09 February 2014

100 Tahun Inlandsche Journalisten Bond

:: gus muh

Awas! Journalist harus berani mati/ Bekerja berat membanting diri/ Sebab dia hendak melindungi/ Guna mencari anak sendiri.
 

Pasase itu berasal dari Mas Marco Kartodikromo. Walau ditulis pada Agustus 1918 di Sinar Djawa, tulisan berjudul “Awas! Kaoem Journalist!” itu semacam sikap jurnalistik Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan Marco pada 1914.
 

Seratus tahun silam, sarekat jurnalis boemiputera pertama dengan presiden Mas Marco dan sekretaris Sosro Koornio ini menyentak pemerintah kolonial. Bahasa jurnalistik yang mereka pakai tak ada preseden sebelumnya: urakan, menonjok, bahkan mengajak berkelahi.
 

Sepak terjang IJB terekam dalam orgaan utamanya, yakni Doenia Bergerak. Walau Marco dan Koornio adalah anak bawang didikan Tirto Adhi Soerjo di Bandung, namun bahasa yang mereka pakai lebih liat dan terus terang ketimbang Tirto Adhi Soerjo di Medan Prijaji.

Jika tahun 1907 Medan Prijaji menabalkan sikap bahwa pers berpolitik, maka IJB/Doenia Bergerak pada 1914 menyerukan model “jurnalistik bertindak”. Jurnalistik yang bertindak itu bisa dibaca dalam coretan Marco ini: “Kepada kamoe anak Hindia/ Poekoelah dia setengah mati/ Kalau perloe boleh sampe mati/ Berani itoe sendjata kami/ Goena hidoep dan mati sedjati!”
 

Lahirnya IJB memang membetot perhatian kaum pergerakan semasa. Tak tanggung-tanggung, pimpinan Indische Partij Douwes Dekker bahkan memberikan apresiasinya. DD bahkan mengusulkan agar IJB meluaskan cakupan operasinya yang bersifat nasional dengan memasukkan jurnalis Melayu dan Belanda yang menyokong pergerakan. Konsekuensinya, frase “Inlandsche” mestilah diganti dengan “Nationale”.
 

IJB/Doenia Bergerak memang berada dalam gelombang pasang naiknya arus pergerakan yang bersandar pada kerja jurnalistik. Api jurnalis-jurnalis yang tergabung di IJB berkobar-kobar setelah menyadari kenyataan pemerintah kolonial makin keras kepada jurnalis. Tirto Adhi Soerjo dibuang ke Bacan (Maluku) dan NV Medan Prijaji dipailitkan. Dua guru Marco yang lain, dr Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjadiningrat di De Expres, juga ditangkap dan dihukum buang karena tulisannya pada 1913.
 

Tanpa ada urat takut lagi Doenia Bergerak di nomor percobaan Januari 1914 langsung melaju dengan ciri khas utamanya: konfrontasi langsung. Pertama, mengecam kebijakan penasehat Gubernur Jendral untuk urusan pribumi dan Islam, Dr Rinkes.
 

Artikel berjudul “Marco pro of Contra Dr Rinkes!?” mengkritik dengan kasar Welvaart Comisse (Komisi Kesejahteraan Hindia Belanda) yang dibentuk Rinkes. Komisi itu tak pantas mengurusi kesejahteraan kaum boemipotera, karena pemerintahan Hindia dengan seluruh aparatusnya adalah penghisap. Welvaart Comisse, tulis Marco, adalah W.C.
 

Menyamakan Welvaart Comisse dengan “W.C” atau kakus membuat berang Dr. Rinkes. Kasus itu pula yang yang membuat IJB/Doenia Bergerak yang notabene SI Surakarta berkonfrontasi dengan Oetoesan Hindia yang dihelat Tjokroaminoto (SI Surabaya).
Hampir empat bulan lamanya Marco/Doenia Bergerak adu tulisan dengan Tjokroaminoto/Oetoesan Hindia. Bahkan nyaris perdebatan tulis itu jadi debat terbuka jika tak dilarang Regent Surakarta. Soewardi Soerjadiningrat dari pembuangannya di Belanda bahkan turut menasehati Marco untuk melunak terhadap sekubu pergerakan.
 

Belum selesai urusan dengan Oetoesan Hindia, Doenia Bergerak kembali terlibat polemik yang keras ihwal buku yang ditulis Marco “Mata Gelap” dengan koran Tjhoen Tjhioe.
Namun bukan artikel-artikel polemik itu yang mengubur IJB/Doenia Bergerak, melainkan dua pasal karet ciptaan kolonial yang diterbitkan di tahun yang sama dengan IJB dicetuskan, yakni 1914.
 

Boleh dibilang, IJB/Doenia Bergerak adalah mangsa pertama pasal 66a dan 66b seperti tercantum dalam Staatblad (Lembar Negera) No 205-206. Isinya: aparat hukum akan menghukum siapa pun yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
 

Tidak tanggung-tanggung, empat artikel di Doenia Bergerak yang ditulis jurnalis-jurnalis IJB menjadi sandaran polisi untuk menyeret Marco ke bui, yakni Doenia Bergerak No 15 hlm 8 “Wong Gede (Orang Besar)” terkarang O. J. Dridomeos; Doenia Bergerak No 18 hlm 3 “Pendapatan hal Technische Hoogeschool di Hindia” terkarang Lid I.J.B.; Doenia Bergerak No 19 hlm 2 “Ah Javanenzijnerg dom” tulisan Mr. Juist, Lid IJB Madiun; dan Doenia Bergerak No 22 hlm 5, “Keluh kesah jang amat sangat” terkarang J.K. van Kalk.
 

Pasal persdelict (Pelanggaran Pers) yang sama yang mengantar Marco lima kali masuk keluar penjara kolonial. Puncaknya adalah ia dibuang di Tanah Merah di mana Marco wafat tanpa secuil pun menjual komitmen jurnalistiknya pada kolonialisme yang ia bangun bersama-sama jurnalis-jurnalis kuat pendirian di IJB pada 1914.
 

Kata Marco, “Journalist itu harus berani dihukum dan dibuang/ Karena dia yang mesti menendang/ Semua barang yang melangmalang.” Dan IJB yang tahun ini memasuki usianya yang ke 100 adalah tonggak jurnalistik pergerakan di mana “Anak Hindia Soedah Berapi” dan zaman dan bahasa bergerak dan meninju.



NOTE: Versi  Cetak dimuat pertamakali Harian Koran Tempo, 9 Februari 2014

No comments: