06 September 2016

Mas'ud Chasan: Dari Buku dengan Dengkul

Gerai-gerai toko besar Social Agency Baru ada di setiap jalan besar menuju kota Yogyakarta. Di barat, selatan, timur, utara, dan dua dalam kota. Mirip desa mengepung kota ala Mao Zedong. Atau yang lebih dekat dengan kultur Jogja ilustrasi keberadaan SAB di beberapa ruas jalan pentibg itu mirip dengan masjid patok negara yang menjadi pasak Keraton. Masjid-masjid itu berada di sudut-sudut wilayah Jogja sebagai penyanggah nilai Keraton yang ada di tengah yang berdampingan dengab masjid utama (Gede).

SAB adalah penguasa lokal toko buku di Yogyakarta. Dan semua cerita kebesaran itu dimulai dari sebuah los di antara kios penjual sayur di Shoping Center, di belakang Benteng Vredeburg, KM 0, Yogyakarta.

Pendirinya adalah Mas'ud Chasan, sosok yang saya kenal sejak kios buku Social Agency Baru masih di antara para penjual sayur. Banyak orang menyebutnya Cak Ud. Tapi saya kerap memanggilnya Pak Ud. Di Shoping Center, ia menurut saya yang tersukses. Bukan hanya sebagai saudagar buku, melainkan juga penerbit buku. Social Agency Baru dan Penerbit Pustaka Pelajar adalah aset kota Jogja yang dibangun dari dengkul Pak Ud.

Dengkul? Ya! Dengkul Pak Ud tentu saja. Siapa lagi. 

Dengkul adalah metafora yang kerap berkonotasi negatif. Ketika bertemu dengan modal, dengkul menjadi: modal keringat atau modal seadanya. Kalau dinaikkan satu strip pengertian itu, maka modal dengkul berarti memandang manusia sebagai modal terpenting, sebagaimana Jepang memandang manusia sebagai kunci sukses. Ketika bom Hiroshima dan Nagasaki itu memerdekakan Indonesia, tapi melumpuhkan infrastruktur Jepang hingga ke titik terhinanya yang bahkan kaca selebar telapak pun mereka tak punya, Jepang sepertinya menjadi negara gagal. Tapi tidak. Sebab Jepang punya manusia, lengkap dengan dengkul dan keringatnya, yang membuat mereka saat ini merajai ekonomi dunia di bidang otomotif, teknologi, dan pelbagai riset pengetahuan robotik dan sibernatika.

Kisah sukses Jepang sangat memikat perhatian Pak Id. Misalnya, Pak Ud terpesona betul dengan mantera Jepang: "makoto". Dalam bahasa Indonesia, makoto artinya bekerja sungguh-sungguh. Berbendera makoto inilah mulai pukul 5 subuh, Pak Ud dan istrinya mulai melangkah ke pasar buku, membuka kiosnya di Shoping Center, yang bahkan pedagang buku paling rajin pun biasanya membuka usaha tiap jam 8 pagi. Dengan tekad hemat, Pak Ud membawa bekal sendiri dari rumah. Jika dagangan laku, seberapa pun keuntungannya, Pak Ud selalu memutarnya dengan kulakan lagi. Dalam kamus Pak Ud, tak ada kata tidak jika pembeli menanyakan sebuah buku, pasti dicarikannya sampai dapat dengan cara kulakan ke sana kemari dengan sepeda onthel.

Menumpuk modal sedikit demi sedikit adalah tekad Pak Ud. Hampir tak ada bagian untuk dikonsumsi, bahkan kursi rumah pun tidak punya. Fokus. Pak Ud betul-betul menjalankan bisnis buku dengan metode sederhana: berbisnislah dengan ekonomi basis yang dikuasai, tidak ikut-ikutan, latahan.

Pak Ud tak pernah lupa bahwa berbisnis buku di Shoping Center itu mudah. Setidaknya itu yang ia lihat sejak berdagang buku di SC pada awal tahun 80-an. Asal ada kios, jadilah. Pembeli tinggal datang. Uang mudah didapat. Tapi, Pak Ud mewaspadai kemudahan itu dengan tidak melakukan konsumsi gila-gilaan yang tak ada hubungannya dengan memperbesar bisnis-basis yang digelutinya. Rata-rata pedagang buku di SC, kisah Pak Ud, lebih memilih kredit motor ketimbang mendahulukan membayar hutang ke distributor buku. Pak Ud bersikap lurus saja; lebih mengutamakan bagaimana mengikat kepercayaan penerbit dan distributor dengan cara membayar hutang tepat waktu, sambil terus membaca peluang dari setiap perubahan.

Peluang itu adalah bikin penerbitan sendiri. Munculnya ide bikin penerbitan itu dari proses kulakan buku hingga ke Solo. Ia melihat, rumah pemilik penerbit yang ditemuinya itu umumnya besar-besar, ada pohon rindang di halamannya. Ia pun meyakini, menjadi pedagang buku saja tak cukup, mestilah diikuti menjadi penerbit. Dan dimulailah bisnis penerbitan. Buku pertama yang diterbitkan Pak Ud adalah buku kumpulan doa makbul. Pikir Pak Ud, buku doa adalah buku yang bisa bertahan sepanjang masa. Buku itu disusunnya sendiri dengan menggali dari studi pustaka. Ia sewa seorang penulis khot Arab dan disiapkannya uang untuk jasa layouter buku. Buat mencetak 1000 eksemplar, Pak Ud membongkar tabungan 700 ribu rupiah. Anda tahu apa yang terjadi? Buku itu cetak berulang kali.

Jika saat ini Anda melihat kebesaran Penerbit Pustaka Pelajar dan ekspansi toko buku Social Agency Baru, resapilah, bahwa itu dimulai dari sebuah buku doa makbul yang berzirah kerja keras/makoto, hidup hemat, fokus membesarkan usaha, dan kecermatan membaca peluang. Semua proses itu sudah dibocorkan Pak Ud dalam buku Sukses Bisnis Modal Dengkul. Dicetak pertama kali pada 2005, dan karena laku keras, sampul diganti, ditambahkan beberapa bab, dicetak ulang dengan sampul baru. Selain judul, yang tak berubah adalah kutipan di selimut buku itu yang disitir dari sumur tua pionir industri Jepang, Shibusawa Eiichi: "Jika engkau seseorang yang berkemampuan, jadilah pedagang. Namun, jika engkau mutunya setengah-setengah, jadilah pegawai." (Muhidin M. Dahlan)

#TemankuOrangBukuKeren