Peristiwa yang mendudukkan guru sebagai pesakitan di Jawa Timur menarik gerbong perhatian publik nasional. Para guru menunjukkan solidaritas yang kukuh bahwa metode mendidik mereka kepada anak didik yang ”bermasalah” tidak layak dikriminalisasikan.
Bahkan, ada meme (baca: mim) yang menyerang balik orang tua murid di media sosial yang menjadi viral: jika tak mau anak dididik, bikin sekolah sendiri, (h)ajar sendiri, buatkan ijazah sendiri.
Sekilas pesan meme yang dibagi banyak guru tersebut benar, tapi menunjukkan pandangan atas konstitusi yang kian mengalami rabun jauh. Sekalipun para guru pembela guru yang ”ringan tangan” itu mogok dari seluruh sekolah, kewajiban negara untuk menyediakan sekolah yang layak dan guru yang baik bagi warga negara tidak akan berkurang sedikit pun karena UUD mengamanatkannya demikian.
Jadi, marilah berpikir lebih jernih. Peristiwa yang menghebohkan tersebut bisa jadi adalah gunung es kekerasan yang selama ini terus-menerus diproduksi dan dipraktikkan dalam institusi sekolah kita. Peristiwa guru mencubit murid itu seharusnya tidak menjadi aksi balas dendam para guru di media sosial yang bersekutu meng(h)ajar balik murid-murid nakal.
Dari awal Ki Hajar Dewantara sudah mewanti-wanti bahwa sekolah itu adalah satu di antara tiga institusi penting untuk membangun karakter dan kepribadian humanis. Di sana ada guru yang mengajar dan ada anak yang jiwa dan karakternya ditempa. Ingat, mengajar! Bukan menghajar.
Saya tak tahu pasti bagaimana muasal menghajar anak-anak didik menjadi bagian inheren dan praktik yang lazim di sekolah. Senakal-nakalnya anak, toh masih dalam koridor usia dan energi mereka yang melimpah serta keinginan kuat untuk coba-coba. Mandat macam apa yang dipunyai guru untuk punya privilese menghajar murid-murid yang tak bisa ”didisiplinkan”?
Jika murid urakan, di situlah fungsi untuk apa sekolah diadakan. Sekolah didirikan untuk membiakkan humanisme dalam jiwa anak didik dan bukannya memperpanjang deret kekerasan yang bukan hanya fisik, tapi juga verbal. Plus beban sistem yang mesti dipundaki anak-anak dengan jibunan PR.
Maka jangan salahkan ingatan buruk macam apa yang anak didik kenang ketika diingatkan dengan singkatan ”BP”. Ini adalah satuan sistem yang diberi kuasa untuk meringankan beban guru kelas ”membereskan” anak-anak yang bermasalah.
BP pun, alih-alih menjadi ruang menyelesaikan masalah si anak dengan metode psikologi klinis untuk membimbing dan menyuluh, malah mirip dengan ruang yang menakutkan. BP pun menjadi ruang penghajaran, serupa kamar interogasi tempat bentakan dan pukulan menjadi menu saji utama.
BP yang mestinya menjadi kamar ”suluh”, ruang pengobar kembali api semangat, berubah fungsi menjadi kamar yang menanamkan dalam diri anak-anak didik rasa bersalah tiada tara yang akan dipikulnya hingga dewasa. Bentakan, cubitan, pukulan, dan ancaman adalah penghukuman yang tak boleh ada di sekolah. Bahkan, di ruang interogasi reserse pun, cara-cara kekerasan itu disorot tajam.
Guru bukan reserse dan sekolah bukan penjara. Guru tetaplah seorang pendidik yang selalu mengedepankan nilai-nilai humanistis dalam penyelenggaraan profesinya, segawat apa pun masalah yang dibawa anak didiknya dari luar pagar sekolah.
Kompetensi mengajar kreatif yang nir kekerasan itu memang tak mudah. Ia adalah kompetensi khusus yang justru melekat inheren dalam kepribadian seorang guru. Pribadi yang berkarakter buas, pemarah, bukanlah guru. Ia monster yang menyaru.
Karena itu, negara menyediakan anggaran yang luar biasa besar untuk sektor pendidikan. Hei, dana segigantik itu bukan untuk berlomba membangun dan memperluas gedung. Dana itu juga untuk menggaji guru di atas layak dan membekali mereka kompetensi khusus mengajar yang kreatif dan inovatif. Guru sebagai pamong, memomong, bukan penghardik dan penghajar.
Bacalah kisah teladan ini. Syahdan, kisah Gus Mustofa Bisri, ada dua santri yang luar biasa mbeling-nya di lingkungan pesantren. Keduanya mencuri dari dapur Kiai Ali Ma’shum berupa ayam dan bumbu dapur. Bahkan, dua santri itu masih sempat-sempatnya mengajak kiainya makan bersama barang curian mereka. Setelah makan, kiai berucap, ”Kalian ini banyak duitnya ya? Ada ayam segala.”
Takut sang kiai mengetahui ulah mereka, si santri mengaku menangkap ayam yang keluyuran di sekitar pondok. Apa Kiai Ali marah hebat setelah tahu santrinya mencuri miliknya? Kiai hanya tertegun. Dengan suara lembut, dia menjatuhkan hukuman kepada kedua santrinya, yakni hukuman denda: Rp 10 ribu untuk ayam dan Rp 10 ribu untuk bumbu.
Bagaimana jika seorang anak didik ketahuan (ikut) merokok? Teladani Kiai Wahab Hasbullah menangani santrinya di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Pada suatu malam gulita, Kiai Wahab ngudud di serambi. Seorang santri dengan enteng mendekat, ”Saksedotan, Kang.”
Santri itu langung dihajar di tempat hasil OTT? Oh, tidak. Kiai Wahab justru mengulurkan rokoknya ke santri. Dengan santai si santri menerima rokok sang kiai dan menyedotnya dalam-dalam. Bara rokok itu menerangi wajah Kiai Wahab yang membikin si santri gemetar dan lari sekencangnya. Kiai Wahab tentu saja ikut mengejar dan berteriak: ”Hei, rokokku, rokokku kembalikan.”
Ayolah, guru! Berlombalah menjadi guru yang inspiratif, bersahabat, bersuara lembut, dan bukan monster berzirah guru yang maksum. Bahkan, ”anak nakal” macam Toto Chan yang dikeluarkan sekolah karena tak bisa diatur bisa menjadi permata ketika berjumpa dengan sosok guru ngemong macam guru Kobayashi dalam kisah klasik di Jepang.
Senakal-nakalnya Sheila, dia tetap bisa menjadi anak berprestasi di sekolahnya berkat guru penyabar bernama Torey Hayden yang mampu menangkap potensi dalam jiwa anak didiknya. Ayo guru, belajar lagi! [Muhidin M. Dahlan]
* Edisi cetak dipublikasikan di Jawa Pos, 13 Juli 2016
No comments:
Post a Comment