::gus muh
Budiarto Danujaya menyumbang artikel "Hari-Hari yang Paling Riuh" di buku yang dieditori Haris Jauhari, Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia (1992: 66-84). Di akhir tulisannya ia menyimpulkan: periode 1962-1965 sungguh masa-masa yang berat bagi dunia film dan bioskop kita. Bangunan film rusak secara menyeluruh.
Rusak oleh siapa? Danujaya menulisnya di paragraf tujuh: unsur-unsur PKI, yakni Lekra. "Mereka (Lekra, PKI) bukanlah orang-orang yang bersungguh-sungguh memajukan dunia bioskop dan film... cuma ingin mempolitisir dunia bisnis hiburan ini untuk memperluas kepentingannya dalam bidang kebudayaan." (Danujaya, 1992: 68)
Dalam referat itu nyaris tak ada peran apa pun orang-orang Kiri dalam sejarah perfilman Indonesia, khususnya pada periode 1957-1965. Jika pun ada, ya, peran-peran gelap yang dilakukan gerombolan perusak sebagaimana digambarkan secara sempurna dan meyakinkan oleh Danujaya.
Pekerja-pekerja film Lekra yang tergabung dalam Lembaga Film Indonesia (LFI) tahunya hanya bergerombol dan teriak-teriak di jalanan. Orang-orang itu tak becus bekerja. Bahkan orang-orang itu tak tahu bikin film bagus.
Pandangan-pandangan gelap itu awet dan tanpa ada gugatan apa pun. Maklum saja, film-film yang dibuat orang Lekra sulit kita temukan dokumentasi fisiknya. Bahkan oleh lembaga arsip film nasional Sinematek Indonesia.
Namun Sinematek, seturut Salim Said di jurnal Prisma (1978: 80-89), mengeluarkan daftar karya sutradara kiri. Dari 1957-1965 hanya ada 26 film yang diproduksi Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Kotot Sukardi, dkk.
Dari 26 film sutradara Kiri itu, Said menyimpulkan: film-film buatan Lekra cs itu tak ada yang layak diwarisi untuk "memperkaya khasanah keanekaragaman corak film Indonesia (Said, 1978: 88).
Ideologi Film
Sebagaimana di bidang sastra, di dunia film, Lekra juga dimaki-maki sebagai gerombolan perusak. Di dunia film, Lekra hanya diingat saat Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) pada 1964 melakukan aksi boikot film impor di bioskop-bioskop di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Padahal Lekra adalah salah satu lembaga yang konsern dengan kemajuan dunia film dan peran. Lekra tahu film adalah dunia populer di mana di dalamnya ideologi imperialisme dan kapitalisme disusupkan.
Dengan semboyan politik adalah panglima, Lekra membuat lembaga kreatif yang menangani film, yakni Lembaga Film Indonesia (LFI) pada Maret 1959. Di Kongres I Lekra di Solo itu Bachtiar Siagian dan Kotot Sukardi terpilih sebagai ketua dan wakil ketua LFI.
Bagi Lekra, film tak hanya soal bagaimana membuat, mendistribusikan, dan menonton di bioskop. Film adalah produk kebudayaan dan karena itu posisinya sangat politis. "Yang memisahkan film dari politik hanya pikiran pedagang," kata sutradara Tan Sing Hwat (HR, 2 Sept 1964)
Sutradara kiri dan Sukarnois macam Tan Sing Hwat sadar sejak Ptolemy pada 130 M mendiskusikan soal bayang-bayang dan optik untuk kali pertama, film dipakai sebagai alat pengetahuan dan pendidikan.
Dalam catatan kronikal film yang dikeluarkan sutradara cum Ketua LFI/Lekra Bachtiar Siagian, masuknya film-film Amerika sejak 1920 hingga 1942 tak lain membantu Belanda mengembangkan rasialisme di Indonesia. Pedagang Tionghoa diberi izin memasukkan film-film takhayul. Jadilah film: Lutung Kasarung (1926) dan disusul Tjandi Borobudur.
Agenda besar Belanda yang ditopang modal pedagang Tionghoa menghilangkan sama sekali muatan politik dalam film, sebagaimana dunia sastra.
Film-film bergenre perkelahian, fantasi, keajaiban, nyanyian, romantik bebas berkeliaran hingga Jepang datang. Di era Kenpetai itulah, tulis Armijn Pane di risalahnya Film2 Tjerita di Indonesia, film menjadi alat propaganda politik Jepang.
Di zaman revolusi, umumnya pasca Konferensi Meja Bundar (KMB), Lekra soroti sebagai era kembalinya film-film komersial. Persari didirikan Djamaluddin Malik dan Perfini dibikin Usmar Ismail. Ada juga PFN yang memproduksi film-film bertema gelora nasional dan dokumenter.
Oleh kesaudagarannya, Persari memproduksi film-film komersial yang jauh dari kebangunan nasional, seperti Rodrigo de Villa. Atau menyadur film-film Hongkong yang sedang digandrungi.
Usmar Ismail dan Perfini pada awalnya bertahan dengan idealisme membuat film-film dengan kebangunan nasional, seperti Embun, Tjitra, Long March. Namun desakan liberalisme membuat Usmar harus berkompromi. Lahirlah film-film macam Krisis, Heboh, dan Djuara 60. Oleh Armijn Pane, sikap Usmar yang pragmatis itu dicibir makin menyeret dirinya berada dalam barisan "South Pacific".
Solidaritas Asia Afrika
Sebagaimana di Sastra, Lekra di film juga membangun solidaritas antarnegara untuk melawan dominasi film-film Amerika yang nyaris menguasai seluruh pasar film di Indonesia.
Sebagai contoh, Lekra pernah merilis catatan bahwa kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Seterusnya Jepang (59), India (30), Italia (25), RRT (25), Pakistan (24), Inggris (20), Hongkong (15), Uni Sovyet (10), Singapura (5), Jerman Barat (2), Prancis (1), Lebanon (1), dan RDR Korea Utara (1).
Dari kuota pemutaran, AMPAI (America Movie Picture Association of Indonesia) menguasai 70% seluruh gedung bioskop yang ada, tanpa harus punya gedung sendiri. Sisanya dibagi film impor negara Asia, Eropa, Afrika. Adapun Indonesia kebagian 1%.
Bagi Lekra, situasi seperti ini tak bisa pekerja film disuruh bertelur bikin film yang bagus, bikin yang begini, yang begitu. Ini soal kelaliman di depan mata. Ini perang kebudayaan. Dan jalan yang dipakai Lekra dan organ-organ famili ideologisnya adalah perlawanan terbuka di jalan raya.
Mereka melawan agar film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri yang dalam sejarah film diolok-olok sebagai tindakan "aksi sepihak" dan jadi terdakwa merosotnya jumlah bioskop.
Dan Lekra tahu, perang dalam film adalah perang global di bidang kebudayaan. Karena itu, Lekra mengambil alih pelaksanaan Festival Film Asia Afrika (FFAA). Indonesia menjadi tuan rumah FFAA yang sudah dilaksanakan untuk ketiga kalinya itu.
Kehadiran 27 negara di Asia dan Afrika dan dipadati 10 ribu orang di Istora Bung Karno Jakarta pada April 1964 menjadi perayaan solidaritas bagaimana negara-negara Asia Afrika ingin film nasional berdaulat di negerinya sendiri.
Ada dua hadiah yang diperebutkan dan dipilih 15 juri. Pertama, "Bandung Award" untuk 7 film cerita, film anak-anak, dan dokumenter. Kedua, "Lumumba Award" untuk penulisan skenario, penyutradaraan, aktror, aktris, fotografi, musik, dan art designing.
FFAA ke-3 ini melahirkan komunike bersama serta sikap: .. bulat berketetapan mengachiri dominasi imperialis dibidang film di Afrika dan Asia untuk mengembangkan perfilman nasional masing-masing maupun perfilman Afrika-Asia umumnja… Kami sadar se-dalam2nja akan artipenting film sebagai alat propaganda dan pendidikan jang paling kuat, dan karena itu kami tak mau lagi—seperti halnja selama beberapa puluh tahun jang lampau—mendjadi penonton atau objek sadja. Kami untuk selama2nja menjatakan diri mendjadi subjek dan pentjipta film2 dan kami akan terus memegang peranan ini… (HR, 1 Mei 1964)
Jadi, sangat melenceng dan simplikatif bila tulisan "sejarah" film yang beredar di masa Orde Baru memberi gambaran bahwa sepanjang tahun 1960-an adalah hari-hari yang riuh dan hanya untuk kepentingan politik Lekra-PKI, sebagaimana tulisan Danujaya (1992: 84) dan Said (1978: ).
Keputusan melawan secara terbuka film-film Amerika Serikat via AMPAI di Indonesia adalah ikhtiar menegakkan amanat negara-negara Asia Afrika di FFAA III.
Deklarasi FFAA 30 April 1964 oleh Lekra dan sutradara Kiri lainnya di hadapan Presiden Sukarno sekaligus dirilis sebagai "Hari Film Nasional". Jadi, versi pekerja film dan sutradara Kiri, 30 April adalah Hari Film Nasional. Bukan 30 Maret seperti sekarang.
Dan demikianlah, sejarah dan cerita film yang kita wariskan hingga kini adalah cerita minus Kiri.
Ditwitkan @radiobuku pada 30 Maret 2013 | Dipublikasikan secara cetak pertama kali oleh Jawa Pos, 31 Maret 2013, Ruang Putih, h 7
No comments:
Post a Comment