16 July 2008

Siapa Takut Tergoncang Kalo tak Rapuh

::ansori, tulungagung jawa timur

Baru saja selesai melahap sebuah buku yang gw temukan di TOGA MAS MAS NGALAM dua minggu lalu. Pengarangnya Muhidin M Dahlan. Gw tertarik beli karena judulnya memang sangat kontroversial: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah. Kebetulan sinopsis di cover belakangnya juga sangat menarik:

Dia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk shalat, baca Al Quran, dan berzikir… Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya ber-Islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang dia ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup.

Baca sinopsis itu, gw membayangkan tokoh cerita ini adalah seperti salah seorang teman gw: yang taat beragama hingga awal masa perkuliahan, namun sekarang dengan bangga memproklamirkan diri sebagai atheis, kendati masih menyimpan fotonya yang dalam balutan jilbab di dompet. Ternyata jalan ceritanya memang mirip, walaupun sumber kekecewaannya berbeda arah.

Well.. separuh pertama ceritanya sangat kuat. Tentang seorang gadis, Nidah Kirani, yang mengamalkan agama lebih sebagai rangkaian ritual. Memang, sebuah kebiasaan yang dilakukan berulang2 itu akhirnya menimbulkan kerinduan untuk memperdalam agama. Kerinduan itu mengantarnya pada seorang teman diskusi yang fasih mengutipkan dan menjelaskan ayat untuk menjawab keingintahuannya. Karena memang konsep kehidupan beragama si tokoh adalah sebatas ritual, maka dia tak benar2 kritis untuk menyadari bahwa ayat2 dan hadis2 itu kerap kali (maaf) “diputarbalikkan” untuk membenarkan tujuan organisasi garis keras tempat si teman diskusi bergabung. Kiran pun akhirnya bergabung dengan organisasi itu, dan ternyata kemudian menyadari bahwa preview yang dia dapatkan lebih indah dari warna aslinya.

Cerita ini sudah cukup kuat untuk menggambarkan suatu pergulatan batin seseorang yang kecewa. Dan cerita ini juga sangat masuk akal. Ketika seseorang mendapatkan bahwa apa yang diharapkannya hanyalah sebuah ilusi, maka dia akan menjadi sangat kecewa, dan konsekuensinya adalah melakukan perubahan yang drastis. Bukankah manusia selalu membutuhkan pegangan dalam keadaan seperti ini? Dan jika suatu titik membuat kita kecewa, tidakkah secara instinctive kita akan “lari” ke titik yang berlawanan? Fenomena yang sama kerap terjadi pula pada suatu kasus yang berkebalikan: seseorang yang tadinya kehidupan beragamanya biasa2 saja atau malah tidak perduli sama sekali dengan agama, ketika sampai pada suatu titik yang sangat mengecewakan, bisa berbalik menjadi sangat religius bahkan mengarah pada fanatik.

Cerita menjadi agak bertele2 dan terlalu panjang ketika dalam paruh kedua si penulis sibuk menceritakan proses keterpurukan Kiran hingga memutuskan untuk menjadi pelacur. Entahlah, mungkin si penulis keburu terpaku pada judulnya, sehingga harus menuntaskan cerita hingga keluar tekad si tokoh untuk melacurkan diri. Padahal, jika saja si penulis berkonsentrasi di paruh pertama ceritanya, dan meniadakan paruh kedua, maka dia akan punya lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi kepribadian Kiran serta dinamika terjadinya kekecewaan itu secara lebih mendalam. Banyak hal yang bisa dieksplorasi lebih lanjut, seperti kutipan2 di bawah ini:

Kucoba bertanya banyak hal, tapi selalu tidak terjawab. Begitu sedikitnya wawasan ikhwan ini. Tiap minggu yang dia kasih cuma ceramah yang itu-itu saja yang sangat membosankan, “Dakwah ya. Kalian itu disuruh berdakwah. Berdakwahlah.” Ketika kutanya apa sasarannya ke depan, jawaban yang ia berikan berputar di situ lagi. Aku jadi berpikir, jangan-jangan orang ini sama juga denganku, sama-sama udim politik dan wacana pergerakan. Dalam tubuh Jemaah hanya segelintir orang yang tahu mau ke mana Jemaah ini hendak dibawa (hal. 85)

Kekagumanku pada Mbak Auliah pun perlahan memudar. Ternyata ia bukan seorang ukhti yang kuidealkan. Perhatiannya yang menyejukkan, penuh persaudaraan, dan sungguh-sungguh kepadaku, ternyata tidak dibarengi dengan keluasan wawasan dan kedalaman pikir untuk mengajarkan ilmu kepada yang lain (hal. 62 – 63)


Hal-hal seperti ini akan lebih menarik untuk dibahas: bagaimana di lapis bawah suatu organisasi mungkin terdiri dari orang2 yang hanya bermodalkan kepercayaan, bukan pemahaman, sehingga begitu mudahnya mereka dimanipulasi oleh lapis atas yang lebih pintar. Dan sulitnya, karena mereka percaya, mereka dengan rela hati mengikuti semua perintah yang diberikan tanpa mau (atau tanpa mampu?) mengkritisi sebab dan tujuannya. Juga bisa dibahas dinamika tentang bagaimana frustrasinya seorang cerdas yang bersemangat untuk berbuat suatu kebaikan, dan kemudian menjadi demotivated karena hal2 yang tampaknya sepele bagi kebanyakan orang.

Ah sudahlah.. niat gw bukan cerita panjang lebar tentang isinya. This book is recommended to read, and it is you to judge the story. Gw justru pingin berkomentar tentang Surat Untuk Pembaca yang dilampirkan di akhir buku.

Selain pujian, si penulis menerima banyak kutukan dan makian untuk bukunya ini. Dari tuduhan bahwa dia kafir, Marxis, benci agama, berusaha merusak akidah dengan kecanggihan tulisannya, hingga prasangka tentang “siapa” di balik penerbitan buku ini. Bukunya dikatakan sampah yang tak layak dibaca, wajib ditarik karena mencemarkan nama baik agama. Penulis diminta untuk bertanggung jawab atas akibat sosial: merusak iman remaja dan akhlak bangsa.

Tapi gw suka cara si penulis menjawab cacimaki ini:

Iman yang tak digoncangkan, sepengetahuan saya, adalah iman yang rapuh. Iman yang menipu. Hati-hati! (hal. 260)

Toh, seandainya saja ada yang tersesat setelah membaca buku ini, jangan melulu menyalahkan buku ini. Yang kita pertanyakan justru iman pembaca yang bersangkutan: betapa tipisnya iman mereka yang tersesat hanya dengan isi buku kecil ini. (hal. 259)

Penulis itu, dalam keyakinan saya, mirip dengan tukang besi pembuat pisau. Tentu saja pembuat besi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sekiranya pisau buatannya disalahgunakan oleh seseorang untuk membunuh… Tapi pun kalau dimintai pertanggungjawaban, maka bentuknya yang paling mungkin adalah dengan menghadiri diskusi buku yang bersangkutan. Maaf, saya seorang penulis, dan tugas saya adalah menulis dan mengungkapkan kebenaran yang menurut saya benar. (hal. 257)


Yup! Setuju! Tersesat.. itu hanya bagi orang yang buta-tuli-sekaligus bisu dan/atau gak punya peta.. ;-). Dan soal goncangan,.. siapa takut tergoncang kalo tidak rapuh? Bukankah hanya benda2 fragile yang kotaknya diberi peringatan: “handle with care”? Menurut gw, untuk itulah Tuhan memberi kita kemampuan berpikir: supaya gak gampang2 tersesat atau tergoncang hanya karena sebuah buku berkata “beda” dari apa yang kita percayai. Supaya kita bisa mengkaji segala macam informasi yang membombardir kita; informasi yang kadang menggunakan belief kita sebagai kuda Troya.

Balik lagi ke segala cacimaki itu.. I wonder.. is it really because they care, or is it just the reflection of their own insecurity? Betapa mudahnya menyalahkan suatu pihak, atas nama kepedulian terhadap masyarakat yang lebih luas, jika kita gak percaya sama kemampuan diri kita sendiri untuk menghadapi sesuatu… ;-)

2 comments:

espito said...

Wah, aku terkesan sama tulisan2 anda Gus, termasuk novel ‘edan’ Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur itu. Kapan bikin novel ‘edan’ (yg lebih ‘edan’ lagi) Gus?

Anonymous said...

novel yang bagus untuk membakar jenggot para pengaku pewaris nabi yang sok alim..he3