06 November 2007

The NameSake


Saya belum membaca novel Jhumpa Lahiri yang berjudul The Namesake. Udah diterjemahin penerbit Gramedia dan juga udah diresensi di Kompas. Ini mungkin kecerobohan. Karena setelah nonton film ini pasti deh saya akan malas sekali membaca bukunya. Soalnya, ketika membaca buku setelah menonton filmnya, pembayangan nggak enak. Agak mampet. Wajah dan karakter tokoh-tokoh yang ada di film menjadi sangat dominan jadinya dalam pikiran. Pada akhirnya terbalik deh. Film itu kemudian yang "mendikte".

Tapi tentang gaya bercerita dan tema yang diusung Jhumpa Lahiri, saya sudah agak akrab. Saya pernah membaca karyanya yang lain yang menang Booker Prize taon 2000. Kumpulan cerita, The Interpreter of Maladies. Lahiri bukan pencerita yang gamblang sih menurut saya. Dia bahkan bertele-tele. Jangan harap ada hal-hal mahadahsyat di ceritanya. Tema yang digarapnya dengan suntuk ya soal sehari-hari. Benda-benda sepele. Makanan. Kadang masalah sepatu gaya Eropa dan sandal habitus India.

Sutradara: Mira Nair
Pemain: Irfan Khan (Ashoka), Kal Penn (Gogol), Jagganath Guha (Ashima)
Berdasarkan novel Jhumpa Lahiri: The Namesake


Konflik?

Ya, konflik keluarga. Dan satu lagi. Nah, ini dia yang membuat banyak orang kepincut. Benturan dua kebudayaan: India, London, Amerika.

Dalam film ini--hehehe dalam novel The Namesake maksudnya—budaya Amerika dan India itu juga yang dieksplorasinya. Dua budaya yang berbeda. Satunya bertumpu pada efisiensi dan praktis, satunya pada kehidupan upacara yang lamban dan sublim. Satunya dengan transportasi yang padat dan lingkungan yang kotor dan berpeluh, satunya lagi penuh dengan ketertiban dengan hidup yang bersih, rapi, ajeg. Satunya berudara dingin, sementara yang lain sangat gerah. Perbandingan itu diperlihatkan dengan manis ketika keluarga perantau, Ashoka dan Ashima, pulang kampung alias mudik.

Demikianlah Ashoka dan Ashima hidup di Amerika dengan gaya India. Mereka mesti memasak sendiri karena soal kebiasaan lidah. Seenak-enaknya makanan di Amerika nggak akan cocok dengan lidah orang Asia. Komunalisme masih kental. Pertemuan-pertemuan keluarga dan dupa serta doa masih dilantunkan. Kecuali bagi anak-anak mereka yang sudah bergaya Amerika dengan gaya bebasnya.

Yang menarik adalah justru "konflik" dan ketegangan muncul ketika Ashima melahirkan anak lelaki dan babanya memberi nama Nickolai Gogol. Hanya karena nama yang "aneh" dan "sangat Rusia" ini kerap Gogol dicibir dan diketawain. Tahu sendiri dalam konteks tahun 1980-an awal, ejek-ejek Amerika kepada Rusia masih kuat. Mereka tahu sih, Gogol adalah sastrawan kawakan, tapi tetap saja dia seorang Rusia.

Maka, tak ada yang paling menyakiti si anak ini selain soal namanya: GOGOL. Nama kemudian menjadi beban. Gogol pun, di antara teman sekolahan, teman main, teman kerja, dan pacarnya mengganti nama panggilan "Gogol" itu dengan "Nick". Terdengar sangat Amerika kan?

Sampailah si ayah memberitahu betapa nama "Gogol" itu sungguh berarti dalam hidupnya. Ia seperti jimat dalam sebuah kecelakaan keretapi maut. Buku The Selected Work of Nicholai Gogol ditemukan berada digenggamannya dengan bersimbah darah. Buku itu sudah tercabik dan menahan nyawanya agar tak lepas dari raga. Gogol terhenyak benar bahwa babanya tak sekadar fanatik dengan Nickolai Gogol, tapi buku itu pula yang menjadi daya hidupnya. Ia ingin semangat Gogol itu pingin diwariskannya kepada anaknya.

Hingga kemudian sang ayah meninggal tiba-tiba yang menyadarkannya kembali bahwa ia masih seorang India dan bukan Amerika. Di India setiap denyut hidup adalah upacara dan penghormatan kepada keluarga batih.

Jadinya nggak asyik kemudian. Karena setelah sadar begini si Gogol ini mutusin pacar amerikanya yang kaya-raya dan sudah tak terhitung jumlahnya mereka naik ranjang. Ia memilih cewek India yang dandis. Dengan ganti pacar, Gogol bisa menjadi "pimpinan" keluarga pengganti Ashoka dalam komunalisme India di Amerika.

Nah, kalau ngumpul semua keluarga India ini nggak ada bedanya udah dengan film-film India yang katrok itu.

Coba kalau si Gogol ini kawin ama pacar Amerikanya. Bayang pun, sewaktu diputusin si Gogol ini, Maxin sampai nangis sesenggukan. Padahal si Maxin ini rindu berat sama Gogol dan ingin sekali dicumbu. Tapi gimana mau nyumbu, si Gogol kepalanya diplontos dan masih berpakaian duka (putih-putih). Di atas ranjang itu pula Gogol berkata ia memilih keluarga batihnya.

Saya senang sekali lihat hubungan mereka ini. Apalagi gaya Maxin yang bebas nyium, meluk, dan meraba si Gogol di mana saja. Nggak peduli bahkan saat bertamu dan ketemu orang tua Gogol. Kan si Gogol yang risih, apalagi ibunya dengan mata yang aduhai dan senyum memikat itu meliriknya. Malulah dia.

Belum lagi saat Maxin bergabung dalam upacara perkabungan atas kematian babanya si Gogol yang mati mendadak. Tampak sekali bagaimana Maxin menjadi berbeda di tengah keluarga India itu.

Kalau mereka jadi kawin dan si Maxin mesti dirias dengan gaya penganten perempuan India lengkap dengan upacaranya. Biasanya kan rambut cewek India itu hitam tebal dan menjurai. Nah, si Maxin berambut emas abis. Terus keningnya diberi sumba merah (namanya apa ya ... Hehehe).

Tapi kan nggak jadi. Pada akhirnya seperti film India pasaran deh.

Patehan Wetan, 6 November 2007

No comments: