10 March 2007

Sebuah Novel Penuh Dosa

::zen rachmat soegito, sejarawan partikelir

Fatwa itu akhirnya datang. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) baru saja mensomasi Muhidin M. Dahlan untuk meminta maaf kepada publik. Lewat surat somasi bertarikh 01/Syawal/1426/2005 yang ditembuskan ke Mabes Polri, Kejaksaan Agung, MUI dan sejumlah ormas Islam, MMI menilai novel terbaru Muhidin, “Adam Hawa” (ScriPtaManent, 2005) sebagai karya yang telah meneror (hirabah) Allah swt dan secara serius telah menyimpang terhadap al-Qur’an.

MMI juga menuntut Muhidin bertobat dan memusnahkan novelnya itu sebagai aksi penebusan dosa. Jika hingga 7 x 24 jam somasi ini tak dipenuhi, MMI akan melakukan upaya hukum.

Somasi MMI ini adalah kerikil paling serius yang pernah diterima Muhidin. Novel “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur” (2003) paling banter hanya disesatkan di forum diskusi atau di milis-milis, dan tak pernah ada somasi secara resmi dan terbuka yang menyatakan kesesatannya.

Dalam eksplorasi tema (ini yang selalu jadi poros dari novel-novel Muhidin), “Adam Hawa” saya kira melampaui dua novel Muhidin sebelumnya. Kendati cukup galak dan berani, tema dua novel itu sebetulnya tidak terlalu baru. Tema pencarian dan pemberontakan pada Tuhan (“Tuhan, Ijinkan…”) dan laku mistik ibadat para sufi (“Kabar Buruk”) merupakan tema lama yang banyak ditemukan, tidak hanya dalam karya sastra, melainkan dalam buku-buku non-fiksi.

Ini berbeda dengan “Adam Hawa”. Dengan keberanian yang tanpa cadang, Muhidin menyentuh tema yang tidak hanya gelap, terra incognita, melainkan juga jauh lebih sensitif bagi rasa keagamaan; tidak hanya untuk orang Islam, melainkan bagi dua agama samawi terdahulu, Kristen dan Yahudi: memersoalkan proses penciptaan Adam dan Hawa.

Proses penciptaan Adam-Hawa dan keturunan pertamanya memang tak begitu jelas mendetail. Bahkan, seperti yang bisa kita baca dalam Al-Quran, tak ada satu pun ayat yang menyebut secara harfiah nama Hawa. Hanya ada, misalnya, “kata tunjuk” yang merujuk pada istri Adam itu, zawjatuhu/istrimu (2:35) yang oleh Quran terjemahan versi Depag diberi catatan kaki bahwa “istri” di sana adalah Hawa. Pengetahuan yang menjadi umum tentang Hawa tampaknya memang diturunkan dari kitab Perjanjian Lama dan Baru.

Muhidin tentu saja memasuki sebuah ruang tafsir yang masih sangat lowong. Dan Muhidin mengisinya dengan tafsir yang gila-gilaan (ini jika kita mengukurnya dari standar yang kadung diyakini publik) yang juga meruntuhkan tata tafsir Kitab Suci mana pun. Salah satunya adalah ihwal keberadaan perempuan bernama Maia yang diyakini tercipta lebih dahulu daripada Hawa. Maia digambarkan sebagai sosok pembangkang yang berani menolak model senggama Adam yang selalu ingin di atas. Setelah Maia kabur, lahirlah Hawa dengan karakter yang 180 derajat berbeda dengan Maia: penurut, sabar dan nrimo.

Maia yang kemudian menikah dengan Idris (adik Adam) punya anak bernama Marfu’ah dan Hawa sendiri beranak kembar Khabil dan Munah. Maia sendiri masih mengingat bagaimana kelakuan Adam yang kasar. Ia menaruh dendam. Maia menurunkan dendamnya pada Marfu’ah dan akhirnya juga berhasil memengaruhi si kembar Khabil dan (terutama) Munah yang selalu disiksa Adam, ayahnya sendiri. Mereka semua berkomplot untuk membalas dendam. Adam pun akhirnya terbunuh dengan cara yang atraktif.

Kematian Adam merupakan strategi literer yang cerdik. Bersama dengan strategi tak pernah menyebutkan kata “surga” (hanya Taman Eden), Muhidin seakan ingin menunjukkan bahwa (kendati bukannya tak berhubungan sama sekali) novel “Adam Hawa” ini bukanlah Adam-Hawa seperti yang dikisahkan kitab-kitab suci (bukankah Adam yang nabi itu tidak terbunuh?). Ini adalah kisah-kisah manusia yang punya darah dan daging, punya nafsu dan ambisi, dendam dan harapan, dan bukan kisah orang-orang suci yang tinggal di surga Firdaus.

Selain pilihan tema dan daya tafsir yang sungguh-sungguh atraktif, lewat “Adam Hawa” ini, Muhidin menunjukkan langkah maju dalam proses kreatifnya. Langkah maju itu berupa keberhasilan Muhidin menganyam imajinasi dan mencangkoknya dalam rangkaian perkisahan yang membuat “Adam Hawa” genap segenap-genapnya sebagai novel. Hal terakhir inilah yang sama sekali kurang (jika tidak nihil) dalam dua novel sebelumnya (“Tuhan, Ijinkan…” yang lebih mirip transkrip wawancara dan “Kabar Buruk…” yang seperti copy dari buku-buku sejarah sufisme”).

Hal itu terlihat, salah satunya, dalam bagian ketika Muhidin mengisahkan bagaimana malaikat Penjaga Mimpi selalu masuk ke dalam dunia Adam begitu ia terlelap. Malaikat Penjaga Mimpi inilah yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam batin Adam yang tak sanggup dipecahkan ketika dirinya dalam keadaan terjaga. Itu hanya salah satu contoh dari kemajuan Muhidin dalam hal mengembangkan imajinasi. Belum lagi fragmen ketika pasangan Maia dan Idris menunaikan perjanjian di antara mereka yaitu Idris akan dilumpuhkan kejantanannya jika bayi yang lahir dari rahim Maia ternyata perempuan. Dengan imajinasi yang mendetail, Muhidin memaparkan bagaimana kemaluan Idris ditumbuk sehalus-halusnya oleh batu yang keras.

Karena kekayaan imanjinasinya, yang dicangkok dari sejumlah folklore, saya teringat salah satu novel terbaik Salman Rushdie (sila pembaca bandingkan sendiri kadar kenakalan antara Muhidin dan Salman Rushdie), “Haroun and the Sea of Stories”. Saya merasa, Taman Eden dan latar novel ini seperti dan sama menariknya dengan negeri dongeng dalam novel Rushdie yang sangat kaya dengan imajinasi yang hebat.

Tulisan ringkas ini tidak berpretensi untuk menanggapi somasi MMI karena tidak mungkin di ruang kecil ini membahas persoalan bagaimana pertemuan dan ketegangan antara doktrin agama dan imajinasi seni-sastra. Di sini hanya ingin dikatakan: secara literer, novel “Adam Hawa” adalah karya yang menggoda. Kendati dihamparkan dengan plot yang linier (ini juga khas Muhidin), “Adam Hawa” layak untuk Anda baca!

3 comments:

kuyazr said...

menurut saya, seharusnya Muhidin bisa lebih bijaksana. Mengapa pada mula pertama dia menggunakan nama, an sich, Adam & Hawa? Apakah pada mulanya dia memang ingin menceritakan tentang Adam & Hawa yang sesungguhnya dan akhirnya dibelokkan menjadi novel? Mengapa tidak menngunakan nama lainnya semisal Adin & Haia? Apakah Adam & Hawa digunakan untuk mencari sensasi?
Untuk MUI seharusnya juga lebih bijak lagi karena MUI pastilah lebih dewasa daripada Muhidin dalam melihat kreativitas seseorang dalam menulis. Verifikasi sangat perlu sebelum menyatakan somasi.
Karena apakah kebenaran itu? Hanya yang maha benar yang tahu.

Toni said...

Karya dari seorang Muhidin yg tanpa pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan sejarah, kenapa diributkan, itu menjadi iklan bagus dan gratis baginya.
Buku sejarah ttg manusia tanpa ilmu pengetahuan dan agama yg menyertainya adalah dangkal, nggak perlu dibedah buku, wong daftar pustakanya ngelamun digunung dari pagi sampe sore dan didepan benteng Vredenburg Jogja dari malam sampai pagi, sampe ketawa2 sendiri.
Novel dgn imajinasi hanya cocok untuk drama, fiksi, action dan sejenisnya.
Orang ini harus diperiksa kesehatan akalnya, agar tidak membangkitkan kemarahan masyarakat, dan diingatkan kalau membuat cerita yg menyangkut agama, agar menurut pada ilmu agama, kalau menyangkut sejarah yg berhubungan dgn agama, harus mempunyai pengetahuan atau daftar pustaka sejarah yg bermutu.
Kalau cuma ngarang buku dengan melamun, saya juga bisa buat buku yg lebih gila dari itu.

Sayappipit said...

Kemarin Persis, teman yang pernah saya pinjami buku TIAJP menanyakan dimana buku ini dijual? dan dia juga mencari judul adam hawa ini.

saya jadi berpikir kenapa di Bandung buku ini susah didapat, mungkin benar bahwa buku Gumuh diterbitkannya sudah lama.

lihat Gus?! sebenarnya banyak yang tertarik buku anda di Bandung, gimana p dapat buku sampeyan yang lain? saya serius tentang telpon. tulis email Gus nanti saya kasih telpnya. jd kalo ke bandung bawakan koleksimu ya....