kemunafikannya. Mereka yang mengaku beriman begitu gampang masuk dalam kemaksiatan manakala di suguhi rayuan erotic perempuan. Kiran yang sudah jenuh dg takdir tuhan menentang aturan 2 tuhan demi kenikmatan dunia lewat sex bebas. Dan rupanya dia lebih senang melampiaskan kepuasannya pada laki laki yang ktnya mengaku beriman. Tampak dengan jelas bahwa laki laki sesungguhnya adalah munafik. Apa yang dia gembor gemborkan dg lantang tentang takwa dalam kehidupan dia sehari hari ternyta tidak berdaya bila sudah bersebelahan di tempat tidur dengan perempuan.

Membaca novel ini setidaknya mereflesikan kepada kita. Apakah kita termasuk orang orang yang demikan ? Yang munafik ? Sampai seberpa besar keimanan kita ? Iman dalam sesorang tanpa riak riak ujian akan terasa hambar buat pencari keimanan sejati . Kita bs Ngomong di luar dg kuat dg nasihat nasihat agama tapi sesungguhnya masih lemah dan rapuh. Sesungguhnya membaca novel ini adalah sekaligus menguji pandangan keimanan kita terhadap dunia lain utamnya dalam melihat kreasi dan karya seseorang.

Dalm launchingnya di masyarkat, melihat judlnya saja sudah nyeleneh dan tabu. So tak ayal kehadirannya banyak juga mengundang pertanyaan bagi orang islam. Kalo saja setiap orang terinspirasi dengan novel ini maka akan menjadi runyam mental sesorang. Dimana kenyataan yang di terima dengan hidup tidak seperti apa yg di bayangkan orang akan menentang dg aturan 2 kebaikan. Malah ambil setir berbalik arah masuk ke perbuatan kejahatan.

Sekilas membaca novel mengundang pwrtanyaanku pada penulis . Apa maksud dari di tuliskannya novel ini ? Dengan di bubuhi pada akhir cerita bahwa penulis seolah olah menjadi wakil dari setan yang sedang mengusahakn untuk berbuat kejahatan pd manusia. Dan uniknya penulis ( Muhidin M dahlan ) selalu membuat novel yg bertentangan dengan ajaran islam. Apakah penulis memang sudah tidk percaya lagi pada tuhan ? Namun di akhir buku ini dia menulis bahwa sangat di sayngkan apabila iman sesorang menjadi goyah hanya karena buku kecil ini. Nampknya penulis ingin menyadarkan pada kita bahwa sebenarnya kita boleh berkarya apa saja tanpa ada batasan apapun dan masyarkat tidak boleh menjudg karya sesorang jelek atau baik.

Biarkanlah kita berkarya dalam dunia kebebasan tanpa batas. Namun hematku kalo memang berkarya itu sah sah saja mbok ya kita menyajikan karya yg bisa membawa manfaat positip buat orang toh ya...Bukan malah yang menhasilkan sikap skeptis apalagi kepada tuhan. Namun inilah dunia kita harus belajar menyikapi segala perbedaan sebagai kekayaan menuju kemajuan. Dasarnya adalah kalo kita berkarya di batasi maka tak akan berkembang. Kalo kita mau protes maka bukan ikut teriak buku novel ini harus di bredel atau di tarik dari penerbitannya tapi coba tandingi dengan membuat novel yang bisa menggugah jiwa.lebih bisa cinta pada tuhan bisa gak ?

Ada catatan penting dalam diri penulis melauli blognya, dia berkata " bahwa kejahatan luar biasa pada sebuah buku adalah bukan membakarnya, tapi ketika kamu tidak menuliskanyya " dan ada lagi kata kata bagus yg berkaitan dgan ini. Dari Ali Bin Abitholib. " ikatlah ilmu dengan cara menuliskannya ". So sampai sebrapa jauh kita terlibat dalam dunia menulis ?? Ingat pena lebih tajam dari ingatan otak..maka tulis lah apa apa yang bias bermanfaat buat kamu.

Sabtu, 2008 Februari 16