23 September 2011

#7 Tulungagung: Interogasi Teluk Brumbun

29 Agustus 2011 | Tulungagung | Km 240 | Pkl 15.36

Di Kebonsari, Punung, Pacitan, hanya karena sering ngrawit gending genjer-genjer, seorang seniman Lekra disembelih.Sebelum eksekusi penyembelihan itu, warga yang merindukan suara sang guru itu meminta didendangkan satu tembang: Dandanggula. Justru dari Tulungagung, saya mengetahui cerita itu.

Saya menuju Tulungagung dengan perasaan bahagia. Selain lurus jalannya dari Trenggalek, juga kota ini lumayan akrab; walau tahun 2008, ketika menuju Kediri, saya dibuangnya ke barat Brantas dengan was-was.

Setahun silam juga saya pernah ke sini melakukan wawancara di rumah serang seniman lulusan ASRI, Moelyono. Perupa yang terkenal dengan slogan “Seni Rupa Penyadaran” ini memang terlahir dan berkesenian di Tulungagung. Tujuan saya: wawancara proses berkeseniannya. Dan tentu saja minta tandatangan pada dua bukunya yang sudah terbit: Seni Rupa Penyadaran dan Pak Moel Guru Nggambar.

Tapi, kedatangan 4 April 2010 waktu itu tak disertai dengan “ritual” menyinggahi Alun-Alun Kota. Karena itu, setelah behenti sejenak di bukit makam Bong Cina Bolo Jl Raya Gondang. Setelah 15 menit berkendara, saya mulai mencari-cari arah memasuki alun-alun.

Alun-alun ini bernama Taman Kusuma Wicitra. Diapit jalan-jalan kecil serta “hutan buatan”, alun-alun ini memanjakan. Ada tempat outbond dan rekreasi buat anak-anak. Menara air yang ditongkrongi Garuda dikelilingi pohon-pohon besar. Juga empat sangkar yang dihuni puluhan merpati itu. Setiap sore ritual anak-anak memberi makan merpati menjadi hiburan gratis. Bagi yang ingin sehat, patut membuka alas kaki. Sebab sepanjang jalan yang dikeraskan dalam alun-alun mungil itu, tersedia pemijat alami.

Saya “menduduki” alun-alun ini sudah senja. Hampir jam 4. Empat toa yang ditanam di empat sudut alun-alun sudah memulai program religius mengantar kaum Muslim berpuasa di hari akhir Ramadan: Pildacil. Awalnya saya menduga empat toa itu adalah berasal dari posko informasi. Tapi ternyata tidak. Toa itu bersambung ke radio bernama Kembang Sore, sepotong nama yang mengingatkan saya pada sosok ciptaan S Tidjab dalam sandiwara radio Pelangi di Atas Gelagahwangi (Roro Kembangsore adalah perempuan cantik yang tak beroleh cinta hingga akhir hayat).

Sebelum memasuki kota saya baca plang iklan dengan tulisan jumbo radio ini di papan yang catnya sudah mengelupas saking lamanya: Kembang Sore, Radionya Tulung Agung. Saya berkesimpulan bahwa ini semacam RRI di daerah. Buktinya, punya keistimewaan untuk “menghibur” orang-orang sealun-alun dengan bantuan empat toa.

Setengah iseng, setelah tengok kiri-kanan, bergerombol-gerombol anak muda berkumpul, berpasang-pasangan muda-mudi yang mungkin sedang ngabuburit cinta, mengirim sms ke Endah “Velista” SR. Pemudi yang lahir dan besar di kota ini. Saya tanyakan, apakah semasa remaja ting-ting memanfaatkan juga “boulevard” di antara alun-alun dan kantor bupati itu untuk “ketemuan-ketemuan”. Dan jawabannya setengah mengejutkan: Tidak! Mengapa? Maklum, masa itu adalah masa jilbaber. Jadi tidak berkesempatan “ketemuan-ketemuan”.

Satu jam di alun-alun. Menulis kesan di memo handphone. Merajut kembali ingatan. Di rindangnya pepohonan di kota ini, Tulungagung juga menjadi kawasan di mana membunuh beramai-ramai adalah kewajaran. Ya, tak jauh dari kota ini, di kawasan antara jalan utama perbatasan Kediri dan kota, sebelum dipecah jembatan Brantas, saya mengingat sepotong nama. Guru Nggambar Moelyono.

Nama ini dalam peta seni rupa Indonesia diperhitungkan. Teringat pada suatu waktu, 22 Februari 1985, untuk memungkasi masa kerjanya sebagai "mahasiswa" di kampus ASRI jurusan "seni lukis", Moelyono memboyong benda-benda dari Desa Waung, Tulungagung. Tema “seni lukis”nya adalah KUD atau Kesenian Unit Desa. Di lapangan badminton di bawah tower air depan gedung FSRD ASRI Gampingan, Moelyono menghampar 23 tikar pandan. Pada tiap tikar diletakkan pincuk daun pisang berisi sejumput tanah dengan semaian biji jagung, bayam, tangkai kangkung, dan ketela rambat jenis bibit tanaman ladang apung di atas rawa. Pada ujung sudut kiri jejeran tikar, berdiri podium lengkap dengan corong mikrofon bersuara berisik siaran berita radio transistor.

Dan jajaran pengajar ASRI bersepakat: menolak karya KUD Moelyono sebagai bagian “seni lukis”. Moelyono shock. Dengan langkah gontai ia berdiri di tengah bangunan KUD-nya yang rubuh dan menegak di podium dengan masygul. Pesan dialog dan rembukan yang ingin diungapkan dalam karyanya gagal total.

Di akhir Ramadan ini, di sore yang sudah melelahkan ini, saya mengingat lagi Moelyono yang tinggal di Desa Winong, Kedungwaru. Tapi bukan cerita KUD-nya itu. Melainkan usahanya “menaklukkan” ketertinggalan pendidikan kepada anak-anak Teluk Brumbun dan Nggerangan. Jauhnya dari Tulungagung sungguh aduhai. Sekira 85 Km dari kota. Dan dilanjutkan dengan jalan kaki 5 km. Di teluk inilah Moelyono menjadi guru nggambar bagi anak-anak nelayan itu.

Dikisahkan Moelyono, aparat pemerintah desa pernah mencurigainya. Seorang terpelajar. Datang ke desa terpencil. Mengajar. Mendatangkan pihak luar. Aparat Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) pernah menginterogasinya: siapa nama lengkap? Alamat? Pekerjaan? Siapa nama orang tua, apa partai dan pekerjaan? Apa masih ingat peristiwa politik G 30 S PKI? Dan apa saja kegiatan di Brumbun dan Nggerangan?

Syakwasangka aparatur kecamatan itu beralasan. Ya, teluk itu masuk dalam daftar hitam kawasan persembunyian orang-orang PKI. Karena itu, kawasan ini jadi operasi Koramil sekaligus menjadi ladang pembantaian tahun 1965. Di teluk itu pula, Moelyono menjadi guru gambar bagi anak-anak nelayan itu. Mula-mula menggambar dengan peralatan seadanya. Menggambar di atas tanah. Tak hanya menggambar, anak-anak itu juga ditanamkan sifat sosial, kegotongroyongan, kepedulian sesama, hingga gambar-gambar mereka keluar dari teluk endemik kemiskinan itu: dipamerkan di salah satu rumah warga, di kota kabupaten, hingga Salatiga, Yogyakarta, dan Jakarta.

Kisah Sisipan
“Seniman Lekra itu Disembelih karena Genjer-genjer”


Moelyono juga bergiat di Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK). Pada 1999, Moelyono dan rekan-rekannya memasuki Desa Kebonsari, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan untuk sebuah pemberdayaan komunitas berkesenian petani.

Perupa yang menyandang “gelar” pembawa panji “Seni Rupa Penyadaran” oleh Adiyati Subangun ini bercerita tentang sebuah pertemuan para mbah di Kebonsari seusai latihan nabuh gamelan. Guru Nggambar itu heran, mengapa para mbah ini memainkan musik-musik itu tidak dengan perasaan tidak canggung. Bahkan mereka tergolong mahir. Dari keheranan itu terkuak sebuah kenyataan, Kebonsari adalah desa di mana pernah menjadi Pusat Budaya Tani. Waktunya direntang 1960-an, sebagaimana dikisahkan kembali oleh Moelyono dalam buku Pak Moel Guru Nggambar.

Masa-masa itu, kisah Moel, lima dusun di Kebonsari riuh rendah dengan suara-suara musik. Ngasem, Trosobo, Kebonagung, Kayen, dan Krajan. Masing-masing dusun itu memiliki kelompok seninya masing-masing.

Ngasem, misalnya, terdapat kesenian tetek atau musik kentongan ronda dengan anggota laki-laki dewasa. Di Kasun Ngasem ada pula karawitan warga dengan penggerak suami istri, Sarimo dan Kasimo. Lalu di Kebonagung di atas bukit ada kesenian sholawatan yang digerakkan oleh kelompok perempuan semua: Wagiyem, Semi, Partin, Tumini, Mijem, Suyati, dan Sugiyem. Selain sholawatan itu, di dusun ini pula terdapat seni pertunjukan ogleng dan wayang kulit yang didalangi Tukiran, Narto, dan Guno.

Di dusun Kayen nyaris setiap sore terdengar lesung bertalu-talu yang dimainkan kelompok kesenian lesungan ibu-ibu: Minem, Wagiyah, Cemblek, Jebrk, dan Ngadinah. Ketika malam tiba, saat suara lesung redup, gantian alunan seni sholawatan pimpinan Tukimin yang ambil alih suara.

Adapun Krajan yang disebut-sebut pusat kesenian desa Kebonsari. Alasannya, selain di dusun ini terdapat makam Danyang Singo Barong yang dikeramati, juga nyaris semua jenis kesenian Rakyat ada. Mulai dari karawitan, seni pertunjukan sendratari ogleng, sholawatan, wayang kulit, tarian gambyongan, hingga reog. Semuanya digerakkan warga sendiri.

Dalam kesenian yang puspa ragam itu, politik berkesenian tidak kalis. Lembaga-lembaga kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional) yang berafiliasi ke PNI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI turut hadir. Saling menggarami. Seperti cerita Mbah Sogi yang biasanya berperan sebagai Semar kalau pentas wayang orang. Ia mengaku rombongan keseniannya adalah LKN, padahal di desa Krajan itu mayoritas seniman Lekra.

Seorang yang dituakan di dusun Krajan, Mbah Pardi, menuturkan pengalamnnya menjadi penggerak kesenian di Kebonsari:

Lha wong saya itu merintis kesenian jaranan dan ketoprak sejak tahun 1952 kok. Itu usaha saya sendiri. Tahun 1954 saya beli alat-alat ketoprak lengkap dengan layarnya. Di tahun 1960-an semuanya sudah bagus. Eh, malah ketabrak Gestok. Lha kan katanya mambu-mambu (berbau) gerombolan PKI-Lekra itu lho, ha ha ha.... Saya sampai ditangkap dan diserbu tentara 12 orang. Kelir-kelir (layar) dan jaranan semuanya diangkut. Saya ditanya, kamu Lekra ya? Weealah saya tidak tau, saya tidak ngerti, saya itu Lekra atau bukan, wong kalau rapat Banteng (PNI) di balai desa ya ikut, rapat PKI ya ikut, tapi saya tidak pernah mendaftar. Saya ini ya blak penak wae, karena katanya semua partai itu bagus. Lha nek akire ada yang nyalahi (dianggap salah), kan bukan saya yang nyalahi. Tapi penggede (pimpinan) saya, ketua jaranan saya, yang memang ketua PKI betul. Ada anem (enam) orang pada jaman itu yang dibawa ke Penung dan dipateni di sana."


Salah satunya adalah Pak Sarnen. Ia adalah guru kharismatik Sekolah Rakyat (SR) Kebonsari. Dia seniman tulen di desa. Pandai menggambar dan melukis realis. Gambarannya untuk saat ini, ya seperti Moelyono itu. Guru Nggambar murid-muridnya menyebutnya. Pak Sarnen juga punya suara bagus. Ia pintar nembang dan ngrawit gending. Tak seperti sosok seniman yang mendapat cap kumuh dan kumal, Pak Sarnen justru tampil klimis, rapi, dan wangi, karena itu berwibawa. Maklum, ia juga tampil sebagai guru.

Dengan semua keahlian dan tampilan seperti itu pantas saja banyak gadis-gadis desa tergila-gila pada Pak Sarnen. Jika ketoprak Pak Sarnen tampil, warga—dan terutama para gadisnya—yang menyaksikan mbludak. Bahkan setiap malam jika kelompok Pak Sarnen ini latihan, rumah Pak Sukir sesak dengan warga penyaksi.

Lakon yang kerap dtampilkan diambil dari Babad Tanah Jawi. Bedanya dengan ketoprak yang dimainkan seniman LKN dan Lekra ada di bagian pembuka. Kalau ketoprak LKN, jika warga sudah berkumpul langsung dimulai. Kalau Lekra yang tampil, biasanya dimulai dengan pidato tokoh PKI dari kecamatan dan desa lalu dilanjutkan dengan tarian oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dengan pakaian yang khas. Atas putih, bawah hitam, memakai caping bergambar palu arit, membawa senik (tempat nasi dari anyaman bambu), dan menyanyikan tembang genjer-genjer.

Tapi jangan bayangkan pertunjukan itu dipentaskan di atas panggung. Di Kebonsari mereka tampil memakai ruang depan rumah warga. Alasannya tentu saja penyatuan antara seniman dan peontonnya.

Dan datanglah tahun Gestok itu, tahun wabah hijau, dan tahun ketika membunuh menjadi sesuatu yang lumrah. Ketoprak Lekra dibubarkan. Semua prangkat keseniannya juga turut diangkat bersama para penabuh dan seniman yang menghidup-hidupkannya di malam-malam sepi di desa. Enam orang yang kena cap PKI di Kebonsari dieksekusi. Guru Sarnen salah satunya. Mbah Sogi bilang: “ Guru Sarnen disembelih tentara karena sering nembang dan ngrawit gending genjer-genjer. Padahal kan tembang genjer-genjer sudah ada sejak saya kecil dan jauh sebelum Gestok terjadi di Kebonsari.”

Di ingatan warga Kebonsari, Tulungagung, Pak Sarnen adalah guru, panutan yang perbawa. Suaranya indah, khas, dan berkarakter. Karena itu, sebelum eksekusi penyembelihan dilaksanakan tentara-tentara yang tak punya pengalaman perang yang panjang, warga memintanya untuk melantunkan satu bait tembang: Dandanggula. (Bersambung #8 Kediri)

* Seri catatan mudik #syawalitumerah

No comments: