:: gusmuh
Menjadi partai, mestinya disadari lebih awal, adalah
pertarungan menuju singgasana kekuasaan. Partai bukan seperti paguyuban sosial
atau perkumpulan berbasis keagamaan yang imun dari cita-cita politik kuasa.
Maka orang yang memasuki partai adalah pribadi yang menyiapkan dirinya
sedemikian rupa sebagai kandidat penguasa untuk menjalankan mesin sebuah rezim.
Sebagai kandidat pengendali sebuah rezim, maka secara reguler partai
dihadapkan pada momentum pemilu dan kampanye kepada publik untuk
menyosialisasikan misi, visi, inovasi, prestasi, dan rekam jejak prestasi
partai dan pribadi-pribadi yang diusungnya untuk duduk di kursi kekuasaan.
Sampai pada titik ini partai membutuhkan media dengan
jangkauan keterbacaan yang bukan saja impresif, melainkan juga meluas dan
menjangkau sembilan pulau besar Nusantara dan ribuan pulau kecil lainnya.
Inilah yang membedakan partai-partai besar peserta pemilu
1955 dan pemilu sesudahnya, termasuk juga kini. Di Pemilu 1955, setiap partai, terutama
partai yang memiliki basis pendukung yang massif, sadar betul dengan kondisi
bahwa memiliki media (massa) sendiri itu penting, sepenting kekuasaan itu
sendiri.
15 Des 1955 ~ Pemilu Tahap II untuk memilih Anggota Konstituante |
Makanya, jika kita mengurut empat pemenang partai pemenang
pemilu 1955 (maaf, PSI saya lewatkan saja), semuanya memiliki media sendiri. PNI punya koran bernama Suluh Indonesia; Masjumi dengan koran Abadi dan majalah Hikmah; Partai NU dengan Duta
Masjarakat; dan PKI dengan Harian
Rakjat dan jurnal Bintang Merah.
Walau media (massa) cap partai, media-media itu dikelola secara profesional
dan disitribusikan dengan cara-cara yang lazim. Dikelola secara profesional
artinya bukan dibuat jelang pemilu, namun terbit ajeg mengiringi aktivitas harian partai dalam masyarakat; ada atau
tak ada pemilu.
Karena terbit ajeg
(harian/mingguan), maka keredaksiannya pun dikelola seperti manajemen pers
umumnya, sebagaimana misalnya, termaktub dalam "buku panduan penerbitan
pers" yang dibikin Mochtar Lubis, Pers
dan Wartawan (1956). Media partai itu memiliki wartawan yang bekerja
profesional, kontributor luar negeri, penulis opini/feature politik/budaya yang
terkelola, editorial, perancang tata letak dan juru gambar (termasuk karikatur), serta tim
distribusi yang militan.
Dari sisi manajemen pengelolaan seperti ini, wajar kemudian
media partai ini diakui sebagai bagian dari keluarga besar PWI. Produk
jurnalistik yang dilahirkannya adalah produk pers yang absah, dan bukan
serombongan pelempar surat kaleng rombeng dari dunia tengah mahagelap.
Karena bagian dari jurnalistik, media-media partai bersaing
pasar dengan media-media non-partai. Bahkan dalam soal jumlah oplah yang terbit
tiap hari, media partai semacam Harian
Rakjat yang dimiliki PKI bisa menyalip jauh jika dibandingkan dengan oplah Pedoman yang dipimpin
Rosihan Anwar.
Dua
Keutamaan
Media (massa) bagi partai-partai itu memiliki dua keutamaan.
Keutamaan ke dalam berarti pendidikan untuk kader yang dilangsungkan secara
terus-menerus. Informasi disalur-sebarkan secara intensif hingga ke tingkat
ranting paling bawah untuk soliditas kader dalam satu komando ideologi. Media
partai itulah yang menjadi sekolah informal bagaimana kader mendapatkan
informasi tentang partai dan memamah pengetahuan politik yang umum dari
cendekia-cendekia partai yang berkumpul di Jakarta.
Selain berguna ke dalam, media partai itu juga memiliki
keutamaan ke luar untuk agitasi dan propaganda menghadapi lawan-lawan
politiknya. Media partai menjadi gelanggang yang tiap hari menyerang dan
menguliti sedemikian rupa kelemahan partai lain dan orang-orang yang mengusungnya.
Pemilu pun menjadi hidup, pemilu menjadi hiruk-pikuk. Tapi tak
ada yang dilanggar di sana. Karena media yang melakukan aksi propaganda itu
adalah media partai itu sendiri. Terkadang satu koran "berkoalisi/tidak
menyerang" koran partai yang memiliki irisan kepentingan yang sama
dengannya. Ambil contoh Duta Masjarakat/Partai
NU, Suluh Indonesia/PNI, dan Harian Rakjat/PKI berkawan dalam soal
agitasi ke luar. Tapi tidak antara Harian Rakjat/PKI
dengan Abadi/Masjumi yang baku hantam
gagasan di gelanggang politik.
Sekali lagi, tidak ada yang dilanggar di sana. Media-media
itu membela/mengusung partainya sedemikian tegas karena memang secara garis
kepemilikan media-media itu adalah milik partai.
Tentu saja di luar media-media partai itu masih banyak
media-media lain yang hidup berdampingan yang tidak secara langsung teriris
kepemilikan dengan partai. Banyak media di luar itu tetap independen, walau
memiliki kedekatan kepentingan dan ideologis dengan partai. Ciri media-non-partai
itu: independen (tidak memiliki garis komando redaksi dengan pimpinan partai
tertentu), tapi biasanya juga tak bisa dibilang netral murni (karena masih terhubung
oleh kekeluargaan ideologis/memiliki kesesuaian kepentingan nasional).
Partai
tanpa Media
Namun, hiruk-pikuk dan pesta demokrasi liberal itu
tiba-tiba lenyap tanpa bekas saat pemilu berikutnya berlangsung di awal tahun
1970-an saat rezim berganti lewat prosesi pendarahan hebat pada 1965/1966.
Bukan saja kultur partai berubah (disusutkan dalam bentuk fusi), namun juga
kultur media partai dikubur. Kecuali, Golkar, satu dari tiga konsestan pemilu yang
tak pernah mau menyebut partai -- yang memiliki media partai bernama Suara Karya. Media televisi nasional juga diperalat lewat operasi
senyap untuk menyuarakan kepentingan partai yang memegang kendali kekuasaan.
Hingga kini, budaya partai bermedia tak pernah pulih
kembali. Kegembiraan era multipartai bisa dikembalikan oleh Reformasi, tapi
tidak dengan kultur partai bermedia sendiri. Akibatnya, partai-partai yang ada
memasrahkan diri pada media-media yang “independen dan netral” untuk menyosialisasikan
misi-visinya.
Yang lebih parah tentu saja pemilu Indonesia ke-12 (2014)
saat media (televisi) berstatus “swasta” dengan memakai izin frekuensi publik
dibajak (menyerahkan diri) secara habis-habisan untuk menyuarakan secara
berlebihan dan agresif satu kepentingan partai tertentu.
Tentu saja kondisi perang media (bukan) partai yang
melakukan kontrak-gelap dengan partai selama pagelaran pemilu dilangsungkan seperti
saat ini bukan saja salah-waktu, salah-tempat, salah-momentum, namun juga bikin
kusut peristiwa demokrasi yang sudah ramai dan terlanjur gembira seperti pemilu
ke-12 tahun ini.
No comments:
Post a Comment