Sutradara: Frank Rorimpandey; Pemain: Deddy Mizwar, Joice Erna, Yan Cherry Budianto, Cok Simbara; Skenario: Arswendo Atmowiloto; Produksi: PT Manggala Perkasa FIlm dan Tobali Indah Film.
Film Arie Hanggara (1985), menurut data yang ditulis di belakang CD-nya, adalah kisah yang diputar dengan sorot balik. Maksudnya, prosesi pekuburan dan pengadilan bapaknya si Ari dulu ditampilkan, baru menyusul cerita bagaimana rangsang penyiksaan Ari lewat adegan rekonstruksi. Tahu apa yang terjadi saat saya menonton film itu sewaktu saya duduk di kelas tiga SD di bioskop tua kampung saya, Tondo, Sirenja, Donggala (Pantai Barat), Sulawesi Tengah sana? Saya nyaris tak menikmati film ini. Maksudnya menangis ria berjamaah bersama penonton yang lainnya. Saya bingung dan kebingungan itu terus mengganjal di setiap pergantian rol. Saya menggerutu jangan2 pembawa rol film ini—yang biasanya naik film jenis enduro kayak motor balapan—salah ngambil karena pingin cepat-cepat atau ceroboh. Soalnya, mosok dikubur mati dulu baru ada penyiksaan. Yang benar kan ya disiksa dulu baru mati. Iya kan?
Hingga saya dapatkan CD film ini di Glodok Jakarta di sebuah kios penjual khusus CD-CD film jadul Indonesia (kios itu kini sudah raib dan diganti kios film-film pendek atau sekeping). Di situlah baru saya tahu bahwa ada yang namanya alur sorot balik. Jadi saudara, sampai umur saya 27 tahun saya terus dibuntuti kebingungan. Katrok nggak itu.
Padahal kata orang-orang ahli, film yang diproduksi pada 1985 ini bagus. Buktinya aktor terbaik untuk Piala Citra FFI 1985 disabet Dedy Mizwar yang berperan sebagai Tino Ridwan, ayah Arie Hanggara. Untuk musik yang digarap Idris Sardi dan skenario yang ditulis Arswendo Atmowiloto juga dapat Citra. Sementara pada Piala Kartini 1986 penghargaan untuk Pemeran Anak-Anak Terbaik jatuh di tangan Yan Cherry Budiono yang berperan sebagai Arie Hanggara.
Film ini diambil dari kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya seorang bocah 8 tahun akibat penyiksaan orang tuanya. Media massa meliput penuh gempita kabar ini. Wajar kemudian ketika difilmkan, Arie Hanggara menjadi film juara satu untuk penonton terbanyak. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekira 382.708.
Film ini memang menguras airmata—walau pertama kali nonton saya tidak. Berkisah tentang seorang penganggur kelas berat bernama Tino Ridwan (Deddy Mizwar). Bangun selalu siang, tukang janji kelas kakap, dan pembuat anak yang kuat. Sampai-sampai saudara dari pihak istrinya menggunjinginya sebagai pejantan yang hanya kuat membuat anak. Bayangkan anak-anaknya Cuma selisih setahun. Selama lima tahun pekerjaan uatama istrinya adalah bunting.
Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan jaim yang tinggi, sementara Jakarta meminta terlalu banyak, beriteganglah si Tino ini dengan istrinya. Sang istri kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah hidup bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna). Ceritanya dua orang ini kumpul kebo.
Di rumah kontrakan kecil ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi (tertua), Arie, dan Andi (si kecil).
Dasar memang laki-laki bergaya parlente, jaim tinggi, dan ngomongnya selalu muluk-muluk kayak pegawai kantoran bergaji tinggi, dia cuma lantang-luntung aja di rumah. Untung Santi memiliki pekerjaan. Untuk menopang kegengsiannya, uang Santi pun dibelikannya mobil rombengan dengan tangan tetap menengadah untuk beli bensin dan onderdil. Lama-lama Santi sebel juga punya pacar seperti ini. Kalau Santi lagi menghitung penghasilannya di meja makan, si Tino ini uring-uringan saja di samping Santi sambil nunggu uang sisa.
Si Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Tapi bagaimana lagi. Dia kan malu. Teman-temannya sudah bekerja semua. Tak kuat nanggapi omelan pacarnya, dia pun sehabis ngantar istri ke kantor, dia lamar kerja di sana dan di sini. Tapi nggak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tapi semuanya menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga besar.
Heh, apa nggak stres begini. Pacar udah mulai cerewet, kerja nggak ketemu juga, anak-anak di rumah kian bandel saja. Si Tino selalu menetapkan aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus diatur. Tapi Arie Hanggara, si anak kedua ini, selalu memandel dengan aturan ini. Wajah si Yan Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas. Sosoknya pendiam. Tapi diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.
Tino si penganggur heroik ini sebetulnya sayang juga sama anak ini. Santi juga nggak kejam-kejam amat. Namun itu tadi dia mulai cerewet dan nyindir-nyindir Tino atas kenakalan anak-anak yang diproduksinya dengan seksama. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama kepada Arie. Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino tak sudah-sudah memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan nakal.
Eh, Arie Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Awal dipukuli, si Arie ini masih mengaduh, tapi lama-lama anak ini menjadi adiktif dan seperti meminta untuk dihukum. Apalagi sehabis penghukuman, bersenandung instrumentalia murung Idris Sardi menemani Arie belajar dalam gelap.
Lantaran takut melanggar, Arie sering berbohong. Dipukul lagi. Sampai-sampai kepala sekolah Arie, Bu Khodijah (Mien Brodjo), marah besar, geram dengan si Tino penganggur melihat wajah Arie lebam2 karena ditampar....
Berkali-kali si ibu kepsek ini memperingati si Tino jangan terlalu jaga gengsi yang pada akhirnya menghancurkan anak sendiri. Tapi dasar si Tino... no no... pengangggur katrok. Nggak mudeng-mudeng. Gengsinya aja tinggi, kantongnya cekak. Dia itu jalannya petentang-petenteng. Anak-nya tahu bahwa dia itu bos... Lha setiap pagi ngantar pacarnya ke kantor dengan pantolan necis, bersih, dan bekas setrika yg lancip-lancip. Tak tahunya ia itu sopir pribadi si Santi...
Di sekolah, si Ari jadi pendiam, asosial, dan jadi senang ngincar dompet teman-temannya. Ya, kayak si Nagabonar satu-lah. Nggak jauh-jauh. Maka jadi bulan-bulananlah dia. Kena gampar, tubuh tripleksnya terlempar-lempar.
Peran si Santi di sini tidak seperti ibu tiri yang dipandang sebagai iblis. Tak tega juga dia lihat Arie dipukuli si Tino penganggur darurat ini di hadapannya. Dia tak keras-keras amat. Hanya bebebrapa kali menggertak, menyambak, dan juga memukul... hehhehe sama saja ya.
Karena merasa “sakit prilaku” Arie sudah tak bisa diobati di sekolah SD Negeri, Tino pun berencana membawa si Ari ke pesanntren di Jawa Timur. Nggak disebut sih apa ke pesantren Tebu Ireng di Jombang atau Tambak Beras tempatnya para gus itu bernaung dan bersarung....
Tapi sayang sebelum dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya. Tapi Arie ngaku bahwa dialah yang melakukannya. Ini anak memang sudah adiktif dengan pukulan. Bahkan dia minta digantung saja atau tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Itu kata-kata si Arie sendiri. Coba, mau bilang apa kalau sudah begini.
Saat kedua tangan dan kedua kaki si Arie diikat Tino, Santi kaget sekali. Arie, Arie kasihan amat lu jadi anak. Tapi gimana lagi cara menghadapi Tino si penganggur itu yang selera olahraganya sangat tinggi, seperti boling.
Adegan kaki dan tangan Arie diikat itulah yang selalu saya dan orang-orang yang pernah menonton Arie Hanggara selalu terkenang. Sementara Arie diikat, dua saudaranya yang lain memberinya makan diam-diam.
Saat sore, ari sudah dimaafkan Tino. Tali dilepas. Tino bertanya: "Tahu kenapa Arie mau dimasukkan ke pesantren?” Arie dengan enteng menjawab: "Tahuuuu. Karna Arie suka nakal, suka mencuri, berbohong, suka mencuri lagi, sekali lagi, sekali lagi... mencuri lagi mencuri terusssss."
Tugas Ari di hari kedua sebelum kematian adalah mbersihin kamar mandi. Tapi Arie malas-malasan. Namanya saja anak kecil, ya dia mainlah kerjanya di kamar mandi. Main percik-percik air. Kan asyik tuh. Uh, marahnya ini pendekar penganggur. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya. Ndongak. Seperti nantang. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat. Pukulan kayak gini enteng aja bagi Arie. Dihukumlah anak ini berdiri jongok. Disuruh ngitung 300-an kali.
Saat-saat menjalani hukuman begini, melintas musik sedih Idris Sardi yang mengalunkan senandung yang bisa-bisa meruntuhkan bendungan mata airmata. Kakak dan adiknya melihat ari yang terhuyung-huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka menawarkan diri memberi ari minum, ari menolak. Dan malapetaka itu pun terjadi.
Pada 7 November 1984, si Tino pengangguran ini ketemu teman-temannya penjudi dan pemabuk. Maklum frustasi ndaftar kerja, nggak dapet-dapet, mendaratlah dia di sini. Apa boleh buat. Frustasi betul ia. Nggak ada kerjaan, istri sering ngomel karena jobless-nya ini, dan Arie tetap saja tak mau tunduk aturan...
Si Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih manis menasehati Arie untuk minta maaf saja sama si Tino penganggur dan sekarang pemabok itu. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya sama ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan si Santi yang mendorong Arie ke dinding. Nggak sampe jatuh kok.
"Ari, besok kita akan berangkat. Sekali ini Papa minta agar Arie jadi anak yang baik. Nah, malam ini Papa ingin melihat Arie minta maaf sama Papa dan Mama," pinta Tino sepulang dari mabok di malam jahanam itu.
Namun apa jawabnya? "Pukul Arie sajalah, Pa. Arie kan nakal," katanya sambil garuk-garuk kepala. Coba, sudah pulang membawa sisa mabok, menghadapi anak yang dikira malam itu baik, eh malah minta dipukulin.
"Ariiiii!" uh gusarnya si Tino ini. Disuruh berdiri jongkok sambil ngitung pun, Arie tetap saja membandel. Coba dengar caranya mengitung: "Satu lagi, dua lagi, tiga lagi, empat lagi....20 lagi... 30 lagi... 100 lagi... 200 lagi... 300 lagi"
Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak malang ini. "Yang benar, Arie!" raungnya sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan... Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Aanti melihat ulah si Tino yang nggak ketulungan ini. Anak ini nggak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam, tapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkallah ia ke lantai. Belum mati. Lalu si Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur. Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah dia diberi minum, nggak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Ari pun dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.
Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar lagi sabda si penganggur ini. Dia mengambil air minum, tapi gesekan gelasnya di dengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini, harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Ari terjatuh di lantai. Paniknya Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi yang sebetulnya sudah tak bernyawa.
Ada raut sesal berkecamuk dihati Tino. Matanya bersimbah airmata melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi apa boleh buat. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau kematiannya itu meninggal di dinding penghukumannya. Huh... apa nggak nangis melihat adegan ini. Lalu musik pilu itu mengalun dan bergetar.
Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Ari Hanggara. Ari adalah korban dari perceraian orang tuanya. Nah, adegan di RS ketika Tino, Santi, dan istri pertamanya bertemu. Di situ ada juga ibu kepsek, Khodijah. Tino dan istri pertamanya bertengkar. Saya ingat betul kata-kata ibu kepsek ini yang disampaikan dengan derai airmata: "Kenapa kalian bertengkar. Apa kalau bertengkar bisa menghidupkan kembali Ari. Buat apa... buat apa...Kematian Ari karena ulah kalian semua. Semasa dia hidup kalian bertengkar dan bahkan ketika dia membujur jadi jenazah kalian masih juga bertengkar. Di mana perasaan dan naluri kalian sebagai orangtua kandung Arie. Apa nggak bisa kalian berdamai sejenak untuk melepasnya."
Mata Tino setelah itu sembab. Mata Tina si ibukandung juga sembab, mata Santi si ibutiri juga sembab, mata ibu kepala sekolah nggak usah dibilang, mata bapaknya si Frengki (Zainal Abidin) yang teman Arie juga memerah. Termasuk matanya Gus Muh juga berkaca dengan hidung mengisak selumer cairan (yang ini kemungkinan tertulari flu si Zen Rahmat Soegito yang sudah dua minggu nggak sembuh2 dan menyebarkan virus buruk itu kepada orang seisi kantor).
Saya memang terpakau. Memori dihantar melintas bertahun-tahun silam di mana waktu kejadian ini saya masih kelas tiga SD Inpres. Walau di layar sudah ada keterangan bahwa film mau berhenti, saya belum mau beranjak. Bukan karena terlalu dilamun sedih, tapi memikirkan apa yang mesti ditulis setelah nonton film ini yang dipagari oleh aturan, jangan sampai nulis kayak resensi film di Kompas dan Tempo.
Sekaligus saya sedang berenung, apa tak baiknya tanggal 8 November (1984) yang merupakan tanggal kematian Ari Hanggara diperingati sebagai Hari Perlindungan Anak dari petaka kekerasan. Bagaimana pun kematian Ari Hanggara adalah patok bagaimana anak-anak dianiaya dan tak bisa melawan kebrutalan orang-orang dewasa. [gusmuh]
No comments:
Post a Comment