::muhidin m dahlan
Dan inilah laporan tertulis dari ‘citizen reporter’ Panyingkul.com, M. Ridwan Alimuddin, warga di sebuah kampung di Sulawesi Barat yang jauhnya 300 km sebelah utara Makassar. Kabar tentang sebuah kampung yang bisa mengakses sekira 20 saluran televisi dari luar negeri yang hanya bisa ditonton jika menyewa tv kabel semisal Astro atau Indovision atau dengan antena khusus.
Namun di kampung ini, tv kabel adalah yang benar-benar menggunakan media kabel sebagai alat utama pendistribusian siaran. Salah satu warga kreatifnya yang menemukan “teknologi” ini menularkan siaran televisi ke banyak rumah dengan jaringan juntaian kabel.
Pelanggan bisa menyaksikan lebih banyak siaran, tapi kalau “Pusat” ganti kanal, maka kanal tivi tetangga pun ikut terganti. Bila membandingkan dengan masyarakat kota, bisa dikatakan sumber informasi dan hiburan orang-orang di kampung (yang menjalin kabel ke rumah pelanggan tivi kabel) lebih banyak. Ya, HBO dan Star Movie selama 24 jam menyajikan film-film Hollywood, Zmusic penuh dengan lagu-lagu India yang tak kampungan lagi. Belum lagi siaran-siaran olahraga seperti Piala Eropa saat ini di Star Sports dan ESPN. Dan bagi yang gemar sabung ayam, pada malam-malam tertentu Viva Prime menyiarkan acara sabung ayam yang amat sadis. Puluhan ayam disabung berturut-turut sampai salah satunya mati!
Tapi “Stasiun Pusat” tak sembarangan juga menyiarkan film. Adegan seks dalam berbagai film yang disiarkan Viva Prime, HBO, dan Star Movie, masih ditolerir dan tak sampai kelewatan sebagaimana stasiun tv dari Prancis (istilah “Prancis” di kampung ini menjadi kata yang identik dengan adegan seks). Kebetulan jaringan tv kabel dari rumah “Pusat” tak menyajikan “Prancis”.
Bukan cuma itu saja. Salah satu dari 20 kanalnya bisa digunakan sebagai alat untuk menyiarkan, misalnya, ada keluarga yang hasil shooting dokumentasi pernikahannya disaksikan publik, dia bisa meminta bantuan “Pusat” untuk menyiarkan. Bayarannya secukup buat beli rokok.
Ini adalah era televisi, era audiovisual, dan serentet anak-anaknya bakal lahir mengikuti arus kesadaran masyarakat terbesar yang gandrung tontonan. Audifax mempertanyakan masyarakat jenis ini dalam esai bukunya di Jawa Pos edisi 22 Juni 2006, "Budaya Membaca". Bahwa menonton dan menujum sasmita alam dan laku sosial juga mesti dipahami juga sebagai laku membaca. Untuk meluaskan pengertian dan memberi kedalaman makna, saya sepakat-sepakat saja. Tapi tentu saja saya menyandarkan apa yang saya maksud “membaca” berangkat dari pengertian sebagai literer (yang juga sudah ditengarai dengan baik Audifax) seperti yang dipahami para kutubuku dan eksponen-ekponen yang bekerja di industri perbukuan.
Mereka inilah—dan bukan filsuf pemberi kekayaan makna atas kode “membaca” atau “iqra!” seperti Audifax—yang ingin saya sasar-serukan pada esai 18 Juni 2006 untuk berhenti memaki-maki televisi (cq. memaki laku menonton). Kian kalian maki ini kotak ajaib, kian berjingkrak dia. Sebab kini dari Aceh sampai Papua sudah memiliki televisi lokal masing-masing. Dan Jawa Televisi (JTV) di bawah PT Jawapos Media Televisi adalah televisi swasta regional pertama di Indonesia yang hadir seiring dengan berlakunya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah mulai 1 Januari 2001.
Hingga 2007 saja Asosiasi TV Lokal Indonesia (ATVLI) sudah memiliki 26 anggota dan masih banyak televisi lokal yang lain belum bergabung.
Beginilah, terus-terusan melibatkan diri dalam arus dikotomisasi ekstrem antara tradisi membaca (buku) dan menonton (televisi)—bukan hanya membawa kita kepada perdebatan yang tiada ujung—tapi juga melupakan kita pada usaha mencari titik temu atau mediasi dua tradisi itu.
Sungguh tak adil nunjuk jari dakwaan bahwa terhambatnya pencerahan karena masyarakat kita lebih gandrung dengan tontonan. Mungkin benar pendapat yang mengatakan bahwa ekonomilah faktor dominan yang membuat masyarakat kita tak serius menjajal tradisi membaca ini.
Namun satu hal jangan dilupakan bahwa keluarga yang tingkat ekonominya di atas rata-rata juga tak bisa langsung kita simpulkan sebagai keluarga yang punya tradisi membaca yang mapan. Mungkin mereka sudah bebas dari buta huruf dan memiliki almari buku di ruang tamu, namun belum serta-merta bisa dibilang sudah memasuki tradisi membaca yang sebenar-benarnya. Kerap buku hanya menjadi pajangan untuk memberitahu kualitas kelas, ketimbang buku untuk dibaca sebagai pengayaan eksistensi kemanusiaan.
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, memiliki buku bukan perkara mudah. Selain karena tradisi lisan (dan menonton) lebih dominan, penetrasi buku pun hanya berlangsung di perkotaan. Perpustakaan berhenti di ibukota propinsi dan kabupaten dan itu pun nasibnya merana. Alhasil, untuk mengisi waktu luang yang sangat banyak, masyarakat beralih ke televisi. Dari sisi ekonomi, televisi juga praktis. Sekali beli nyaris semua informasi bisa diserap, seperti kasus di Sulawesi Barat di atas.
Untuk menjembatani tradisi itu, Agung DH dalam esai tanggapannya, "Mari Membaca Komik", menyodorkan komik sebagai alternatif (lihat Jawa Pos edisi 25 Mei 2006). Ide itu tetap baik, tapi hanya pengulangan ide-ide yang pernah terlontar sebelumnya dan tentu saja kurang “sensitif” di tingkat lapangan. Bahwa komik tetap mengikuti hukum besi distribusi buku. Dan salah satu kendala timpangnya kemelekan itu adalah kemampuan penetrasi distribusi antar kawasan (kota/desa) dan himpitan ekonomi. Belum lagi harga buku komik juga sudah sangat mahal ketimbang menonton komik-komik yang diputar di televisi yang sungguh “merangsang” dan tak perlu bayar.
Maka penting mengajukan usul baru yang membuat regangan dikotomisasi itu mencair: hadirkan kanal “Buku TV”. Kanal ini bisa menjadi mediasi atau jembatan antara tradisi lisan (primer dan sekunder) dan budaya baca-tulis. “Buku TV” coba mengampanyekan betapa pentingnya buku, sementara di sisi lain tak menafikan kehadiran televisi dengan penetrasi yang cukup gigantik di jantung keluarga Indonesia. Kampanye membaca dan menulis bisa lebih efektif karena bisa merambah luas ke seluruh pelosok terjauh. “Buku TV” kemudian membikin kita tak sinis kepada masyarakat sendiri yang memang memiliki tradisi visual yang panjang.
Dalam “Buku TV”, buku menjadi audiovisual, namun berbeda dengan buku elektronik atau e-book. Dalam “Buku TV” buku tak lagi dibaca secara konvensional, sebagaimana umumnya dalam buku yang dicetak di lembar kertas atau buku yang direkam secara digital (e-book). “Buku TV” membuat buku sekaligus didengar dan dilihat.
“Buku TV” ini coba menyajikan semua program yang berhubungan dengan buku, dunia penulis, pembaca, penjual buku, pembuatan buku, dan juga membacakan isi cerita (novel) secara berkesinambungan, film-film tentang buku atau film yang diangkat dari buku, komik, dan sebagainya. Dengan program-program yang ditampilkan itu diharapkan ada gerakan yang massif untuk mencintai buku dalam pelbagai medium.
Sekaligus kehadiran “Buku TV” ini coba mendemokratisasikan hak buku bagi semua kalangan. Sebab tunarungu (yang bisa membaca teks, tapi tuna atas suara) dan tunanetra (yang tuna visual, tapi peka atas suara) bisa menyaksikan dan/atau mendengar buku yang dikisahkan/dibacakan/divisualkan. Atau para pekerja pabrik yang tiada punya waktu untuk membaca bisa menikmati buku yang telah diaudiovisualkan.
Maka, hayo kita ‘hasut’ para raja televisi lokal yang juga mencintai dan memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia buku—baik yang berdiam di Surabaya maupun di Jakarta—untuk membikin kanal alternatif ini.
* Dipublikasikan di Jawa Pos edisi 29 Juni 2008
No comments:
Post a Comment