09 March 2014

M.H. Lukman, Hikayat Seorang Anggota Dewan

:: gus muh

Dengan anugerah berupa akal dan hati yang diberi Tuhan di bumi Indonesia, makilah orang-orang komunis sebagai dajjal di atas dajjal. Jangan sia-siakan umur dengan toleransi yang longgar agar paham orang-orang komunis yang tak bertuhan itu dapat hidup kembali di bumi Pancasila; walau mereka keluarga kiai haji dan menjalankan wiridan tiap hari.

Tak cukup disembelih, bahkan ketika mati tanpa kubur dan jasad pun orang-orang komunis masih perlu dituntut pertanggungjawabannya. Tanggung jawab apa? Mungkin terbalik. Lebih tepatnya ucapan terima kasih yang berzirah tuntutan pertanggungjawaban karena telah menjadi tumbal untuk berdirinya sebuah orde yang dipanggul oleh serdadu-serdadu yang tak pernah memenangi perang.

Orang-orang komunis itu semacam domba kurban yang dikirimkan Tuhan dalam jumlah massal kepada Ibrahim untuk menggantikan batang leher Ismail. Dan tiap tahun, di sini, oleh pewaris kapak Ibrahim, domba-domba komunis itu dijadikan kurban dengan cara apa saja.

Tapi tahukah apa itu “moral komunis”? Salah satu “moral komunis” yang dijalankan sehari-sehari oleh yang berteguh dengannya adalah membela manusia dan menjaga keluarga dari nafsu bermewah-mewahan.



Soal “moral komunis” itu mari menyigi kehidupan Lukman. Mohammad Hatta Lukman nama lengkapnya. Sebelum Partai Komunis Indonesia masuk dalam 4 besar Pemilu yang diselenggarakan 29 September 1955, Lukman adalah tokoh PKI setelah Aidit, Alimin, Sudisman, dan Njoto. Tapi di antara empat nama itu, Lukman adalah pewaris utama “moral Digoel”.

Lukman-lah satu-satunya dari anggota politbiro yang mendapatkan ajaran langsung dari Boven Digoel, sebuah “universitas” yang “menggembleng” moral komunis angkatan pertama di Hollandia untuk mau sujud pada kolonialisme atau memilih tetap tegak menantang dengan risiko di-“Tanah Tinggi”-kan. Di “Tanah Tinggi” Digoel, Lukman menghabiskan masa remajanya (sejak umur 9 tahun) bersama keluarga besarnya yang notabene “keluarga haji” dari Tegal.

Dari Digoel, selain mendapatkan nama “Mohammad Hatta”—karena kekaguman Kiai Moechlas, ayah Lukman, pada sosok hoofdredacteur “Perhimpoenan Indonesia” dan “Daulat Ra’jat” yang juga kena interniran—Lukman juga mendapatkan “moral komunis”. Bahwa, orang komunis setia melawan kekuatan apa pun yang menghisap manusia dan menjaga moral keluarganya untuk tak hidup bermewan-mewah.

Dari Haji Moechlas yang masuk Digoel pada 1929, Lukman mendapat pandangan bahwa agama tak menghalangi seorang Muslim menjadi komunis karena agama tidak menghalangi seseorang berkomitmen dan telibat dalam perjuangan kaum miskin.

Menguji “Moral Komunis” Lukman

“Moral komunis” M.H. Lukman diuji saat ia menjadi anggota parlemen dengan jabatan tertinggi Wakil Ketua DPR Gotong Royong dan Menteri Negara (tanpa portofolio). Jabatan mentereng itu mestinya membuka lebar-lebar seluruh pintu kemewahan bagi Lukman beserta sanak-kadangnya yang sepanjang hidupnya didera derita di atas derita.

Tapi Lukman teguh menapaki “jalan sederhana”. Kesaksian Tatiana Lukman, putri sulung M.H. Lukman, di buku yang diterbitkan secara indie pada 2008, Panta Rhei: Tidak Ada Pengorbanan yang Sia-sia Air Sungai Digul Mengalir Terus!, menunjukkan bagaimana “moral komunis” itu dijalankan orang kedua di politbiro PKI dan sekaligus seorang anggota DPR dan Menteri Negara.

Sebagai orang kedua di PKI setelah Aidit, “pasrah” saja Lukman hidup bertumpukan seperti dendeng dijemur dalam satu rumah kontrakan dengan dua kamar tidur. Rumah di Gang Buntu, Pasar Genjing, Jakarta itu berlantai semen dan menimba air dari sumur. Jika hujan, jalanan becek dan jeblok. Lukman dan Siti Niswati serta lima orang anaknya tidur dalam satu kamar, sementara kamar lainnya untuk adik iparnya. Rumah itu menjadi-jadi sesaknya ketika “alumnus” Tanah Tinggi Digoel yang sekaligus ayahanda Lukman, Haji Moechlas, datang dari Tegal. Haji keras kepala ini tewas dibunuh gerombolan DI/TII di Tegal pada 6 Januari 1960.

Saat Pemilu 1955 tiba, Lukman pindah kontrakan di Jl Percetakan Negara V. Lumayan, lantainya sudah berubin dan menggunakan air ledeng. Barulah saat mengontrak di Kepu Timur, Kemayoran, Lukman memiliki ruang kerja dan perpustakaan kecil, namun ketambahan anggota keluarga, yakni adik perempuan Lukman. Jadi, tetap saja sesak.

Celana si Anggota Dewan Dijual untuk Ayam

Sampai di sini, setelah sekian lama menjadi Wakil Ketua DPR dan menjadi Menteri Negara, peningkatan ekonomi keluarga Lukman berjalan “stagnan”. Sampai-sampai, Siti Niswati, istrinya, harus tiap hari belanja ke pasar.

Lantaran dongkolnya, nyonya menteri dan dewan ini menantang Lukman: “Ayo, coba kauputar uang belanja supaya bisa cukup sebulan! Kepingin aku tahu! Dikiranya gampang apa? Biar aku yang pergi rapat ke DPR!”

Keluarga Lukman sarapan pagi dengan singkong dan ubi goreng. Jika dari pasar si nyonya menteri membawa kue lapis, masing-masing anak dijatah hanya dapat sepotong. Kadang Lukman tak kebagian jajanan pasar itu. Jika ada daging ayam di meja makan, maka dipastikan ada benda berharga dalam keluarga itu yang dijual diam-diam oleh Siti Niswati.

Tersebutlah, saat berangkat kerja, Lukman mencari-cari celana panjang drill-nya. “Di mana celana panjangku?” tanya Lukman kepada istrinya. “Celana panjang yang mana?” istrinya balik nanya. “Yang drill itu, yang biasa aku pakai,” jelas Lukman. “Oh, yang itu? Lha, beberapa hari yang lalu, ingat nggak kita makan apa?” sahut istrinya. “Kita makan apa ya … oh, iya, kalau tak salah, kita makan ayam. Tapi apa hubungannya dengan celana panjangku?” jawab Lukman keheranan. “Lha, itulah celananmu,” jawaban istrinya meluncur deras. “Tapi kan itu celana masih baik sekali,” Lukman protes. “Lha, kalau sudah jelek ya, nggak bisa ditukar dengan ayam, dong! Kau kok aneh!” sahut istrinya. Lukman hanya menghela napas dan mencari celananya yang lain dan berangkat.

Suatu hari bagian rumah tangga DPR memeriksa rumah anggota menteri. Termasuk rumah (kontrakan) Lukman yang keempat di Menteng. Setelah menyusuri seluruh ruangan, kesimpulan tim inspeksi: rumah itu sama sekali tak layak bagi seorang menteri negara. Istri Lukman menjawab tim inspeksi itu bahwa mereka sudah sangat terbiasa dengan kehidupan tanpa perabotan karena memang Lukman menolak masuknya barang-barang inventaris ke rumahnya.

Pada akhirnya Lukman menyerah lantaran rumahnya kedatangan banyak “tamu negara” seperti istri duta besar dan Perdana Menteri Soebandrio. Lukman mengizinkan negara memasukkan lemari es, televisi, telepon, satu stel cangkir dan piring porselen, satu set meja makan dan meja kaca untuk rias ke rumah kontrakannya itu. 

Tapi M.H. Lukman memberi “garis api” kepada anggota keluarganya: “Tidak satu pun dari barang-barang ini milik kita. Semua milik rakyat. Kita hanya dipinjami dan boleh memakainya. Kalau suatu hari harus pergi dari rumah ini, semua harus kita tinggalkan. Kita pergi dengan baju yang melekat di badan kita.”

Benar, keluarga Lukman bingung apa yang mesti diisi di lemari es selain air. Jika ada kue, itu jatah jikalau ada “tamu agung” bertandang. Makanya ketika Siti Niswati menjamu “tamu agung”, Tatiana dan keempat adiknya hanya mengintip penganan yang disajikan ibunya. Kue yang tak pernah mereka cicipi.

Sekali Makan di Restoran untuk Selamanya

alam sejarah keluarga anggota dewan dan menteri ini, Tatiana merengek-rengek ingin makan di restoran sebagaimana teman-teman sebayanya dari “Keluarga Menteng”. Ini jawaban Lukman: “Oh, kalian mau makan di restoran? Yah boleh saja. Minta gih sama ibu, biar ibu bikinkan makanan, dan nanti kalian bawa ke restoran, kemudian kalian bawa ke restoran, kemudian kalian makan di situ.”

Lantaran lelah dan bosan mendengar rengekan anaknya yang kebelet makan di restoran, si Wakil Ketua DPR dan Menteri Negara ini luluh juga. Ia memberi uang untuk membeli 3 mangkok bakso di restoran yang terletak di jalan sabang. Kelima anak tokoh teras PKI mengelilingi 3 mangkok bakmi bakso dan dua mangkok kosong untuk membagi jatah supaya rata lima orang.

Kelima anak itu lupa bahwa mereka hanya diberi Lukman uang untuk makan, dan bukan untuk minum. Saat adik Tatiana kepedasan, pemilik restoran bertanya, “Neng, adiknya kepedasan. Mau pesan teh es?” Tatiana menggeleng. Ia menyuruh adiknya cepat-cepat menghabiskan makan hingga sendok terakhir dan berlari-larian pulang ke rumah untuk minum.

Sepengakuan Tatiana, itulah pengalaman keluarga mereka makan di restoran dan tak pernah lagi melakukannya. Semuanya harus makan di rumah. Dan istri Lukman memasak untuk 16 mulut setiap hari dengan hanya panci yang cukup untuk memasak kebutuhan 3 mulut. Makanya, secara terang-terangan istri menteri ini memelihara ayam di pekarangan sebelah kiri rumah mereka dan menjual koran. Ternak ayam gagal lantaran terlalu rutin dipotong untuk memenuhi protein keluarga komunis ini.

Untuk soal mobil, Menteri M.H. Lukman diberi mobil dinas bernomor B44 dan berbendera merah putih dan seorang sopir. Suatu hari si sopir yang bernama Djen memanggil Tatiana untuk diajarkan menyetir. Maksud si sopir baik, jika sewaktu-waktu dia berhalangan, Tatiana bisa mengantar bapaknya untuk dinas. 

Tapi Lukman akhirnya tahu saat Tatiana diajak sopir mengurus rijbewijs. Lukman gusar sekali. “Memangnya kamu anak borjuis! Mobil itu bukan mobil kita, mobil rakyat!” bentak Lukman. Lukman ingin mengatakan anak seorang Menteri Komunis yang menyetir—apalagi dengan inventaris negara—memberi contoh yang tak baik pada Rakyat.

Satu-satunya cara Lukman mendekatkan diri kepada anak-anaknya bukan menghadiahi mereka barang-barang mewah, melainkan meluangkan waktunya yang sibuk mengurus partai, kerja dewan, dan urusan menteri. Caranya: mengajak kelima anaknya gantian main ping pong di hari minggu. Dilanjutkan dengan bermain kartu bersama-sama.

Dari cerita itu, tampaknya “moral komunis” yang dijalankan petinggi komunis di Indonesia ini berjalan cukup baik. Namun, moral seperti ini omong-kosong di hadapan manusia-manusia penggenggam bedil dan laskar pemegang kapak Ibrahim.

Lukman membawa “moral komunis” yang dipegangnya secara teguh, baik sebagai anggota PKI, anggota DPR, dan menteri, ke dalam “jalan mati”. Selain Njoto, adalah M.H. Lukman dari kelima anggota politbiro yang tak pernah diketahui di mana dibunuh dan di mana jasadnya dicampakkan.

Sebut saja bahwa Mohammad Hatta (M.H.) Lukman telah “moksa”. Sementara anak sulungnya menjadi eksil sejak 1965 untuk selamanya. Tatiana gentayangan di negeri orang, dari Tiongkok hingga Kuba, sebelum menetap di Belanda. Panta Rhei yang ditulis Tatiana adalah buku indie yang berharga untuk menguak “moral komunis” yang dipraktikkan Lukman dengan konsekuen.

No comments: