31 August 2015

Ki Hadjar Dewantara: Nakal Harus, Goblok Jangan

Dear Bung Hadjar,

Situ keren, Bung! Bikin sekolah Taman Siswa, tapi siswa-siswa kumunis boleh ikut belajar dan dapat ijazah resmi pula. Anak situ sendiri juga bebas memilih jadi wartawan amplop kanan atau kiri; dan Bung menerima dengan lapang dada saat akhirnya pilihan anak jatuh menjadi jurnalis kominis.

Situ bahkan dengan selo-nya nerjemahin lagu “Internasionale” yang na’udzubillah itu ke dalam bahasa Indonesia. Lebih kafah lagi, situ jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertama setelah Indonesia Merdeka. Dan kafah di atas kafah, eh, tanggal kelahiran Bung diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Enak betul di zaman Bung, tapi kami yang ngenes: kami peringati Bung tanpa mata pelajaran marxisme, tanpa palu arit, tanpa internasionale.

Tapi kan hari ini bukan Hari Pendidikan Nasional? Bung betul, ini memang bukan hardiknas, tapi masih di pekan Ultah Mojok, dan jarak antara hari pendidikan dan Hari Mojok hanya 118 hari jarak cinta.


Di hari pendidikan, mulai dari menteri, guru, hingga awamnama menghapal betul tiga ajaran sakti Bung: Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso.

Di Pekan Mojok ini, izinkan saya dan jutaan orang yang sepaham dengan mojokisma untuk tak latah mengulangi lagi tiga kalimat bijak yang itu-itu saja, tapi petuah Bung yang lain, yang jarang dikutip, dan tentu saja lebih relevan dengan Hari Mojok. Kutipan yang ini, Bung: Ngandel, Kendel, Kandel, Bandel.

Jabat tangan erat, Bung!

Bung kira-kira mau bilang, manusia mojokisma itu mestilah manusia yang ngandel, manusia yang penuh percaya diri, bukan peragu. Tapi percaya diri dan rasa yakin saja tak cukup dalam melayari hidup yang beronak berduri-duri, tapi juga harus diikuti sifat kendel, sikap berani dan patriotik. Menulis status garang menyerang presiden, eh pas dilaporkan ke Polres setempat terus ngeles dengan lutut yang bergetar hebat. Ujug-ujug bilang khilaf. Berani dengan rasa percaya diri mestilah sejalan. Kalau nggak, hanya berakhir antiklimaks, goblok.

Supaya keberanian gak ngawur, manusia mojokisma punya sabuk pengaman. Ya, mesti punya kandel, punya ilmu pengetahuan. Percaya diri punya, keberanian oke, dan makin naik bobotnya bila semuanya dibungkus dengan pengetahuan agar tidak tumbang dengan sekali gertak.

Sudah cukup? Belum. Bung ngasih satu lagi prasyarat tertinggi: Bandel!

Apa? Bung ingin anak-anak mojokisma itu “melawan kata atau nasihat orang; tidak mau menurut atau mendengar kata orang; kepala batu”, sebagaimana kata itu diartikan dalam Kitab Mulia KBBI dan di kepala manusia Indonesia?

Allahu Akbar! Bahkan akal paling lemah tentu berkata bukan bandel itu maksud Bung. Apa kata orang coba, Mendikbud Pertama ngajarin yang gak genah kepada umat manusia se-Indonesia untuk durhaka.

Ada yang mengartikan bandel adalah tahan dan tawakal, namun juga bisa diartikan dengan kreatif. Dan arti keren kreatif adalah: mengubah yang biasa menjadi tidak biasa, memikirkan apa yang luput dipikirkan orang banyak.

Singkat kata, Bung adalah teladan mojokisma. Semua kandungan sifat ngandel, kendel, kandel, dan bandel telah Bung teladankan secara paripurna dalam semesta sejarah.

Bung berani bertarung melawan pemerintah Hindia Belanda lewat tulisan cadas Seandainya Saya Seorang Belanda pada tahun 1913—ketika kecebong albino atas nama Kanda Taufiq Gaffar belum juga ditetapkan Gusti Pangeran akan diletakkan di pojok mana. Alih-alih minta maaf, Bung lebih memilih penjara dan pembuangan. Sebab Bung orangnya kandel, punya stok pengetahuan dan karena itu meyakini bahwa apa yang dilakukan Bung sudah dalam trek kebenaran yang dilandasi ilmu pengetahuan. Sebuah tindakan sadar dengan risiko besar yang mesti diterima dengan kepala tegak.

Situ bandel, Bung. Nakalnya pol dan banyak akal. Bung berpikir cepat ketika ditawari lokasi pembuangan. Mau dibuang di luar Jawa seperti Pangeran Diponegoro, atau ke negeri Ratu Wilhelmina. Bung memilih Holland. Alasan Bung cerdik dan ciamik: kalau masih di Hindia Belanda nasib Bung akan seperti leluhur yang pemberani itu, Diponegoro. Tapi kalau ke Holland, Bung berkesempatan menyerap lebih banyak pengetahuan Barat untuk balik memukul.

Dan sepulang dari Holland tahun 20-an, dengan sangu banyak akal itulah, Bung mengorganisasi perlawanan dan menghajar kolonialisme di jalan pendidikan. Taman Siswa adalah sekolah bikinan Bung yang bertiwikrama dari etno-nasionalisme ke pengajaran kebangsaan.

Bung mencontohkan transformasi dari feodalisme ke gerakan kebangsaan baru dan modern itu dengan mengganti nama Bung sendiri, tanpa paksaan MUI atau pribadi-pribadi ngehek seperti yang sedang dialami oleh Kawan Tuhan dan Kamerad Saiton. Disaksikan sahabat Bung sesama bangsawan Istana yang tak kalah nyentriknya, Ki Ageng Suryomentaram, Bung membuang nama feodal Bung, Soewardi Soerjodiningrat, dan menggantinya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 23 Februari 1928.

Bung menekankan bahwa, dengan nama baru itu, tangan kanan Bung habis-habisan meng-AJAR bangsa sendiri dengan jalan budi dan pengetahuan, sementara tangan kiri mengepal dan meng-HAJAR kolonialisme dengan jalan pergerakan. Makanya Bung bikin konsep pendidikan bertumpu pada 3 sentra besar: keluarga, perguruan (pendidikan formal), dan perjuangan/pergerakan.

Dan seperti yang dicontohkan Bung, bandel itu, nakal itu, bisa dipelajari dan ditempuh dengan laku yang keras. Adhe Ma’ruf, bakul buku jebolan sejarah IKIP Yogyakarta, sudah nyoret-nyoret buku kurikulumnya, Belajar Nakal: Catatan Berantakan dari Kota Setengah Gila.

Banyak nakal, banyak akal. Selamat ulang tahun untuk Mojok dan bilkhusus lima juta umat mojokisma. Bahagia harga mati!

Hajar, Bung!

* Dipublikasikan pertama kali mojok.co, 31 Agustus 2015