Membaca keseluruhan kritik Andreas Harsono (untuk selanjutnya disebut si pengkritik) atas projek Seabad Pers Kebangsaan, terkesan begitu takutnya ia dengan kata “Pribumi”. Ia begitu alergi dengan kata itu dan, gilanya lagi, justru konsisten dalam salah kaprah pemakaiannya untuk semua waktu. Seakan-akan memakai kata “pribumi” sudah berarti rasial. Ah, jika seorang yang memakai kata “pribumi” adalah seorang yang rasialis, maka seluruh aktor pergerakan akan menjadi seorang rasialis. Karena pada masanya, kata itu adalah kosakata sehari-hari di medan komunikasi. Untuk soal ini, silakan lihat kuburan sebelah.
Saya tak perlu membahas tulisan si pengkritik itu. Sudah dibahas rekan sekantor saya di sini dan di sini. Yang ingin disampaikan di sini adalah apa sih persisnya “metodologi” yang dipakai memilih Tirto. Karena menyangkut soal metodologi, maka saya menghubungi saja penanggung jawab projek pematokan Seabad Pers Kebangsaan di mana namanya turut disebut-sebut si pengkritik (3 kali) dan sekaligus menyebutnya rasis. Wow, tuduhan yang menyakitkan. Iya kalau disertai dengan struktur berpikir yang benar, kalau tidak, kan bisa menjadi senjata makan tuan.
Ini dia hasil pancingan saya di kolam pemancingan di Dusun Kembaran, Kasihan, Bantul Projo Tamansari.
Muhidin M Dahlan (MMD): Apa pentingnya Pak Taufik berpayah-payah menggali agar pers ini punya tokoh yang jadi rujukan nilai?
Taufik Rahzen (TR): Sama halnya kamu nanya apa pentingnya Nabi Muhammad bagi umat Islam. Dan Yesus buat Kristen. Dan apa pentingnya seorang presiden bagi sebuah negara.
MMD: (Duh, pertanyaan saya patah deh sejak dari kalimat pertama. Pertanyaan atau tepatnya pernyataan yang nyaris sama seingat saya pernah juga diajukan oleh Andreas Harsono alias si pengkritik sewaktu dia mengkritik ulah sejarawan partikelir Zen Rachmat Soegito yang mencari-cari bapak pers Indonesia. Tepatnya mesti ditanya sama si zen partikelir itu. Mungkin juga Pak TR berlebihan membandingkan antara Nabi, Agama, dan Tokoh Pers. Tapi segera saya teringat bahwa agama Andreas Harsono adalah jurnalisme (klik di sini). Jadi kebetulan yang klop).... Oke Pak. Penasaran nih, kriteria apa sebetulnya yang Pak Taufik pakai dalam projek Seabad Pers itu hingga sampai pada pilihan Tirto/Medan Prijaji?
TR: Tolak ukur yang kita pakai untuk menilai Medan Prijaji pantas menjadi patok atau penanda dimulainya pers kebangsaan adalah Sumpah Pemuda yang merupakan puncak perjuangan politik kebudayaan semasa merebut identitas kebangsaan. Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Tirto memang berusaha tampil taktis dan mencoba menyuluh pembacanya tentang hukum-hukum kolonial. Maka kemudian nyaris di setiap nomor Medan Prijaji Tirto menerjemahkan kembali aturan-aturan hukum yang diproduksi pemerintah. Tirto sadar bahwa nasib “bangsa yang terprentah” ini separuhnya terletak di ujung pasal-pasal yang menyimpan belati ini.
Karena sepak terjang Medan Prijaji ini Tirto menjadi incaran utama sebagai orang pertama di abad 20 yang paling berbahaya. Saya kira bukan karena ia memiliki ajimat, tapi justru karena kepemilikan penuhnya atas Medan Prijaji yang mendapat perhatian pers di Nederland jauh sebelum Indonesia Merdeka yang ditukangi Hatta dkk.
MMD: Kalau merujuk soal Sumpah Pemuda, di sana ada tiga poin: Tanah Air, Bahasa, dan Bangsa. Apa hubungan Tirto dengan ketiga hal itu?
TR: Saya kira peran Tirto cukup signifikan. Puncak dari ketegasan sikap yang coba dibalik Tirto/Medan Prijaji bermuara pada Sumpah Pemuda. Sebab pada saat itulah Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Jika tak ada pembalikan situasi yang dramatis, mungkin saja bahasa yang kita pergunakan adalah bahasa Belanda, Jawa, Cina, atau Arab yang dipakai sebagai bahasa persatuan. Jelas persemaian ini ada pada tradisi cetak yang sebelumnya tradisi ini tak ada. Tentu hal itu tak bisa kita rujukkan pada pers berbahasa Jawa seperti Bromartani atau pers-pers Tionghoa. Karena pembayangan bangsa mayoritas aktivis pers Tionghoa sebelum era Partai Tionghoa Indonesia terbentuk pada 25 September 1932, bukanlah gerakan yang coba membangun bangsa yang dibayangkan dan secara inheren seperti kita lihat pada bangsa Indonesia sekarang. Yang mereka bayangkan adalah bangsa Asia Raya yang berpusat di Tiongkok.
Dan perlu diketahui bahwa bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang sangat baru dan bahasa itu diciptakan. Kita juga tak boleh samakan bahasa yang dilisankan atau pasaran dengan bahasa tulis jurnalistik. Sebelumnya bahasa itu hanya lewat bahasa puisi, gurindam, hikayat, babad. Bahasa-bahasa itu menggambarkan tentang perasaan perumpamaan, sementara bahasa pers adalah bahasa yang menggambarkan realitas.
MMD: Tapi sebelum Medan Prijaji kan sudah ada yang memakai bahasa Melayu....
TR: Sekilas kita lihat sudah banyak suratkabar memakai bahasa sebagaimana yang dipakai Medan Prijaji kemudian. Namun itu hanya dipakai sebagai bahasa pers biasa, misalnya untuk berdagang. Namun di tangan Tirto, sebagaimana terlihat di Medan Prijaji, bahasa Melayu yang biasanya dipandang hanya sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) dipergunakan secara penuh sebagai bahasa pers dan menjadi adonan utama membangun basis ideologi. Itulah makna dari prinsip Tirto tentang “pers yang berpolitik”. Ada memang pers dalam bidang-bidang khusus seperti berdagang atau militer. Bahasa digunakan untuk berdagang, tapi bukan ideologi kebangsaan. Ada juga pers lokal bermunculan tapi saya kira tak memberi dampak yang luas karena pers itu hanya sebagai pers yang fungsinya sebagai alat komunikasi. Dan yang menggunakan secara tegas dan dengan kesadaran politik yang penuh risiko adalah Tirto Adhi Surjo. Tirto sangat sadar bahwa bahasa adalah bangsa. Maka dia pun berlelah-lelah melakukan diagnosis kebahasaan dan sekaligus mempersoalkan penggunaan bahasa Belanda di Hindia. Walau kita tahu bahwa Muhammad Jaminlah yang memperjuangkan itu menjadi kesepakatan bersama, tapi Tirto yang menyemaikannya.
MMD: Bisa Pak Taufik jelaskan kembali soal pembayangan bangsa tadi....
TR: Begini, bangsa yang dibayangkan Tirto adalah tanah air yang melingkupi Hindia Belanda. Tirto dengan lugas menyebut tanah air itu sebagai “bangsa yang terprentah” yang bisa kita tafsir sebagai daerah jajahan Belanda. Sejarah memang tak mengenal kata andaian. Tapi jika kita diizinkan untuk berandai maka seandainya yang menang adalah bangsa Tionghoa, maka konsep berbangsa kita adalah bangsa yang ditarik dari Tiongkok. Seandainya yang menang komunis, maka konsep berbangsa kita ditarik dari Rusia berdasarkan konsepsi komunis internasional (komintern). Dan dari Tirto kebangsaan itu diikat oleh tanah dan air yang terprentah oleh penguasa kolonial Belanda serta oleh mobilisasi bahasa Melayu yang kemudian sejak Sumpah Pemuda kita kenal dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pers. Semua elemen-elemen dasar yang diperjuangkannya itu tersari dalam 3 ayat Sumpah Pemuda.
Saya kira visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada, semisal penentuan wilayah Indonesia pada Sidang I BPUPKI bertahun-tahun setelah Medan Prijaji tiada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Jadi struktur Sumpah Pemuda itu kita baca bukan dalam kerangka linier, tapi dialektik.
MMD: Apakah yang coba dilakukan Tirto itu adalah sesuatu yang unik.
TR: Mungkin tak unik. Tapi beberapa bangsa tumbuh bukan berdasarkan pada dilektik ini. Inggris misalnya berdasarkan kerajaan dan bukan berdasarkan tanah. Bangladesh berdasarkan bahasa, yakni bahasa Bangla. Golongan ini memisahkan diri dari Pakistan karena perbedaan bahasa. Mereka menganggap bahwa bahasa mereka lebih tinggi dari bahasa Urdu yang dipakai Pakistan. Jadi bukan karena perbedaan tanah. Karena itu gerakan pembebasan dimulai dari gerakan bahasa. Namun ketika India merdeka bukan berdasarkan tanah dan bukan pula bahasa karena bahasa mereka sangat kompleks secara kuantitas dan politik. Di India ada sekira 8 bahasa. Walaupun bahasa negara adalah bahasa Hindi, tapi itu tak berfungsi sebagai bahasa nasional dan sekaligus menjadi identitas. Sebab jika bahasa Hindia yang merupakan bahasa Sanskrit dipaksakan, maka yang lain resisten. Terpisahnya Pakistan salah satunya gara-gara ini, selain tentu saja soal agama. Ternyata Pakistan Barat dan Timur memecah lagi, juga karena soal bahasa. Indonesia justru disatukan oleh tanah air dan bahasa yang biasanya menjadi titik sengketa bagi negara lain.
MMD: Syarat apa lagi yang dipunyai sehingga Medan Prijaji layak dijadikan tolak ukur?
TR: Oke saya lanjutkan. Konsepsi kebangsaan itu kemudian dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.
MMD: Pada titik itu, posisi Tirto lalu bisa dibaca seperti apa dalam sejarah pers kebangsaan?
TR: Seperti saya katakan tadi. Karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung.
MMD: Pak Taufik menyebut “momentum sejarah”. Apa yang dimaksud dengan “momentum sejarah”?
TR: Momentum sejarah itu bisa dicontohkan seperti peristiwa Asia Afrika: Mengapa pertemuan Asia Afrika dianggap terjadi pada tahun 1955 di Bandung. Padahal berdasarkan kronik, sebelumnya pada tahun 20-an peristiwa serupa sudah ada dan pada tahun 1947 India sudah menyelenggarakan, dan tentu saja Mesir. Tapi kenapa Bandung dijadikan momentum sehingga menjadi tolak ukur. Itu tiada lain karena di sana ada momentum sejarah.
Begitu pula dengan Medan Prijaji yang termasuk dalam momentum sejarah dan tak sekadar historical piece. Yang dimaksud historical piece di sini adalah bahwa banyak pers bermunculan, tapi dampak kemunculannya tak memberi stimulus bagi kehidupan berbangsa berikutnya jauh setelah organ itu tiada. Namun Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan atau dalam bahasa Tirto Adhi Soerjo: pers yang berpolitik.
MMD: Menurut saya itu tiada lain buah usaha Pram. Alamat tentang Tirto ada di Pramoedya. Karena tokoh inilah yang jungkir balik mencari tahu dan meriset tentang Tirto.
TR: Menurut saya ada juga keuntungannya Tirto menjadi “pahlawan” dalam buku-buku Pram. Pramoedya Ananta Toer saya kira orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya adalah sesuatu yang menarik karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.
Nah, alasan-alasan itulah saya dan beberapa penulis muda yang tergabung dalam projek ini bersikukuh bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Sebagai suplemen, dari pribadi ini pula kita bisa tilik syarat-syarat apa yang ada di Pancasila yang kita punyai hari ini: tentang religiusitas (perumus pertama Sarekat Dagang Islamijah), tentang kemanusiaan (maju berperkara kepada pengadilan Belanda untuk membela rakyat Hindia yang ditindas), keindonesiaan (merumuskan frase negara-negara terprentah sebagai formula terbaru memperhadapkan Belanda di kancah pergumulan linguistik dan hukum), demokrasi (keinginan membangun kesamaan dengan stratifikasi yang dibangun pemerintah, walau ini masih samar-samar), dan tentang keadilan (menaikkan level bangsa-bangsa yang terprentah agar setara dengan penjajahnya lewat jalan ekonomi dan pengajaran).
MMD: Lalu apa bedanya projek ini dengan projek penulisan sejarah pers yang sudah banyak dilakukan oleh penulis lain sebelumnya?
TR: Proyek sejarah pers kebangsaan ini tetaplah berbeda dengan penulisan sejarah pers jika diartikan pers sebagai fisik sebuah suratkabar belaka. Kalau hanya siapa yang paling menghargai bahwa sejarah pers di negeri ini sungguh panjang, saya dan kawan-kawan lain di Veteran I pun sudah melakukan dengan memunculkan kembali koran pertama di Hindia Belanda, yakni Bataviase Nouvelles.
Saya ingin garis bawahi bahwa proyek ini hendak mematok suatu tanda. Atau dalam kata-kata Pramoedya Ananta Toer membuat patok.
MMD: Tapi kan ada juga yang rewel, sewot, iri hati, atau apalah namanya atas pemancangan patok yang dilakukan Pak Taufik ini.
TR: Nggak apa-apa. Bahwa kemudian orang berbeda menilai patok ini, kita sudah melakukannya. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Karena jika tak ada yang mematok, sejarah pers kebangsaan kita akan yatim.
MMD: Benar nih nggak apa-apa yang tak puas ...
TR: Lho memangnya kenapa. Tak apa bila ada pihak yang tak setuju dengan pemancangan patok ini. Karena memang sejarah bukan seperti apa adanya. Sejarah itu terdiri dari fakta dan interpretasi. Masalah fakta biarlah sejarawan yang melacak itu. Tapi setelah ada fakta, interpretasi yang memegang peran bagaimana kontekstualisasi fakta itu atau seberapa bisa fakta itu bisa menginspirasi bagi pembentukan kehidupan masa depan.
Sebut saja usaha ini reinventing history di mana kita coba memaknai dan sekaligus menciptakan makna baru di medan fakta-fakta sejarah yang tersedia. Dengan pola reinventing history ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru. Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.
MMD: Menarik kalimat terakhir Pak Taufik ini...
TR: Jadi begitu. Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.
Mungkin bukan sekarang manfaat yang bisa dipetik, tapi generasi akan datang. Barangkali ini bisa berguna dalam proses bangsa ini selalu terbentuk dalam pengamandemenan Undang-Undnag dasar, debat tentang Piagam Jakarta, dan seterusnya.
MMD: Tapi apa yang dilakukan Pak Taufik ini justru dituding bisa menyesatkan masyarakat.
TR: Berdasarkan pola berpikir apa itu tuduhan. Kalau tanpa dasar, biarkan saja. Toh patok sudah ditetapkan. Argumen sudah dibangun.
MMD: Metodologi juga sudah, Pak. Metodologi Sejarah Sumpah Pemuda. Hahahahaha. Terlihat kurang keren, kurang ilmiah. Nggak ada dalam silabus kurikulum mahasiswa sejarah. Hahahaha. Oke, Pak Taufik sudah menjelaskan semua kenapa Pak Taufik memilih Tirto dan Medan Prijaji. Sekarang pertanyaan saya yang agak pribadi: Jika ada yang mengatakan bahwa projek yang sedang digarap Pak Taufik ini adalah projek rasis, apa komentar Pak Taufik?
TR: Oh... (Suara Pak Taufik berhenti sebentar... dan). Saya akui bahwa saya baru tahu tuduhan Andreas itu. Baru saya tahu sekarang (Selasa, 20 Mei 2007). Kaget sekali dituduh rasis dan dia mengait-ngaitkannya ke mana-mana. Saya bahkan tak memikirkan apa yang disampaikannya tentang Pribumi yang dipahaminya selama ini dan kemudian langsung ditudingkannya kepada saya. Dia nggak tahu saja bahwa saya pernah membuat tafsir sendiri atas apa yang disebut Pribumi, Ibumi, Bumiputra, Prabumi. Apalagi dia kait-kaitkan dengan Toriq Hadad, Fikri Jufri, di mana mereka adalah teman-teman baik saya. Aneh betul, dia yang memikirkan itu, tapi saya sama sekali tak memikirkannya. Saya itu orang Sumbawa dan Tirto itu orang Jawa. Saya sama sekali tak berpretensi asal-usul seperti itu. Saya ke Perang Teluk Irak mempertaruhkan nyawa yang selembar ini, ke Burma, ke Indo China, India, Sri Lanka, dan menggagas perdamaian multikultur di Bali, Kalimantan, dan nyaris di seluruh wilayah Indonesia saya gagas festival kebudayaan untuk perdamaian, dan sebagainya sebelum dia pergi ke mana-mana dan belum melakukan apa-apa. Saya melakukan itu untuk menghadang SARA dalam politik. Sungguh, tudingan Andreas sama sekali tak berdasar. Yang justru rasialis itu dia sendiri. Dia yang terus mengutak-atik keluarganya sendiri dan membesar-besarkan isu tentang dirinya dari Tionghoa dan sebagainya di majalah, tanpa disadarinya bahwa pretensi itu saja sudah rasial. Dia justru membangkit-bangkitkan semangat itu di mana justru orang yang ditudingnya tak memikirkannya.
Kalau saya menyebut Pribumi, itu bukan dalam konteks pribumi asal-usul. Itu politik kewarganegaraan. Tiong Hoa yang kewarganegaraannya dan poros politiknya untuk kemajuan Indonesia, mereka itu disebut Pribumi atau dalam bahasa Tirto “bangsa-bangsa yang terprentah”. Soalnya kapan momentum itu terjadi. Perdebatan di internal aktivis pers Tionghoa itu kan terjadi pada 1932 saat PAI ada. Penulis-penulis spesial Tiong Hoa saya kira tahu betul soal itu.
MMD: Jadi, bagaimana untuk menghadang semangat rasis itu?
TR: Mulai sejak dalam pikiran seperti kata Pram itu. Justru semangat membesar-besarkan Pribumi secara asal-usul itu yang coba dihadang Tirto dan sayangnya itu masih berada dalam kerangka berpikir Andreas. Kredo “bangsa yang terprentah” justru menyatukan bangsa timur asing dan inlander yang dikategorikan oleh Belanda secara rasialis itu. Tirto melihat peta politik bukan dari sudut asal-usul SARA itu, tapi ekonomi-politik. Karena itu, kalau ada Tiong Hoa yang korup, maka itu harus diserang. Dan itu soal ekonomi-politik dan bukan SARA.
Saya kira, tudingan rasialis itu hanya ada dalam angan-angan Andreas. Sayang sekali kerangka berpikirnya bisa sepicik itu.
MMD: Termakasih atas waktunya Pak.
TR: Sama-sama.
27 November 2007
24 November 2007
Tak Pantas Selesai Membacanya Menelan Penulisnya
::Heng Q
Buku ini berjudul tuhan, izinkan aku menjadi pelacur, dengan subjudul Memoar Luka Seorang Muslimah. Ditulis oleh Muhidin M Dahlan. Buku yang saya miliki ini adalah cetakan ke-8, Desember 2005. Cetakan pertamanya dibuat bulan Oktober tahun 2003. Dalam 2 tahun buku ini bisa naik cetak sampai 8 kali. Bisa disimpulkan dengan sederhana, buku ini ternyata cukup "laris".
Selain kesimpulan laris di atas, sesungguhnya buku ini mendulang kontroversi yang tak sedikit. Ada tambahan di bagian akhir buku ini yang menceritakan berbagai tanggapan dari pembaca. Dari tanggapan memuji, biasa, bahkan ada yang mendoakan penulisnya masuk neraka. Buku seperti apakah ini sesungguhnya? Sehingga ada yang beranggapan penulisnya pantas berakhir pada sebuah penyiksaan.
Kalau kita akan meletakkan buku ini dalam sebuah kategori, mungkin bisa membingungkan. Sebuah kisah nyata atau karangan belaka? Penulis telah menjawabnya dengan menyatakan bahwa buku ini berdasarkan kisah nyata. Lalu bahan tersebut dijalin, disusun, dijadikan sebuah buku. Tentu saja dengan menyembunyikan atau setidaknya menyamarkan berbagai identitas asli dari berbagai hal yang terlibat.
Yogyakarta, Aktivis Islam, Negara Islam, Lelaki, Pelacur, Pemuka Agama, Tuhan adalah bagian-bagian utama dalam buku ini. Semuanya hadir dalam perjalanan hidup tokoh utama yang bernama Nidah Kirani. Alur cerita dalam buku ini tak akan memusingkan kepala. Berjalan dengan lancar, urut dari awal sampai akhir, bagaikan sebuah buku harian seorang putri yang kembali kita buka dan baca dengan teratur. Tak ada yang istimewa. Juga dengan rangkaian kata dan kalimat yang tergolong sederhana namun dengan rasa sastra. (Ah apa pula ini?).
Namun peristiwa di dalamnya bukanlah sesuatu yang biasa. Inilah yang mengantarkan penulisnya menjadi terdakwa bagi yang tak setuju atas isi tulisannya. Tokoh utama yang memulai dengan pergulatan mencari Islam yang kaffah. Semangat yang sangat besar dalam berjuang. Lalu menemukan kekecewaan, dan berakhir menjadi seorang pelacur. Sebuah kisah yang tragis, bahkan untuk sebuah cerita karangan belaka, ini memang tragis. Apalagi buku ini berdasarkan sebuah kisah nyata.
Namun peristiwa di dalamnya bukanlah sesuatu yang biasa. Inilah yang mengantarkan penulisnya menjadi terdakwa bagi yang tak setuju atas isi tulisannya. Tokoh utama yang memulai dengan pergulatan mencari Islam yang kaffah. Semangat yang sangat besar dalam berjuang. Lalu menemukan kekecewaan, dan berakhir menjadi seorang pelacur. Sebuah kisah yang tragis, bahkan untuk sebuah cerita karangan belaka, ini memang tragis. Apalagi buku ini berdasarkan sebuah kisah nyata.
Apakah yang ada dalam fikiran anda, ketika seorang wanita saleh, berpakaian yang sopan, taat beribadah, tahajjud, puasa sunah, menjaga pergaulan, lalu dalam sekian tahun kemudian anda temukan menjadi seorang pelacur? Namun demikianlah cerita dalam buku ini. Sebuah organisasi yang punya cita-cita mendirikan negara Islam, akhirnya memberikan kekecewaan pada Nidah Kirani. Dan setelah itu mengalirlah kehidupannya dalam jalan-jalan gelap pekat.
Banyak yang dikuliti dalam kisah ini. Banyak yang dipertanyakan. Banyak yang digugat. Iman yang anda miliki akan diusik. Berbagai hal bisa dijungkirbalikkan. Yang diperlukan setelah membacanya adalah merenung. Mencari hikmah. Sangat tak pantas jika selesai membaca buku ini segera membuka mulut lebar-lebar untuk menelan penulisnya (Misalkan demikian yang ada dalam niat pembaca).
Dibuat tanggal : 29/03/2007 ¤ 07:31
Update terakhir : 29/05/2007 ¤ 05:38
Kategori : Lain-lain
* Diunduh dari blog Tn Heng Q
Buku ini berjudul tuhan, izinkan aku menjadi pelacur, dengan subjudul Memoar Luka Seorang Muslimah. Ditulis oleh Muhidin M Dahlan. Buku yang saya miliki ini adalah cetakan ke-8, Desember 2005. Cetakan pertamanya dibuat bulan Oktober tahun 2003. Dalam 2 tahun buku ini bisa naik cetak sampai 8 kali. Bisa disimpulkan dengan sederhana, buku ini ternyata cukup "laris".
Selain kesimpulan laris di atas, sesungguhnya buku ini mendulang kontroversi yang tak sedikit. Ada tambahan di bagian akhir buku ini yang menceritakan berbagai tanggapan dari pembaca. Dari tanggapan memuji, biasa, bahkan ada yang mendoakan penulisnya masuk neraka. Buku seperti apakah ini sesungguhnya? Sehingga ada yang beranggapan penulisnya pantas berakhir pada sebuah penyiksaan.
Kalau kita akan meletakkan buku ini dalam sebuah kategori, mungkin bisa membingungkan. Sebuah kisah nyata atau karangan belaka? Penulis telah menjawabnya dengan menyatakan bahwa buku ini berdasarkan kisah nyata. Lalu bahan tersebut dijalin, disusun, dijadikan sebuah buku. Tentu saja dengan menyembunyikan atau setidaknya menyamarkan berbagai identitas asli dari berbagai hal yang terlibat.
Yogyakarta, Aktivis Islam, Negara Islam, Lelaki, Pelacur, Pemuka Agama, Tuhan adalah bagian-bagian utama dalam buku ini. Semuanya hadir dalam perjalanan hidup tokoh utama yang bernama Nidah Kirani. Alur cerita dalam buku ini tak akan memusingkan kepala. Berjalan dengan lancar, urut dari awal sampai akhir, bagaikan sebuah buku harian seorang putri yang kembali kita buka dan baca dengan teratur. Tak ada yang istimewa. Juga dengan rangkaian kata dan kalimat yang tergolong sederhana namun dengan rasa sastra. (Ah apa pula ini?).
Namun peristiwa di dalamnya bukanlah sesuatu yang biasa. Inilah yang mengantarkan penulisnya menjadi terdakwa bagi yang tak setuju atas isi tulisannya. Tokoh utama yang memulai dengan pergulatan mencari Islam yang kaffah. Semangat yang sangat besar dalam berjuang. Lalu menemukan kekecewaan, dan berakhir menjadi seorang pelacur. Sebuah kisah yang tragis, bahkan untuk sebuah cerita karangan belaka, ini memang tragis. Apalagi buku ini berdasarkan sebuah kisah nyata.
Namun peristiwa di dalamnya bukanlah sesuatu yang biasa. Inilah yang mengantarkan penulisnya menjadi terdakwa bagi yang tak setuju atas isi tulisannya. Tokoh utama yang memulai dengan pergulatan mencari Islam yang kaffah. Semangat yang sangat besar dalam berjuang. Lalu menemukan kekecewaan, dan berakhir menjadi seorang pelacur. Sebuah kisah yang tragis, bahkan untuk sebuah cerita karangan belaka, ini memang tragis. Apalagi buku ini berdasarkan sebuah kisah nyata.
Apakah yang ada dalam fikiran anda, ketika seorang wanita saleh, berpakaian yang sopan, taat beribadah, tahajjud, puasa sunah, menjaga pergaulan, lalu dalam sekian tahun kemudian anda temukan menjadi seorang pelacur? Namun demikianlah cerita dalam buku ini. Sebuah organisasi yang punya cita-cita mendirikan negara Islam, akhirnya memberikan kekecewaan pada Nidah Kirani. Dan setelah itu mengalirlah kehidupannya dalam jalan-jalan gelap pekat.
Banyak yang dikuliti dalam kisah ini. Banyak yang dipertanyakan. Banyak yang digugat. Iman yang anda miliki akan diusik. Berbagai hal bisa dijungkirbalikkan. Yang diperlukan setelah membacanya adalah merenung. Mencari hikmah. Sangat tak pantas jika selesai membaca buku ini segera membuka mulut lebar-lebar untuk menelan penulisnya (Misalkan demikian yang ada dalam niat pembaca).
Dibuat tanggal : 29/03/2007 ¤ 07:31
Update terakhir : 29/05/2007 ¤ 05:38
Kategori : Lain-lain
* Diunduh dari blog Tn Heng Q
21 November 2007
Nanti, Di Depag Ada Pelacur
Di kolam pemancingan, sewaktu keasyikan membikin tanggapan atas esai Andreas Harsono tentang projek penulisan Seabad Pers Kebangsaan, telepon seluler saya berbunyi. Tenggg. Dari Departemen Agama rupanya. Sehari sebelumnya sudah ada telpon masuk di kantor. Saya kira teman yang main-main. Kalau isengnya muncul teman-teman itu biasanya ngaku-ngaku dari kapolda-lah, dari mabes AD...
Tapi rupanya tidak. Dari Litbang dari Departemen Agama ingin membedah buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (dia nyebut judul itu malu-malu... soalnya mbak-mbak yang nelp). Pada akhirnya buku itu masuk juga di Depag setelah 4 tahun terbit. Acaranya 6 Desember. Mau dipanel dengan buku Jihad. Tapi saya bilang nggak bisa tanggal itu. Soalnya bersama teman-teman ada di Bali untuk acara Perubahan Iklim hingga tanggal 20. Bukan mau konferensi sih, tapi berkeliaran di Bali sampai Flores. Soalnya mengendarai motor lewat jalur pantai selatan Jawa.
Rupanya, Desember 2007 ada pelacur masuk Depag. Hehehehe... Mungkin ini ada hubungannya dengan begitu gencarnya ajaran nyeleneh yang muncul di masyarakat. Atau mungkin juga Litbang Depag mulai curiga saya membuat sekte baru Al-Nidahiyah Wal Kiraniyah dan karena itu Depag ingin meneliti soal itu. Mungkin loh ya.
Tapi rupanya tidak. Dari Litbang dari Departemen Agama ingin membedah buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (dia nyebut judul itu malu-malu... soalnya mbak-mbak yang nelp). Pada akhirnya buku itu masuk juga di Depag setelah 4 tahun terbit. Acaranya 6 Desember. Mau dipanel dengan buku Jihad. Tapi saya bilang nggak bisa tanggal itu. Soalnya bersama teman-teman ada di Bali untuk acara Perubahan Iklim hingga tanggal 20. Bukan mau konferensi sih, tapi berkeliaran di Bali sampai Flores. Soalnya mengendarai motor lewat jalur pantai selatan Jawa.
Rupanya, Desember 2007 ada pelacur masuk Depag. Hehehehe... Mungkin ini ada hubungannya dengan begitu gencarnya ajaran nyeleneh yang muncul di masyarakat. Atau mungkin juga Litbang Depag mulai curiga saya membuat sekte baru Al-Nidahiyah Wal Kiraniyah dan karena itu Depag ingin meneliti soal itu. Mungkin loh ya.
10 November 2007
Jalan Gejayan, “Jalan Komunis” Affandi
Hari itu, Ahad 20 Mei 2007, “Jalan Gejayan” di Jogjakarta resmi bersalin nama menjadi “Jalan Affandi”. Persalinan itu bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, HUT Kabupaten Sleman, dan peringatan Seabad Affandi (Festival Affandi).
Saya belum mendapatkan apa alasan persisnya pemerintah mengganti nama jalan yang membentang dari utara (Jalan Lingkar Utara Condongcatur) ke selatan (di daerah Demangan, Jalan Solo/Adisutjipto) itu, kecuali bahwa hari itu dilangsungkan sebuah karnaval memperingati Seratus Tahun Affandi. Bahkan dalam proses tukar-ubah (convertion) itu tak ada misalnya semacam selebaran atau form penentuan pendapat rakjat (pepera), khususnya warga yang sudah tinggal di ruas jalan itu.
Jika jalan selama ini diyakini sebagai medan perbenturan kepentingan antara pemerintah yang menciptakan tertib sosial dan warga yang berpeluh-lelah setiap hari untuk mengais ceceran rezeki untuk bisa bertahan hidup, maka dalam proses tukar-ubah nama itu pemerintah memposisikan diri bertindak sebagai penafsir tunggal jalan itu.
Jalan raya kemudian bukan hanya sekadar tempat bagi orang-orang melintas atau distribusi barang, namun juga menjadi arena berlakunya kuasa-kuasa tertentu yang dilakukan rakyat jelata, pemilik modal, hingga pemerintah. Harga diri, kesopanan, uang, kekuatan gertak, ancaman, kekerasan, tipu-menipu, keramahan, serta tolong-menolong hadir bersama-sama di jalan raya. (Gunawan, 2000:3)
Ini kemudian mengukuhkan bahwa “jalanan” adalah panggung komunitas politik yang di atasnya seluruh kepentingan akan berbenturan dan saling mengait. Mengikuti kerangka Clifford Geertz dalam Politik Kebudayaan (1992) atas apa yang disebut politics of meaning, sejarah “Jalan Gejayan” bisa menjadi rujukan bagaimana panggung politik itu digelar. Menurut Geertz, kebudayaan tiada lain satu format pemaknaan yang memberi wujud baru atas pengalaman masyarakat. Adapun politik menjadi panggung atau lapangan bagaimana format itu dipraktikkan.
Sebelum krisis ekonomi dan politik menjelang akhir 1990-an, ruas Gejayan adalah panggung ekonomi dan pendidikan dengan empat kampus terletak di situ, yakni IKIP Jogja (sekarang UNY), Sanata Dharma, Atmajaya, dan UII (Fak Syariah). Tapi ketika tahun 1998, ruas jalan ini menggeser unsur ekonomi lebih ke pinggir dan sepenuhnya menjadikan politik sebagai sentral setelah sebelumnya termarjinalkan.
Puncak panggung politik itu terjadi pada 5 dan 8 Mei 1998 ketika ruas jalan ini lumpuh total ketika demonstrasi mahasiswa yang berlangsung dari siang hingga subuh berakhir ricuh. Selama pendudukan mahasiswa, pot-pot bunga dipecahkan, pepohonan diseret, gardu telepon digerayangi, lampu-lampu jalan ditekuk ke tanah, pembatas jalan dibongkar hingga jalan ini nyaris tak bisa dilewati kendaraan roda empat. Dan kejadian ini pula merenggut nyawa seorang warganya.
Dijadikannya “Jalan Gejayan” sebagai arena politik 1998 itu dipicu oleh sebuah benturan yang tak terdamaikan antara kepentingan politik pemerintah (tuntutan agar Presiden Soeharto turun) dan warganya (masyarakat kampus dan warga sekitarnya).
Kini, setelah sembilan tahun setelah peristiwa heroik itu, ruas “Jalan Gejayan” kembali menjadi panggung politik. Dan kali ini panggung politik kebudayaan berkait dengan konversi nama dari “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi”.
Politik Kebudayaan
Peristiwa konversi “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi” bukan peristiwa kebudayaan biasa, tapi politik kebudayaan. Siapa pun yang mengikuti sejarah Affandi, pasti akan bertemu pada sebuah simpul, bahwa selain sebagai seniman lukis terkemuka, Affandi juga adalah aktivis politik, khususnya politik Partai Komunis Indonesia.
Bacalah halaman muka Harian Rakjat edisi 27 September 1955, tepatnya di bawah masshead-nya, tampak dari kiri ke kanan berjejer foto empat seniman yang dicalonkan PKI sebagai anggota parlemen: (1) Affandi, (2) S Sudjojono, (3) Henk Ngantung, (4) Basuki Resobowo. Foto itu disertai penjelasan profil mereka masing-masing satu paragraf.
Dalam keterangan PKI di edisi Harian Rakjat sebelumnya, 10 September 1955, ada sepuluh seniman yang mereka calonkan di mana mereka adalah "bukan seniman2 jang bisa dikatakan tidak berarti". Menempati urutan pertama adalah Affandi (pelukis). Berikutnya berturut-turut: S Sudjojono (pelukis), Basuki Resobowo (pelukis), Henk Ngantung (pelukis), A. S. Dharta (penyair), Hr. Bandaharo (penyair), Bakri Siregar (kritikus pengarang tonil dan cerita pendek), M Isa (pengarang cerita pendek), dan Hadi (penyair).
PKI sangat membanggakan sikap politik kebudayaan mereka yang longgar atas masuknya seniman-seniman. Partai ini memiliki sikap bahwa seniman yang memilih PKI berarti ada jaminan kebebasan mentjipta dan perbaikan sjarat2 bekerdja. Partai ini memang satu-satunya partai peserta pemilu 1955 yang memasukkan paling banyak seniman dalam pencalonannya, walau calon itu bukanlah anggota resmi partainya. PKI menyebut seniman-seniman yang mereka calonkan adalah “seniman2 tak berpartai kecuali Sudjojono” .
Alasan PKI membuka pintu bagi masuknya seniman adalah "untuk memungkinkan suara para seniman disampaikan langsung kepada Parlemen adalah angin baru, angin jang segar didalam iklim politik ditanahair kita” .
Mereka lalu membanggakan sikap mereka itu dengan sikap partai politik yang lain yang menjadi seterunya. "Kalau saudara lihat daftar tjalon Masjumi misalnja, tak ada seorangpun seniman jang ditjalonkan. Mungkin partai itu beranggapan soal2 kesenian tidak penting bagi haridepan Indonesia. PSI, partai jang menamakan dirinja partai kaum intelektuil, rupa2nja djuga demikian terbatasnja pengertiannja terhadap soal2 kesenian, halmana terbukti dari kenjataan bahwa dari daftar tjalon2nja jang pandjang itu hanja ada seorang seniman jang diadjukan, jaitu Achdiat K Mihardja, pengarang roman ,,Atheis". (Harian Rakjat, 10-09-1955)
Affandi kita tahu tak menolak pinangan PKI yang memang saat itu menjadi partai yang sangat dinamis. Dalam perebutan kursi Konstituante, Affandi terpilih sebagai anggota parlemen dalam Pemilu 1955 bersama Sudjojono, Henk Ngantung, dan AS Dharta.
Pelukis Basuki Resobowo menuturkan bahwa di sidang Konstituante Affandi lebih banyak diam dan bahkan keterusan tidur. Namun ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Affandi berada di komisi Perikemanusiaan yang dipimpin Wikana, teman karib Affandi sejak sebelum Revolusi Agustus. "Kita bicara tentang Perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang Perikebinatangan?" demikianlah Affandi suatu ketika memulai orasinya. Tak ayal, yang mendengar pun ger-geran. Namun Affandi mengatakan itu dengan mimik serius karena ia pelukis yang cukup dekat dengan dunia binatang dan tetumbuhan.
Selain sebagai anggota parlemen dari Fraksi Komunis—yang kemudian dibubarkan Bung Karno menyusul Dekrit 1959, Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dia berada di bagian seni rupa (Lesrupa—Lembaga Seni Rupa) bersama antara lain Basuki Resobowo dan Henk Ngantung.
Menurut Basuki, Affandi bukan manusia politik. Jika berpolitik, sikapnya terlalu naif. Jika ia berpaling kepada rakyat karena jiwa filantropis saja. Dia kasihan kepada massa jelata karena hidupnya terus-terusan menderita yang tanpa diketahuinya bahwa kemiskinan itu disebabkan struktur sosial. Nah, pikiran Affandi itu tak sampai pada keyakinan bahwa harus ada perjuangan untuk merombak sistem masyarakat. Affandi, bersama Sudjojono, di dalam Lekra tetap digolongkan oleh orang-orang seperti Basuki ke dalam kelas manusia borjuis yang hanya menggebrak dan berteriak di lingkungan borjuisnya sendiri; melawan formalitas untuk mengejar kebebasan perseorangan, sebagaimana keyakinan orang-orang futuristik dalam senirupa.
“Affandi tanpa dimengertinya dan disadari telah menjadikan dirinya sebagai faktor penghambat lahirnya manusia baru di Indonesia, manusia yang tidak konyol dan tidak dekaden,” tulis Basuki Resobowo dalam Bercermin di Muka Kaca (cetak ulang Ombak, 2005).
Kejengkelan Basuki kepada kawan karibnya itu bisa dimengerti karena Affandi, sebagaimana digambarkan dalam sebuah video tentang Affandi yang diputar di Troppen Museum (Holland), tetap saja percaya pada mitos sewaktu mau melukis tari Barongan di Bali. Di sana Affandi digambarkan jongkok ngesot bertempuh dan menyembah kepada kepala upacara, lalu bersemadi, dan nyuntigkan bunga di kepala.
Politik berkesenian Affandi memang unik. Dia menjadi anggota fraksi PKI, tapi tidak kemudian menjadi seorang propagandis murni partai karena memang sebelum menjadi anggota Parlemen dan bergabung dengan Lekra, Affandi sudah punya nama besar. Gaya berkeseniannya pun tetap saja ekspreksionis. Gaya abstrak ini tak mudah dipahami oleh orang yang tidak akrab dengan seni lukis. Tentu saja ini “berlawanan” dengan arus besar perupa Lekra yang realis seperti Basuki Resobowo. Dengan jalan dan gaya itu ia kemudian mendapat julukan Maestro Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia. Gaya itu pula yang mengantarnya mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada 1974.
Dari Affandi, kita bisa melihat sisi lain gaya berkesenian aktivis Lekra dan sikap politik kesenian PKI yang selama ini beragam di internalnya. Namun isu keragaman itu kemudian ditekuk, sementara yang terus dikampanyekan adalah sosok seniman Lekra dan aktivis budaya PKI dengan setengah setan setengah manusia.
“Jalan Komunis” Affandi
Sosok Affandi memang sosok yang luwes dan “naif”. Dan justru “kenaifan”nya itu ia bisa diterima oleh banyak pihak. Oleh PKI, nama Affandi jelas diperhitungkan. Karena itu mereka bersatu suara untuk mempercayakan aspirasi mereka diwakili Affandi di Parlemen.
Sementara pada masa Orde Baru tatkala PKI dikubur hidup-hidup dan Lekra dirayah dihabisi, justru Affandi mendapatkan penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1969 serta pada 1978 dianugerahi Bintang Jasa Utama.
Dari sosok Affandi kemudian kita temukan dua jalan dari arus politik kebudayaan yang berseteru itu meluruh. Affandi menjadi pipa pertemuan dari sebuah toleransi kebudayaan yang disuburkan dengan dendam setelah PKI turun ke liang lahat.
Dan nama itu kemudian menjadi monumen baru setelah namanya dibaptis pemerintah menjadi sebuah nama jalan, yakni “Jalan Affandi” di Jogjakarta. Dan ini kali dalam sejarah, nama anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia dan sekaligus aktivis Lekra dijadikan nama sebuah jalan oleh pemerintah.
Paling tidak, konversi itu menabalkan bahwa “Jalan Gejayan” selain sebagai panggung ekonomi dan politik, juga oleh pemerintah menjadi panggung terbuka dilangsungkannya rujuk kebudayaan dan ideologi yang selama puluhan tahun berseteru.
* Esai ini dimuat di Harian Kompas Edisi 10 November 2007 atau bertepatan dengan ulang tahun ke-4 anak saya, Dipa Pinensula Whani. Saya dan anak saya membacanya pertama kali di pagi hari di sebuah parkiran di Jogja dan ia saya tawarkan hadiah ulang tahun. Ia meminta, bukan buku cerita, tapi kaos sepakbola dan kereta yang punya gerbong panjang-panjang sekaligus. Karena honor belum turun, gantinya adalah kunjungan gratis ke stasiun kecil di Kecamatan Gamping Jogja.
Saya belum mendapatkan apa alasan persisnya pemerintah mengganti nama jalan yang membentang dari utara (Jalan Lingkar Utara Condongcatur) ke selatan (di daerah Demangan, Jalan Solo/Adisutjipto) itu, kecuali bahwa hari itu dilangsungkan sebuah karnaval memperingati Seratus Tahun Affandi. Bahkan dalam proses tukar-ubah (convertion) itu tak ada misalnya semacam selebaran atau form penentuan pendapat rakjat (pepera), khususnya warga yang sudah tinggal di ruas jalan itu.
Jika jalan selama ini diyakini sebagai medan perbenturan kepentingan antara pemerintah yang menciptakan tertib sosial dan warga yang berpeluh-lelah setiap hari untuk mengais ceceran rezeki untuk bisa bertahan hidup, maka dalam proses tukar-ubah nama itu pemerintah memposisikan diri bertindak sebagai penafsir tunggal jalan itu.
Jalan raya kemudian bukan hanya sekadar tempat bagi orang-orang melintas atau distribusi barang, namun juga menjadi arena berlakunya kuasa-kuasa tertentu yang dilakukan rakyat jelata, pemilik modal, hingga pemerintah. Harga diri, kesopanan, uang, kekuatan gertak, ancaman, kekerasan, tipu-menipu, keramahan, serta tolong-menolong hadir bersama-sama di jalan raya. (Gunawan, 2000:3)
Ini kemudian mengukuhkan bahwa “jalanan” adalah panggung komunitas politik yang di atasnya seluruh kepentingan akan berbenturan dan saling mengait. Mengikuti kerangka Clifford Geertz dalam Politik Kebudayaan (1992) atas apa yang disebut politics of meaning, sejarah “Jalan Gejayan” bisa menjadi rujukan bagaimana panggung politik itu digelar. Menurut Geertz, kebudayaan tiada lain satu format pemaknaan yang memberi wujud baru atas pengalaman masyarakat. Adapun politik menjadi panggung atau lapangan bagaimana format itu dipraktikkan.
Sebelum krisis ekonomi dan politik menjelang akhir 1990-an, ruas Gejayan adalah panggung ekonomi dan pendidikan dengan empat kampus terletak di situ, yakni IKIP Jogja (sekarang UNY), Sanata Dharma, Atmajaya, dan UII (Fak Syariah). Tapi ketika tahun 1998, ruas jalan ini menggeser unsur ekonomi lebih ke pinggir dan sepenuhnya menjadikan politik sebagai sentral setelah sebelumnya termarjinalkan.
Puncak panggung politik itu terjadi pada 5 dan 8 Mei 1998 ketika ruas jalan ini lumpuh total ketika demonstrasi mahasiswa yang berlangsung dari siang hingga subuh berakhir ricuh. Selama pendudukan mahasiswa, pot-pot bunga dipecahkan, pepohonan diseret, gardu telepon digerayangi, lampu-lampu jalan ditekuk ke tanah, pembatas jalan dibongkar hingga jalan ini nyaris tak bisa dilewati kendaraan roda empat. Dan kejadian ini pula merenggut nyawa seorang warganya.
Dijadikannya “Jalan Gejayan” sebagai arena politik 1998 itu dipicu oleh sebuah benturan yang tak terdamaikan antara kepentingan politik pemerintah (tuntutan agar Presiden Soeharto turun) dan warganya (masyarakat kampus dan warga sekitarnya).
Kini, setelah sembilan tahun setelah peristiwa heroik itu, ruas “Jalan Gejayan” kembali menjadi panggung politik. Dan kali ini panggung politik kebudayaan berkait dengan konversi nama dari “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi”.
Politik Kebudayaan
Peristiwa konversi “Jalan Gejayan” menjadi “Jalan Affandi” bukan peristiwa kebudayaan biasa, tapi politik kebudayaan. Siapa pun yang mengikuti sejarah Affandi, pasti akan bertemu pada sebuah simpul, bahwa selain sebagai seniman lukis terkemuka, Affandi juga adalah aktivis politik, khususnya politik Partai Komunis Indonesia.
Bacalah halaman muka Harian Rakjat edisi 27 September 1955, tepatnya di bawah masshead-nya, tampak dari kiri ke kanan berjejer foto empat seniman yang dicalonkan PKI sebagai anggota parlemen: (1) Affandi, (2) S Sudjojono, (3) Henk Ngantung, (4) Basuki Resobowo. Foto itu disertai penjelasan profil mereka masing-masing satu paragraf.
Dalam keterangan PKI di edisi Harian Rakjat sebelumnya, 10 September 1955, ada sepuluh seniman yang mereka calonkan di mana mereka adalah "bukan seniman2 jang bisa dikatakan tidak berarti". Menempati urutan pertama adalah Affandi (pelukis). Berikutnya berturut-turut: S Sudjojono (pelukis), Basuki Resobowo (pelukis), Henk Ngantung (pelukis), A. S. Dharta (penyair), Hr. Bandaharo (penyair), Bakri Siregar (kritikus pengarang tonil dan cerita pendek), M Isa (pengarang cerita pendek), dan Hadi (penyair).
PKI sangat membanggakan sikap politik kebudayaan mereka yang longgar atas masuknya seniman-seniman. Partai ini memiliki sikap bahwa seniman yang memilih PKI berarti ada jaminan kebebasan mentjipta dan perbaikan sjarat2 bekerdja. Partai ini memang satu-satunya partai peserta pemilu 1955 yang memasukkan paling banyak seniman dalam pencalonannya, walau calon itu bukanlah anggota resmi partainya. PKI menyebut seniman-seniman yang mereka calonkan adalah “seniman2 tak berpartai kecuali Sudjojono” .
Alasan PKI membuka pintu bagi masuknya seniman adalah "untuk memungkinkan suara para seniman disampaikan langsung kepada Parlemen adalah angin baru, angin jang segar didalam iklim politik ditanahair kita” .
Mereka lalu membanggakan sikap mereka itu dengan sikap partai politik yang lain yang menjadi seterunya. "Kalau saudara lihat daftar tjalon Masjumi misalnja, tak ada seorangpun seniman jang ditjalonkan. Mungkin partai itu beranggapan soal2 kesenian tidak penting bagi haridepan Indonesia. PSI, partai jang menamakan dirinja partai kaum intelektuil, rupa2nja djuga demikian terbatasnja pengertiannja terhadap soal2 kesenian, halmana terbukti dari kenjataan bahwa dari daftar tjalon2nja jang pandjang itu hanja ada seorang seniman jang diadjukan, jaitu Achdiat K Mihardja, pengarang roman ,,Atheis". (Harian Rakjat, 10-09-1955)
Affandi kita tahu tak menolak pinangan PKI yang memang saat itu menjadi partai yang sangat dinamis. Dalam perebutan kursi Konstituante, Affandi terpilih sebagai anggota parlemen dalam Pemilu 1955 bersama Sudjojono, Henk Ngantung, dan AS Dharta.
Pelukis Basuki Resobowo menuturkan bahwa di sidang Konstituante Affandi lebih banyak diam dan bahkan keterusan tidur. Namun ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Affandi berada di komisi Perikemanusiaan yang dipimpin Wikana, teman karib Affandi sejak sebelum Revolusi Agustus. "Kita bicara tentang Perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang Perikebinatangan?" demikianlah Affandi suatu ketika memulai orasinya. Tak ayal, yang mendengar pun ger-geran. Namun Affandi mengatakan itu dengan mimik serius karena ia pelukis yang cukup dekat dengan dunia binatang dan tetumbuhan.
Selain sebagai anggota parlemen dari Fraksi Komunis—yang kemudian dibubarkan Bung Karno menyusul Dekrit 1959, Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dia berada di bagian seni rupa (Lesrupa—Lembaga Seni Rupa) bersama antara lain Basuki Resobowo dan Henk Ngantung.
Menurut Basuki, Affandi bukan manusia politik. Jika berpolitik, sikapnya terlalu naif. Jika ia berpaling kepada rakyat karena jiwa filantropis saja. Dia kasihan kepada massa jelata karena hidupnya terus-terusan menderita yang tanpa diketahuinya bahwa kemiskinan itu disebabkan struktur sosial. Nah, pikiran Affandi itu tak sampai pada keyakinan bahwa harus ada perjuangan untuk merombak sistem masyarakat. Affandi, bersama Sudjojono, di dalam Lekra tetap digolongkan oleh orang-orang seperti Basuki ke dalam kelas manusia borjuis yang hanya menggebrak dan berteriak di lingkungan borjuisnya sendiri; melawan formalitas untuk mengejar kebebasan perseorangan, sebagaimana keyakinan orang-orang futuristik dalam senirupa.
“Affandi tanpa dimengertinya dan disadari telah menjadikan dirinya sebagai faktor penghambat lahirnya manusia baru di Indonesia, manusia yang tidak konyol dan tidak dekaden,” tulis Basuki Resobowo dalam Bercermin di Muka Kaca (cetak ulang Ombak, 2005).
Kejengkelan Basuki kepada kawan karibnya itu bisa dimengerti karena Affandi, sebagaimana digambarkan dalam sebuah video tentang Affandi yang diputar di Troppen Museum (Holland), tetap saja percaya pada mitos sewaktu mau melukis tari Barongan di Bali. Di sana Affandi digambarkan jongkok ngesot bertempuh dan menyembah kepada kepala upacara, lalu bersemadi, dan nyuntigkan bunga di kepala.
Politik berkesenian Affandi memang unik. Dia menjadi anggota fraksi PKI, tapi tidak kemudian menjadi seorang propagandis murni partai karena memang sebelum menjadi anggota Parlemen dan bergabung dengan Lekra, Affandi sudah punya nama besar. Gaya berkeseniannya pun tetap saja ekspreksionis. Gaya abstrak ini tak mudah dipahami oleh orang yang tidak akrab dengan seni lukis. Tentu saja ini “berlawanan” dengan arus besar perupa Lekra yang realis seperti Basuki Resobowo. Dengan jalan dan gaya itu ia kemudian mendapat julukan Maestro Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia. Gaya itu pula yang mengantarnya mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada 1974.
Dari Affandi, kita bisa melihat sisi lain gaya berkesenian aktivis Lekra dan sikap politik kesenian PKI yang selama ini beragam di internalnya. Namun isu keragaman itu kemudian ditekuk, sementara yang terus dikampanyekan adalah sosok seniman Lekra dan aktivis budaya PKI dengan setengah setan setengah manusia.
“Jalan Komunis” Affandi
Sosok Affandi memang sosok yang luwes dan “naif”. Dan justru “kenaifan”nya itu ia bisa diterima oleh banyak pihak. Oleh PKI, nama Affandi jelas diperhitungkan. Karena itu mereka bersatu suara untuk mempercayakan aspirasi mereka diwakili Affandi di Parlemen.
Sementara pada masa Orde Baru tatkala PKI dikubur hidup-hidup dan Lekra dirayah dihabisi, justru Affandi mendapatkan penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1969 serta pada 1978 dianugerahi Bintang Jasa Utama.
Dari sosok Affandi kemudian kita temukan dua jalan dari arus politik kebudayaan yang berseteru itu meluruh. Affandi menjadi pipa pertemuan dari sebuah toleransi kebudayaan yang disuburkan dengan dendam setelah PKI turun ke liang lahat.
Dan nama itu kemudian menjadi monumen baru setelah namanya dibaptis pemerintah menjadi sebuah nama jalan, yakni “Jalan Affandi” di Jogjakarta. Dan ini kali dalam sejarah, nama anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia dan sekaligus aktivis Lekra dijadikan nama sebuah jalan oleh pemerintah.
Paling tidak, konversi itu menabalkan bahwa “Jalan Gejayan” selain sebagai panggung ekonomi dan politik, juga oleh pemerintah menjadi panggung terbuka dilangsungkannya rujuk kebudayaan dan ideologi yang selama puluhan tahun berseteru.
* Esai ini dimuat di Harian Kompas Edisi 10 November 2007 atau bertepatan dengan ulang tahun ke-4 anak saya, Dipa Pinensula Whani. Saya dan anak saya membacanya pertama kali di pagi hari di sebuah parkiran di Jogja dan ia saya tawarkan hadiah ulang tahun. Ia meminta, bukan buku cerita, tapi kaos sepakbola dan kereta yang punya gerbong panjang-panjang sekaligus. Karena honor belum turun, gantinya adalah kunjungan gratis ke stasiun kecil di Kecamatan Gamping Jogja.
08 November 2007
Tuhan Izinkan Aku Rajam Pelacur (4-terakhir)
oleh heri bahtiar, ss, m.si
Aku terlebih ngeri pada lengking amarahmu. “Semua lelaki adalah bangsat. Juga semua aturan yang mereka buat dengan membawa-bawa Tuhan dan agama. Nantikan kutukanku, lelaki”. Apakah agaknya, karena perempuan suka mengutuk itu lantas Tuhan tak pernah mengirimkan utusan dari jenis golonganmu? Tuhan mengutus rasul-Nya jelas melalui tujuan yang sepenuhnya hikmah, bukan karena prasangka bias gendermu yang naif, karena kompetisi kuasa atau permainan zero sum game dalam oposisi biner (binary opposition): harus lelaki atau perempuan saja yang dominan menghuni kolong langit ini.
Nidah, aku sama sekali tidak peduli dengan sumpah serapahmu itu, tetapi aku takut betul pada keperkasaan nafsu amarah! Bahkan amarahmu itu telah menutupi lelakonmu dari cara mengambil hikmah, dosa yang dihikmahi katamu. Apa mungkin? Sebab menurutku, salah satu adab menghikmahi dosa itu yang pertama-tama adalah dengan pertaubatan. Jika pertaubatan sudah diterima, maka masa lalu itu moga-moga bukan lagi disebut atau bermakna dosa lagi, atau lebih tepatnya bisa disebut bekas dosa. Tetapi apakah pernah terlintas di hatimu tentang pertaubatan?
Alih-alih berbicara tentang taubat, engkau malah berprentesi menjadi Dewi Api, yang panas amarahnya bisa menghanguskan biji-biji besi menjadi logam, katamu. Bagaimana mungkin menghikmahi dosa jika engkau masih senantiasa bangga hati dengannya. Sungguh amat jauh dengan panggang dari api. “Janganlah engkau mengaku beriman sedangkan engkau belum pernah menghadapi ujian yang berat.” Atau, engkau cobalah dengar, rasa penyesalan bakal menimpa para penghuni neraka, “Yaa laitani kuntu turoba…! (Duh, alangkah beruntungnya seandainya dulu aku diciptakan Allah menjadi hanya seberkas debu saja. Pasti beratnya penderitaan ini tidak bakalan menimpaku).
Nidah, sebetulnya aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri cerita dan contoh konkret kasusmu supaya aku bisa mengukur, apakah kau betul-betul mempersiapkan pilihan untuk sad ending (suul khotimah) ataukah happy ending full barakah (khusnul khatimah). Sebab, jika kuikuti pernyataanmu huruf demi huruf, menurut impresiku, dan semoga aku salah, engkau sedang menuju jalan sad ending. Apa memang begitukah maumu?
Aku juga ingin berdiskusi dengan temanmu yang membawa-bawa si “Deutch ubers all” Erich Fromm, tentang Tuhan alam dan Tuhan sejarah. Katanya, Tuhan alam dan Tuhan yang berada di tempat yang siapa pun tak bisa menjangkaunya atau bahkan kau dan aku sama sekali belum pernah memikirkannya. Sementara “Tuhan Sejarah” adalah Tuhan yang menyata, Tuhan yang merealitas, Tuhan yang hidup dalam tafsiran dan alam pikiran manusia” (Nidah; 14). Itu mengandung contraciditio in terminus, tidakkah kau mengerti? Betul konsep Erich tentang Tuhan alam, jika yang dimaksud itu ialah Allah yang “laisa kamislihi syaiun, wa huwa ‘ala kulli syaiin qadir” (Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu (QS.46:11).
Allah itu tidak ada sesuatu pun yang menyamainya, atau yang dalam term Jawa disebut “tan keno kinoyo ngopo” . Tidak memungkinkan terjadi pertanyaan, ”Tuhan itu seperti apa dan dimana”. Tetapi penyebutan Tuhan alam itu salah, sebab alam itu makhluk atau ciptaan, sedangkan Tuhan itu yang menciptakan makhluk atau alam (Khalik).
Sementara di sisi lain, konsepsi tentang Tuhan pada kebanyakan agama dan terutama pada agama ardhi (bumi), memang sebagainya merealitas. Tetapi ingatlah kau Nidah, ada konsep tentang Tuhan yang tidak merealitas, melainkan hanya tafsirannya saja yang merealitas objektif dan menyejarah. Dalam ajaran Islam, ada keyakinan prinsip bahwa, ”karena kita tidak tau apa pun tentang Allah, atau Allah itu tidak mungkin dipahami oleh manusia, maka Allah mengabarkan diri-Nya sendiri kepada manusia”.
Jadi di dalam ajaran Islam, ada konsep tentang Tuhan oleh Tuhan yang diwahyukan kepada manusia melalui perantaran Rosul-Nya. Nah, interpretasi tentang konsep Tuhan inilah menyejarah sesuai dengan tingkat pemahaman akal manusia yang tergantung skala spasi temporalnya pada konteks sejarah, budaya dan kemanusiaan.
Lantas, apa yang kau maksud tidak percaya lagi pada iman formal? Sebab semau agama mempunyai doktrin keimanan formal. Kalau begitu, apakah model keimananmu yang bukan iman formal itu semacam kaimanan tanpa terikat dengan agama tertentu seperti penghayat kepercayaan itu? Rasanya tidak Nidah, sebab seluruh term dan kosakatamu adalah Islam. Itulah tadi yang aku sebut dua bahaya darimu, pada “keberanian” dan tekadmu melawan iman formal.
Aku tidak terkejut mendengar kisahmu tentang esensi dan substansi kemanusiaan, yang kadang bertubrukan dengan performa sosial mereka. Sebab Tuhanku selama ini telah mengajariku bahwa keutamaan seseorang ini adalah pada taqwanya, dan hal itu terkadang terkesan saling menegasikan. Etos ascetisme atau kesalehan (al-zuhdu) terkadang berbenturan dengan status sosial ekonomi atau kode lain dalam stratifikasi sosial. Aku, kalau boleh ingin memberimu sumbang saran, sumbang pikiran, “Tolong menolonglah dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Menurutku permohonan izinmu untuk menjadi pelacur, itu sama sekali bukan sebuah permohonan. Sebab seperti argumenku di atas, hal itu lebih tepat disebut memaksa-maksai Tuhan, alangkah hebatnya engkau Nidah? Engkau memflait ac-compli Tuhan. Dalam konteks ayat di atas maka engkau melalui memoarmu itu nyata-nyata “telah bertolang-menolang” dalam dosa dan permusuhan. Barangsiapa membiarkan terjadinya maksiat padahal ada kuasa untuk menolaknya, maka ia berarti ambil bagian dalam dosa itu.
Nidah, sebagai pelengkap memoir-bandinganku ini, dalam pembicaraan-pembicaraan pada bab seterusnya, aku ingin mengajakmu mengurai benang masai pengalamanku, yang semoga pertama-tama bisa meneguhkan keyekinanku tentang betapa pentingnya menghikmahi pengalaman. Seterusnya kemudian, semoga bisa diambil i’tibar, entah betapa pun kecilnya, dari cara menghikmahi getirnya pengalaman itu. Terlebih,siapa tahu kita bisa mengamalkan ayat Gusti Allah yang lain, agar kita bisa saling “tawasau bil haqq watawasau bi al-shabr. Saling menasehati dengan keberanian dan sabar (QS.103:3).
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
Aku terlebih ngeri pada lengking amarahmu. “Semua lelaki adalah bangsat. Juga semua aturan yang mereka buat dengan membawa-bawa Tuhan dan agama. Nantikan kutukanku, lelaki”. Apakah agaknya, karena perempuan suka mengutuk itu lantas Tuhan tak pernah mengirimkan utusan dari jenis golonganmu? Tuhan mengutus rasul-Nya jelas melalui tujuan yang sepenuhnya hikmah, bukan karena prasangka bias gendermu yang naif, karena kompetisi kuasa atau permainan zero sum game dalam oposisi biner (binary opposition): harus lelaki atau perempuan saja yang dominan menghuni kolong langit ini.

Alih-alih berbicara tentang taubat, engkau malah berprentesi menjadi Dewi Api, yang panas amarahnya bisa menghanguskan biji-biji besi menjadi logam, katamu. Bagaimana mungkin menghikmahi dosa jika engkau masih senantiasa bangga hati dengannya. Sungguh amat jauh dengan panggang dari api. “Janganlah engkau mengaku beriman sedangkan engkau belum pernah menghadapi ujian yang berat.” Atau, engkau cobalah dengar, rasa penyesalan bakal menimpa para penghuni neraka, “Yaa laitani kuntu turoba…! (Duh, alangkah beruntungnya seandainya dulu aku diciptakan Allah menjadi hanya seberkas debu saja. Pasti beratnya penderitaan ini tidak bakalan menimpaku).
Nidah, sebetulnya aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri cerita dan contoh konkret kasusmu supaya aku bisa mengukur, apakah kau betul-betul mempersiapkan pilihan untuk sad ending (suul khotimah) ataukah happy ending full barakah (khusnul khatimah). Sebab, jika kuikuti pernyataanmu huruf demi huruf, menurut impresiku, dan semoga aku salah, engkau sedang menuju jalan sad ending. Apa memang begitukah maumu?
Aku juga ingin berdiskusi dengan temanmu yang membawa-bawa si “Deutch ubers all” Erich Fromm, tentang Tuhan alam dan Tuhan sejarah. Katanya, Tuhan alam dan Tuhan yang berada di tempat yang siapa pun tak bisa menjangkaunya atau bahkan kau dan aku sama sekali belum pernah memikirkannya. Sementara “Tuhan Sejarah” adalah Tuhan yang menyata, Tuhan yang merealitas, Tuhan yang hidup dalam tafsiran dan alam pikiran manusia” (Nidah; 14). Itu mengandung contraciditio in terminus, tidakkah kau mengerti? Betul konsep Erich tentang Tuhan alam, jika yang dimaksud itu ialah Allah yang “laisa kamislihi syaiun, wa huwa ‘ala kulli syaiin qadir” (Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu (QS.46:11).
Allah itu tidak ada sesuatu pun yang menyamainya, atau yang dalam term Jawa disebut “tan keno kinoyo ngopo” . Tidak memungkinkan terjadi pertanyaan, ”Tuhan itu seperti apa dan dimana”. Tetapi penyebutan Tuhan alam itu salah, sebab alam itu makhluk atau ciptaan, sedangkan Tuhan itu yang menciptakan makhluk atau alam (Khalik).
Sementara di sisi lain, konsepsi tentang Tuhan pada kebanyakan agama dan terutama pada agama ardhi (bumi), memang sebagainya merealitas. Tetapi ingatlah kau Nidah, ada konsep tentang Tuhan yang tidak merealitas, melainkan hanya tafsirannya saja yang merealitas objektif dan menyejarah. Dalam ajaran Islam, ada keyakinan prinsip bahwa, ”karena kita tidak tau apa pun tentang Allah, atau Allah itu tidak mungkin dipahami oleh manusia, maka Allah mengabarkan diri-Nya sendiri kepada manusia”.
Jadi di dalam ajaran Islam, ada konsep tentang Tuhan oleh Tuhan yang diwahyukan kepada manusia melalui perantaran Rosul-Nya. Nah, interpretasi tentang konsep Tuhan inilah menyejarah sesuai dengan tingkat pemahaman akal manusia yang tergantung skala spasi temporalnya pada konteks sejarah, budaya dan kemanusiaan.
Lantas, apa yang kau maksud tidak percaya lagi pada iman formal? Sebab semau agama mempunyai doktrin keimanan formal. Kalau begitu, apakah model keimananmu yang bukan iman formal itu semacam kaimanan tanpa terikat dengan agama tertentu seperti penghayat kepercayaan itu? Rasanya tidak Nidah, sebab seluruh term dan kosakatamu adalah Islam. Itulah tadi yang aku sebut dua bahaya darimu, pada “keberanian” dan tekadmu melawan iman formal.
Aku tidak terkejut mendengar kisahmu tentang esensi dan substansi kemanusiaan, yang kadang bertubrukan dengan performa sosial mereka. Sebab Tuhanku selama ini telah mengajariku bahwa keutamaan seseorang ini adalah pada taqwanya, dan hal itu terkadang terkesan saling menegasikan. Etos ascetisme atau kesalehan (al-zuhdu) terkadang berbenturan dengan status sosial ekonomi atau kode lain dalam stratifikasi sosial. Aku, kalau boleh ingin memberimu sumbang saran, sumbang pikiran, “Tolong menolonglah dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Menurutku permohonan izinmu untuk menjadi pelacur, itu sama sekali bukan sebuah permohonan. Sebab seperti argumenku di atas, hal itu lebih tepat disebut memaksa-maksai Tuhan, alangkah hebatnya engkau Nidah? Engkau memflait ac-compli Tuhan. Dalam konteks ayat di atas maka engkau melalui memoarmu itu nyata-nyata “telah bertolang-menolang” dalam dosa dan permusuhan. Barangsiapa membiarkan terjadinya maksiat padahal ada kuasa untuk menolaknya, maka ia berarti ambil bagian dalam dosa itu.
Nidah, sebagai pelengkap memoir-bandinganku ini, dalam pembicaraan-pembicaraan pada bab seterusnya, aku ingin mengajakmu mengurai benang masai pengalamanku, yang semoga pertama-tama bisa meneguhkan keyekinanku tentang betapa pentingnya menghikmahi pengalaman. Seterusnya kemudian, semoga bisa diambil i’tibar, entah betapa pun kecilnya, dari cara menghikmahi getirnya pengalaman itu. Terlebih,siapa tahu kita bisa mengamalkan ayat Gusti Allah yang lain, agar kita bisa saling “tawasau bil haqq watawasau bi al-shabr. Saling menasehati dengan keberanian dan sabar (QS.103:3).
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
07 November 2007
Tuhan Izinkan Aku Rajam Pelacur (3)
oleh heri bahtiar, ss, m.si
Nidah, tolong engkau berikan informasi tentang amal kebaikan apa yang engkau kerjakan sehingga Tuhan pantas memberimu dispensi yang tidak pernah Dia berikan kepada semua makhluk. Apakah engkau merasai dirimu sudah sedemikian hebat beramal, sehingga engkau pantas meminta sesuatu yang tidak pernah diberikan segenap makhluk, termasuk kepada para nabi dan Rosul, terutama kekasih-Nya, al-Mustafaa?
Alangkah berat pertanggungjawabanmu yang harus engkau pundak kelak di hadapan sidang yang mahadahsyat bagi semesta makhluk di padang mahsyar?
Cobalah diputar ulang apa katamu tentang Tuhan dan adab makhluk kepada-Nya,
Padahal engkau seorang muslimah, Nidah. Kalau engkau bukan seorang muslimah, barangkali aku tak lagi peduli. Sebab bisa jadi, di dalam agama lain di samping mainstream ritual, masih ada lagi ritual lain yang subsistem dan masih tetap dalam koridor doktrin agama itu. Tetapi engkau seorang muslimah, tidak ada lagi cara peribadatan di luar syariat.
Jangan turut pula engkau membelah-belahi agama ini, dengan menjadikan Islam menjadi dua model: Makkah dan Madinah. Sebab dalam proses yang linear secara temporal, ujung yang satu dipastikan menyentuh dan berimplikasi pada ujng lainnya. Sungguh, ujianmu pada satu sisi terasa sangat berat menghimpit, namun begitu, bukan berarti jika hanya karena engkau belum bisa lulus melaluinya, lantas membuatmu boleh mempersetankan seluruh ujian. Kalau salah satu tiang rumahmu keropos tidak bijak merobohkan selurah bangun dan sruktur rumah bukan, Nidah?
Terminologi Islam yang kau pakai melukai rasa hati umat Islam, harap kau ingat, bahkan sangat-sangat mengoyak nurani hingga ke dalam mimpi tidurku. Bukan, bukan Tuhan yang kau sayat-sayat sembilu, tapi aku yang pertama-tama luka. ”Kau pukul Dia terasa aku” Aku yang “Dia cipta dari shurah-Nya dan Dia beri ruh dari nafas-Nya, QS.65,29;38,72”
Ataukah engkau memang betul-betul tidak mau terikat dengan seluruh agama, dan oleh karenanya dengan Tuhan?
Aku meragukanmu, kalau-kalau engkau punya keberanian seorang atheis. Bagiku justru sederhana permasalahan jika engkau memproklamirkan diri menjadi seorang atheis, tidak percaya sama sekali dengan Tuhan. Atau, juga seandainya kau malah tak percaya, bahkan hanya dalam konsep tentang Tuhan sekalipun. Tak ada term atheis dalam desah dan keluh protesmu. Justru sebaliknya, seluruh pemberontakanu memakai terminologi Islam. Sepertinya tidak ada bakat dan titisan Nietsze, yang telah membunuh Tuhan dengan tangannya sembari mengatakan, “Tuhan telah mati dan akulah pembunuhnya!”, dalam amarahmu.
Tidak Nidah, terhadap orang atheis begitu aku tak perlu cemas betul. Sebab, mereka hanya punya satu pintu bahaya. Tetapi orang sepertimu, punya dua sisi bahaya: di satu sisi mirip orang atheis dengan segala perilaku marabahayanya, sementara di sisi lainnya engkau seorang muslimah yang berpotensi meruntuhkan surau orang Islam dari dalam. (Bacalah Achdiat K Miharja dalam Robohnya Surau Kami). Karena protesmu yang cenderung ”sekali serang, dua kali luka” itu antara lain, yang juga meneguhkan tekadku untuk ber-tabayyun (klarifikasi) padamu. Supaya orang-orang yang tidak punya bakat keberanian, misalnya seperti aku, tidak terkena dampak “suduk gunting, tatu loro” , kata orang Jawa. Meskipun hanya secara psikologis. Tetapi sungguh, itu sangat menghentak dan menghimpit dada hingga di puncak malam.
Sekarang kembali pada seputar ending yang engkau inginkan. Jika dalam Islam (verbal katamu) terdapat ayat, ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengubahnya sendiri” (QS.13:11), sama saja, dalam proses pergulatanmu itu juga terdapat hal yang sama. Di atas, sebelumnya sudah aku katakan, route perjalananmu itu mengandung dua potensi ending: happy dan sad ending. Kalau engkau berpretensi menjadi phlawan dengan cara seolah menjadi pendengar atau bahkan pembela kaum yang terpinggirkan, meski yang kau sebut kelompok atau kaum itu adalah iblis, aku takut engkau sedang berpretensi menjadi pahlawan kesiangan. Coba aku nukil tuturanmu,
Aku takut, sungguh! Rasa takutku ini lebih-lebih lagi dibandingkan ketakutanku yang lain Nidah, pernyataan pembelaanmu yang heroik terhadap iblis itu jangan-jangan hanyalah argumen rasionalmu saja untuk mengalihkan kelemahan izah dan muru’ah-mu dalam menjaga martabat, mengobral libido syahwatmu. Sampai-sampai kau sujudi dengan tuma’ninah ideologi falusisme, (phallus;dzakar) karena pada hakekatnya jiwa manusia yang lemah dan rapuh, harap kau mengerti, senantiasa memerlukan sesuatu yang kuat.
Engkau yang seolah batu padas dan dewi api, Nidah, mengapa begitu tega menghinakan diri mensujudi “kubah candi” Prambanan atau juga “Borobudur” yang sangat artifisial? Kalau engkau sampai pada pengagungan dan pemujaan terhadap hidup itu sendiri sebagaimana Hindu-Budhis, masih mending. Tidak sedikit pemeluk Hindu-Budha yang karena penghayatan dan penyembahannya terhadap hidup yang tulus, moga-moga sampai pula Kepada Yang Maha Hidup dan tidak berhenti sebatas ritual pemujaan pada kubah Borobudur di dada kaummu dan puncak Prambanannya lelaki.
Jangankan Tuhan, Nidah, ibu-bapakmu yang menjadi sebab hidupmu, bagaimanakah rasa-rasanya jika kau hujat juga dengan bertanya mengapa mereka mengundangmu hadir di dunia yang kusut masai ini? Namun begitu, sunnatullah tetap saja tidak berubah, muslihat iblis yang engkau bela-bela itu, ujung-ujungnya engkau nyalakan neraka jahim, yang kadang sudah kau cicipi sendiri di dunia ini, di dalam dadamu sendiri. Apa kau sungguh-sungguh bermaksud begitu? Belum cukupkah kiranya AIDS menjadi peringatan bagimu dan kaum fallusis lain?
Kalau engkau ingin belajar bertauhid secara benar, berpura-puralah menjadi iblis. Tetapi engkau tetap seorang manusia. Artinya, jika engkau manusia tetapi berperilaku iblis kau salah. Tetapi bahwa salah satu interprestasi iblis terhadap perintah tauhid, berpeluang benar, itu sangat rasional. Hanya saja sekali lagi, engkau masih seorang manusia yang terbatasi oleh dimensi ruang-waktu sejarah dan juga oleh syariat. Bukankah dia sudah diberi izin oleh Allah untuk menggoda manusia dari depan, belakang, samping, atas, dan bawah? Jangan-jangan memang demikian peribadatan si iblis: menggelincirkan manusia, sedangkan peribadatan manusia yaitu bertahan dari godaan iblis.
Masing-masing tentu saja punya reward dan punishmentnya. Manusia yang berhasil dapat reward berupa surga, dan iblis yang “berhasil” juga diberi surga. Salah satu pemahaman para mistis tentang surganya iblis adalah, ya neraka itu. Karena iblis terbuat dari api, maka jika ia kembali ke dalam neraka itu berarti ia kembali ke “surga” nya, sebanding dengan manusia yang berhasil masuk surga. Jika logika ini digoncang, misalnya olehmu, maka dosamu bahkan melebihi dosa manusia dan dosa iblis itu sendiri.
Sekedar penegasan, Allah berfirman “Wala tattabi’u khutuwatis syaitan. Innahu lakum ‘aduwwummubin.” [Dan janganlah engkau turuti khutuwath (garis komando; ajakan; perintah; bisikan) syaitan. Sesungguhnya syaithan itu (memang diberi izin menjadi) musuh yang nyata bagimu] (QS. 2:142; 24:21).
Atau renungkanlah hikmah baik dan buruk dalam semesta realis obyektif, dan sebagai salah satu tawaran rumusan barangkali kau perlu buka buku Merindui-Mu seperti akau nukil ini:
Alinea terakhir kutipan itulah sesungguhnya yang menjadi rahasia kehidupan ini secara keseluruhan. “Kualitas intrinsik meskipun secara kualitatif pasti lebih dominan.” Aku ingin mengingatkanmu, bahwa pembelaanmu yang membabi buta pada kelompok terpinggirkan semisal iblis, akan membuat hati banyak pencinta semakin merana, Nidah. Sebab engkau bukan hanya mengikuti jejak kegelapan, melainkan juga, dengan gaya bahasamu itu, engkau hanya menyiar-nyiarkan dan atau menjadi penganjur kegelapan. (Bersambung)
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
Nidah, tolong engkau berikan informasi tentang amal kebaikan apa yang engkau kerjakan sehingga Tuhan pantas memberimu dispensi yang tidak pernah Dia berikan kepada semua makhluk. Apakah engkau merasai dirimu sudah sedemikian hebat beramal, sehingga engkau pantas meminta sesuatu yang tidak pernah diberikan segenap makhluk, termasuk kepada para nabi dan Rosul, terutama kekasih-Nya, al-Mustafaa?

Cobalah diputar ulang apa katamu tentang Tuhan dan adab makhluk kepada-Nya,
”Kau tak percaya dengan ibadah iman dan agama,juga termasuk konsep cinta, nikah dan lelaki lantaran kau pernah dikecewakan olah semua-mua hal itu. Hingga Tuhan pun tak kau sujudi lagi” (Nidah; 10)
Padahal engkau seorang muslimah, Nidah. Kalau engkau bukan seorang muslimah, barangkali aku tak lagi peduli. Sebab bisa jadi, di dalam agama lain di samping mainstream ritual, masih ada lagi ritual lain yang subsistem dan masih tetap dalam koridor doktrin agama itu. Tetapi engkau seorang muslimah, tidak ada lagi cara peribadatan di luar syariat.
Jangan turut pula engkau membelah-belahi agama ini, dengan menjadikan Islam menjadi dua model: Makkah dan Madinah. Sebab dalam proses yang linear secara temporal, ujung yang satu dipastikan menyentuh dan berimplikasi pada ujng lainnya. Sungguh, ujianmu pada satu sisi terasa sangat berat menghimpit, namun begitu, bukan berarti jika hanya karena engkau belum bisa lulus melaluinya, lantas membuatmu boleh mempersetankan seluruh ujian. Kalau salah satu tiang rumahmu keropos tidak bijak merobohkan selurah bangun dan sruktur rumah bukan, Nidah?
Terminologi Islam yang kau pakai melukai rasa hati umat Islam, harap kau ingat, bahkan sangat-sangat mengoyak nurani hingga ke dalam mimpi tidurku. Bukan, bukan Tuhan yang kau sayat-sayat sembilu, tapi aku yang pertama-tama luka. ”Kau pukul Dia terasa aku” Aku yang “Dia cipta dari shurah-Nya dan Dia beri ruh dari nafas-Nya, QS.65,29;38,72”
Ataukah engkau memang betul-betul tidak mau terikat dengan seluruh agama, dan oleh karenanya dengan Tuhan?
Aku meragukanmu, kalau-kalau engkau punya keberanian seorang atheis. Bagiku justru sederhana permasalahan jika engkau memproklamirkan diri menjadi seorang atheis, tidak percaya sama sekali dengan Tuhan. Atau, juga seandainya kau malah tak percaya, bahkan hanya dalam konsep tentang Tuhan sekalipun. Tak ada term atheis dalam desah dan keluh protesmu. Justru sebaliknya, seluruh pemberontakanu memakai terminologi Islam. Sepertinya tidak ada bakat dan titisan Nietsze, yang telah membunuh Tuhan dengan tangannya sembari mengatakan, “Tuhan telah mati dan akulah pembunuhnya!”, dalam amarahmu.
Tidak Nidah, terhadap orang atheis begitu aku tak perlu cemas betul. Sebab, mereka hanya punya satu pintu bahaya. Tetapi orang sepertimu, punya dua sisi bahaya: di satu sisi mirip orang atheis dengan segala perilaku marabahayanya, sementara di sisi lainnya engkau seorang muslimah yang berpotensi meruntuhkan surau orang Islam dari dalam. (Bacalah Achdiat K Miharja dalam Robohnya Surau Kami). Karena protesmu yang cenderung ”sekali serang, dua kali luka” itu antara lain, yang juga meneguhkan tekadku untuk ber-tabayyun (klarifikasi) padamu. Supaya orang-orang yang tidak punya bakat keberanian, misalnya seperti aku, tidak terkena dampak “suduk gunting, tatu loro” , kata orang Jawa. Meskipun hanya secara psikologis. Tetapi sungguh, itu sangat menghentak dan menghimpit dada hingga di puncak malam.
Sekarang kembali pada seputar ending yang engkau inginkan. Jika dalam Islam (verbal katamu) terdapat ayat, ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengubahnya sendiri” (QS.13:11), sama saja, dalam proses pergulatanmu itu juga terdapat hal yang sama. Di atas, sebelumnya sudah aku katakan, route perjalananmu itu mengandung dua potensi ending: happy dan sad ending. Kalau engkau berpretensi menjadi phlawan dengan cara seolah menjadi pendengar atau bahkan pembela kaum yang terpinggirkan, meski yang kau sebut kelompok atau kaum itu adalah iblis, aku takut engkau sedang berpretensi menjadi pahlawan kesiangan. Coba aku nukil tuturanmu,
”Aku ingin mengimami iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satu pun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang tersingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu. Supaya keseimbangan informasi.” (Nidah:11)
Aku takut, sungguh! Rasa takutku ini lebih-lebih lagi dibandingkan ketakutanku yang lain Nidah, pernyataan pembelaanmu yang heroik terhadap iblis itu jangan-jangan hanyalah argumen rasionalmu saja untuk mengalihkan kelemahan izah dan muru’ah-mu dalam menjaga martabat, mengobral libido syahwatmu. Sampai-sampai kau sujudi dengan tuma’ninah ideologi falusisme, (phallus;dzakar) karena pada hakekatnya jiwa manusia yang lemah dan rapuh, harap kau mengerti, senantiasa memerlukan sesuatu yang kuat.
Engkau yang seolah batu padas dan dewi api, Nidah, mengapa begitu tega menghinakan diri mensujudi “kubah candi” Prambanan atau juga “Borobudur” yang sangat artifisial? Kalau engkau sampai pada pengagungan dan pemujaan terhadap hidup itu sendiri sebagaimana Hindu-Budhis, masih mending. Tidak sedikit pemeluk Hindu-Budha yang karena penghayatan dan penyembahannya terhadap hidup yang tulus, moga-moga sampai pula Kepada Yang Maha Hidup dan tidak berhenti sebatas ritual pemujaan pada kubah Borobudur di dada kaummu dan puncak Prambanannya lelaki.
Jangankan Tuhan, Nidah, ibu-bapakmu yang menjadi sebab hidupmu, bagaimanakah rasa-rasanya jika kau hujat juga dengan bertanya mengapa mereka mengundangmu hadir di dunia yang kusut masai ini? Namun begitu, sunnatullah tetap saja tidak berubah, muslihat iblis yang engkau bela-bela itu, ujung-ujungnya engkau nyalakan neraka jahim, yang kadang sudah kau cicipi sendiri di dunia ini, di dalam dadamu sendiri. Apa kau sungguh-sungguh bermaksud begitu? Belum cukupkah kiranya AIDS menjadi peringatan bagimu dan kaum fallusis lain?
Kalau engkau ingin belajar bertauhid secara benar, berpura-puralah menjadi iblis. Tetapi engkau tetap seorang manusia. Artinya, jika engkau manusia tetapi berperilaku iblis kau salah. Tetapi bahwa salah satu interprestasi iblis terhadap perintah tauhid, berpeluang benar, itu sangat rasional. Hanya saja sekali lagi, engkau masih seorang manusia yang terbatasi oleh dimensi ruang-waktu sejarah dan juga oleh syariat. Bukankah dia sudah diberi izin oleh Allah untuk menggoda manusia dari depan, belakang, samping, atas, dan bawah? Jangan-jangan memang demikian peribadatan si iblis: menggelincirkan manusia, sedangkan peribadatan manusia yaitu bertahan dari godaan iblis.
Masing-masing tentu saja punya reward dan punishmentnya. Manusia yang berhasil dapat reward berupa surga, dan iblis yang “berhasil” juga diberi surga. Salah satu pemahaman para mistis tentang surganya iblis adalah, ya neraka itu. Karena iblis terbuat dari api, maka jika ia kembali ke dalam neraka itu berarti ia kembali ke “surga” nya, sebanding dengan manusia yang berhasil masuk surga. Jika logika ini digoncang, misalnya olehmu, maka dosamu bahkan melebihi dosa manusia dan dosa iblis itu sendiri.
Sekedar penegasan, Allah berfirman “Wala tattabi’u khutuwatis syaitan. Innahu lakum ‘aduwwummubin.” [Dan janganlah engkau turuti khutuwath (garis komando; ajakan; perintah; bisikan) syaitan. Sesungguhnya syaithan itu (memang diberi izin menjadi) musuh yang nyata bagimu] (QS. 2:142; 24:21).
Atau renungkanlah hikmah baik dan buruk dalam semesta realis obyektif, dan sebagai salah satu tawaran rumusan barangkali kau perlu buka buku Merindui-Mu seperti akau nukil ini:
Si Salik yang menekuni ilmu fisika ingin mengetahui rahasia cahaya. Ia merubah dirinya menjadi sebutir partikel dan bergaul dengan ion-ion.
“Menurutku aku lebih utama dari apapun karena eksestensiku membuat manusia faham tentang banyak hal. Dalam terang segala sesuatu jadi mungkin terdefinisikan. Apa pendapatmu?”
Tanya terang kepada gelap.
“Aku tidak yakin,” bantah gelap. “Sebab engkau dikenal lantaran aku ada. Tanpa gelap, terang tidak dikenal. Oleh karena itu akulah, yang menjadi proposisi sehingga kau dikenal, yang lebih utama.”
“Mana mungkin begitu! Apakah kau juga akan menganjurkan supaya kegelapan-mu diperbanyak, karena lebih utama? Kalau begitu kau akan membuat hati banyak pencinta semakin merana.”
“Oh…! Jangan salah mengerti. Banyak dan sedikit itu masalah kuantitas, sedang utama dan tidak itu kualitas. Meskipun keduanya berbeda tetapi Sang Sutradara sering mengutamakan kualitas dari kuantitas. Jadi biar terang semakin nyata kualitas intrinsiknya, gelap sering lebih dominan secara kuantitatif.”
Alinea terakhir kutipan itulah sesungguhnya yang menjadi rahasia kehidupan ini secara keseluruhan. “Kualitas intrinsik meskipun secara kualitatif pasti lebih dominan.” Aku ingin mengingatkanmu, bahwa pembelaanmu yang membabi buta pada kelompok terpinggirkan semisal iblis, akan membuat hati banyak pencinta semakin merana, Nidah. Sebab engkau bukan hanya mengikuti jejak kegelapan, melainkan juga, dengan gaya bahasamu itu, engkau hanya menyiar-nyiarkan dan atau menjadi penganjur kegelapan. (Bersambung)
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
06 November 2007
The NameSake
Saya belum membaca novel Jhumpa Lahiri yang
berjudul The Namesake. Udah diterjemahin penerbit Gramedia
dan juga udah diresensi di Kompas. Ini mungkin kecerobohan. Karena setelah
nonton film ini pasti deh saya akan malas sekali membaca bukunya. Soalnya,
ketika membaca buku setelah menonton filmnya, pembayangan nggak enak. Agak
mampet. Wajah dan karakter tokoh-tokoh yang ada di film menjadi sangat dominan jadinya
dalam pikiran. Pada akhirnya terbalik deh. Film itu kemudian yang
"mendikte".
Tapi tentang gaya bercerita dan tema yang
diusung Jhumpa Lahiri, saya sudah agak akrab. Saya pernah membaca karyanya yang
lain yang menang Booker Prize taon 2000. Kumpulan cerita, The
Interpreter of Maladies. Lahiri bukan pencerita yang gamblang sih
menurut saya. Dia bahkan bertele-tele. Jangan harap ada hal-hal mahadahsyat di
ceritanya. Tema yang digarapnya dengan suntuk ya soal sehari-hari. Benda-benda
sepele. Makanan. Kadang masalah sepatu gaya Eropa dan sandal habitus India.
Arie, Kasian Amat Lu Jadi Anak
Sutradara: Frank Rorimpandey; Pemain: Deddy Mizwar, Joice Erna, Yan Cherry Budianto, Cok Simbara; Skenario: Arswendo Atmowiloto; Produksi: PT Manggala Perkasa FIlm dan Tobali Indah Film.
Film Arie Hanggara (1985), menurut data yang ditulis di belakang CD-nya, adalah kisah yang diputar dengan sorot balik. Maksudnya, prosesi pekuburan dan pengadilan bapaknya si Ari dulu ditampilkan, baru menyusul cerita bagaimana rangsang penyiksaan Ari lewat adegan rekonstruksi. Tahu apa yang terjadi saat saya menonton film itu sewaktu saya duduk di kelas tiga SD di bioskop tua kampung saya, Tondo, Sirenja, Donggala (Pantai Barat), Sulawesi Tengah sana? Saya nyaris tak menikmati film ini. Maksudnya menangis ria berjamaah bersama penonton yang lainnya. Saya bingung dan kebingungan itu terus mengganjal di setiap pergantian rol. Saya menggerutu jangan2 pembawa rol film ini—yang biasanya naik film jenis enduro kayak motor balapan—salah ngambil karena pingin cepat-cepat atau ceroboh. Soalnya, mosok dikubur mati dulu baru ada penyiksaan. Yang benar kan ya disiksa dulu baru mati. Iya kan?
05 November 2007
Tuhan Izinkan Aku Rajam Pelacur (2)
oleh heri bahtiar, ss, m.si
Nidah, kalau engkau sudah mengerjakan sesuatu dan engkau baru memohon izin, menurutku itu namanya memperkosa Tuhan. Tidak ingatkah engkau bahwa larangan berzina itu telah Dia sabdakan dalam al-Quran sejak 15 abad lalu? Atau bahkan dalam kitab suci lain yang telah berabad-abad lamanya sebelum itu, zina juga sudah diharamkan. Kalau begitu, permohonan izin melacurmu itu, sesudah jelas ada larangan atau tidak? Apakah engkau pun sengaja memaksa-maksai Tuhan, tidak peduli Tuhan alam atau Tuhan sejarah, sesuai pendapat temanmu itu.
Tidak bijaksana menurutku, kalau kau berkesimpulan, karena tak ada seorang makhluk pun yang tidak melacur: entah itu melacurkan jiwanya, roh, ilmu, profesi, atau kekuasaannya, maka engkau pun sepenuh-penuh hati menjadi seorang pelacur. Semua jenis pelacur dan pelacurnya jelas tidak baik, tetapi terutama dan pertama-tama yang dilarang dalam kitab suci adalah melacurkan tubuh ragawimu itu. Hujatanmu terhadap laki-laki, nikah, dan kesucian yang dilembagakan di dalam keluarga yang kau cabik-cabik dan kau kunyah-kunyah, aku khawair hanya merupakan tipu daya akal dan libidomu belaka dan itu kau ekspresikan lewat tulisanmu.
Sebagai bukti asumsiku mengenai itu ternyata, konsepmu tentang ayah, di sisi lain, juga ibu, anak, dan adik-kakak yang di Los Angeles serta membiayai obat orangtuamu yang sakit parah katamu, masih kau setiai. Bukankah salah satu tujuan nikah supaya perkerabatan bisa didefinisikan, Nidah. Apa penjelasanmu tentang ini?
Imam Ja’far Ashshadiq pernah memberi pertanyaan kepada Imam Abu Hanifah, muridnya yang sangat cerdas dan kelak menjadi salah satu Imam Madzab Fiqh besar (Madzab Hanafi), “Besar mana membunuh dan berzina?” Secara fiqhiyyah Abu Hanifah menjawab, di antara dosa keduanya yang paling besar adalah dosa membunuh. Tetapi Imam Ja’far memberi argumentasi yang secara subtansial berlawanan dengan itu, “Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, empat saksi untuk zina. Anda gunakan qiyas di sini?” (Abdul Halim Jundi, Rakhmat, 1988: 230). Pembunuhan menghentikan kehidupan-nya, dosa antara pembunuh dan terbunuhnya secara langsung akan cenderung berhenti, sementara penzina dan janin baru memulai kehidupan, sehingga dosa langsungnya bisa jadi baru saja dimulai, entah sampai kapan akan berakhir.
(Aku tidak mengerti, bagaimana pula caramu bersiasat supaya tidak hamil itu; atau sudah berapa janinkah yang kau rampas hidupnya?). Kau tak pernah dengarkah: ”Barangsiapa membunuh seseorang (saja) itu sama artinya dengan membunuh selaruh manusia, dan barangsiapa menghidupkan seorang manusia itu sama artinya dengan menghidupkan keseluruhan manusia.” (QS. 5:32)
Siapa pun yang pernah membaca ceracau dalam memoarmu, Nidah, seyogyanya memperoleh pembelaan dan second opinion (bandingkan). Sebab sekali lagi, di samping gaya tuturanmu yang melingkar-lingkar dan provokatif-sugestif sangat memerlukan bandingan, terutama sekali asumsi-asumsi berpikir eksistensialismu sangat “merepotkan”. Aku sebut merepotkan karena dalam tradisi logika berpikir yang benar, setiap asumsi harus bisa diuji dan diverifikasi sehingga menjadi suatu sikap dasar pikir logis (tesis; premis) yang bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam tradisi Post-Mo dan Dekontruksi sekalipun.
Memoarmu itu, sungguh Nidah, mengandung sesuatu yang “serius” untuk diberi bandingan, akan tetapi karena telah dipenuhi kunci-mati dan maaf, kusut, maka simpul-simpul memoarmu sudah diurai untuk diberi syarah berupa second opinion. Meskipun sebetulnya tetap saja, tanggung jawab suatu amal atau pekerjaan masih ada pada pribadi-pribadi, termasuk pribadimu, sesuai dengan suasana akal dan hati seseorang. Bukanlah “laisa lil insani illa ma sa’a”, Tidaklah dimintai pertanggung-jawaban seseorang itu kecuali apa yang ia kerjakan (QS.53:9).
Dalam kerangka memberi data (bandingkan) ke otak dan hati itulah tujuan risalah ini antara lain, dibuat. (Bersambung)
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
Nidah, kalau engkau sudah mengerjakan sesuatu dan engkau baru memohon izin, menurutku itu namanya memperkosa Tuhan. Tidak ingatkah engkau bahwa larangan berzina itu telah Dia sabdakan dalam al-Quran sejak 15 abad lalu? Atau bahkan dalam kitab suci lain yang telah berabad-abad lamanya sebelum itu, zina juga sudah diharamkan. Kalau begitu, permohonan izin melacurmu itu, sesudah jelas ada larangan atau tidak? Apakah engkau pun sengaja memaksa-maksai Tuhan, tidak peduli Tuhan alam atau Tuhan sejarah, sesuai pendapat temanmu itu.

Sebagai bukti asumsiku mengenai itu ternyata, konsepmu tentang ayah, di sisi lain, juga ibu, anak, dan adik-kakak yang di Los Angeles serta membiayai obat orangtuamu yang sakit parah katamu, masih kau setiai. Bukankah salah satu tujuan nikah supaya perkerabatan bisa didefinisikan, Nidah. Apa penjelasanmu tentang ini?
Imam Ja’far Ashshadiq pernah memberi pertanyaan kepada Imam Abu Hanifah, muridnya yang sangat cerdas dan kelak menjadi salah satu Imam Madzab Fiqh besar (Madzab Hanafi), “Besar mana membunuh dan berzina?” Secara fiqhiyyah Abu Hanifah menjawab, di antara dosa keduanya yang paling besar adalah dosa membunuh. Tetapi Imam Ja’far memberi argumentasi yang secara subtansial berlawanan dengan itu, “Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, empat saksi untuk zina. Anda gunakan qiyas di sini?” (Abdul Halim Jundi, Rakhmat, 1988: 230). Pembunuhan menghentikan kehidupan-nya, dosa antara pembunuh dan terbunuhnya secara langsung akan cenderung berhenti, sementara penzina dan janin baru memulai kehidupan, sehingga dosa langsungnya bisa jadi baru saja dimulai, entah sampai kapan akan berakhir.
(Aku tidak mengerti, bagaimana pula caramu bersiasat supaya tidak hamil itu; atau sudah berapa janinkah yang kau rampas hidupnya?). Kau tak pernah dengarkah: ”Barangsiapa membunuh seseorang (saja) itu sama artinya dengan membunuh selaruh manusia, dan barangsiapa menghidupkan seorang manusia itu sama artinya dengan menghidupkan keseluruhan manusia.” (QS. 5:32)
Siapa pun yang pernah membaca ceracau dalam memoarmu, Nidah, seyogyanya memperoleh pembelaan dan second opinion (bandingkan). Sebab sekali lagi, di samping gaya tuturanmu yang melingkar-lingkar dan provokatif-sugestif sangat memerlukan bandingan, terutama sekali asumsi-asumsi berpikir eksistensialismu sangat “merepotkan”. Aku sebut merepotkan karena dalam tradisi logika berpikir yang benar, setiap asumsi harus bisa diuji dan diverifikasi sehingga menjadi suatu sikap dasar pikir logis (tesis; premis) yang bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam tradisi Post-Mo dan Dekontruksi sekalipun.
Memoarmu itu, sungguh Nidah, mengandung sesuatu yang “serius” untuk diberi bandingan, akan tetapi karena telah dipenuhi kunci-mati dan maaf, kusut, maka simpul-simpul memoarmu sudah diurai untuk diberi syarah berupa second opinion. Meskipun sebetulnya tetap saja, tanggung jawab suatu amal atau pekerjaan masih ada pada pribadi-pribadi, termasuk pribadimu, sesuai dengan suasana akal dan hati seseorang. Bukanlah “laisa lil insani illa ma sa’a”, Tidaklah dimintai pertanggung-jawaban seseorang itu kecuali apa yang ia kerjakan (QS.53:9).
Dalam kerangka memberi data (bandingkan) ke otak dan hati itulah tujuan risalah ini antara lain, dibuat. (Bersambung)
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
03 November 2007
Tuhan Izinkan Aku Rajam Pelacur (1)
::oleh heri bahtiar, ss, m.si
Nidah, makhluk mana pun engkau, begitu buku ”best seller”mu sampai di tanganku 2003-an lalu, hatiku terasa teraduk-aduk.Di samping ada banyak sekali hal yang aku setujui darimu, tetapi barangkali lebih banyak lagi yang aku tidak sejui. Oleh karena itu, seusai halaman terakhir bukumu aku tutup tanganku sudah terasa gatal di ujung keyboard komputer bututku untuk membalasi suratmu itu.
Meski berbeda keyakinan, tetapi tidak ada salahnya kita berperilaku dewasa, laiknya etika orang-orang dewasa lainnya di dunia beradab. Tidak perlu keluh tertahan, caci maki apalagi umpatan dan sumpah serapah. Supaya anak beranak kita, jadi generasi baru di negeri ini kelak, terbiasa menyelesaikan masalah dengan menulis buku. Makanya, aku tulis memoar-autobiografi kecil ini, supaya menjadi penyeimbang dari ekspresi pemberontakanmu, meskipun sesungguhnya aku masih juga tidak yakin, engkau “berani” secara satria meminta izin kepada-Nya untuk menjadi “pemberontak”.
Sebab, pemberontakan akan berarti permintaan izin menjadi penghuni neraka Jahanam; sudah engkau pikir betulkah niatmu menantang-nantang Tuhan menjadi nabi kejahatan? Kalau itu maumu, sama saja engkau minta izin atau tidak. Jahanam yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali, memang disediakan untuk orang ”pemberani”seperti itu. Lamat-lamat aku dengar si Salman “Satanic Verses” Rusdhie, apakah itu engkau dengan baju lain. Iman formal sering menamai lagumu sebagai bukan hanya sesat, namun juga menyesatkan. Na’udzubillah, tsumma na’udzubilla min dzalik!
Tidak apa-apa, aku terlambat membawa naskah ini ke percetakan, sehingga agak lebih terlambat lagi sampai kepadamu. Sebab, engkau tidak memberiku barang alamat sebuah pun, kecuali bahwa engkau adalah juga anggota dari semesta makhluk Tuhan, yaa, ya….., meski entah di seberang bumi-Nya yang mana. Atau barangkali, memang Dia yang di atas membuatnya demikian supaya niatku menulis itu lebih terjaga dari nafsu dan kepentinga sesaat yang bersifat duniawi.
Berulangkali aku baca bukumu (mengi’tibari Ibn Rusyd yang membaca Tahafudz al-falasifah al Gazalay sebanyak 200 kali sebelum membandingkannya dengan Tahafudz fi al-Tahafudz) dan tidak bisa tidak, kesimpulanku kembali dan kembali lagi bahwa, pamberontakanmu itu diakibatkan hanya seputar dua hal belaka: kekecewaanmu terhadap jamaah dan “keberanian”-mu mengumbar libido. Terkadang, hal itu kau cabai-garami tambahan dengan asumsi-asumsi eksintensialis yang prematur. Aku sudah emphaty selama hampir empat setengah tahun, supaya tidak terprovokasi sumpah serapahmu, terutama pada syahwatmu yang liar.
Sungguh berat betul rasanya menekan-nekan perasaan dan penaku, supaya tidak terjebak perilaku orang jahil. Sebagaimana Islam kaffah menasehatkan, jika menghadapi mulut nyinyir sepertimu, aku diajarkan bersabar dan bertutur dengan tetap masih harus ”yang menyelamatkan” (qoulan salaman). Sebab sama saja, ”Engkau beri peringatan atau tidak (orang-orang berhati batu itu; nabi kejahatan itu?), mereka tidak akan beriman; ”Sawaun ‘alaihim aandzartahum am lamtundzirhum la yu’minun” (QS.2:6)
Dulu, beberapa tahun sebelummu, nama-nama latar tempat yang kau sebut dalam kisahmu itu, juga mempunyai pertautan emosional denganku, bahkan hingga kini. Itu meneguhkan azamku untuk suatu saat aku harus berbagi cerita denganmu. Barangkali seperti kata orang Perancis, ”le historie le repetete’: kisah perjalananmu itu dalam spektrum dan intensitas lain, juga pernah aku lalui. Tidak hanya kita, Kang Danarto seperti pada kisah Asmaradana, pada God Lob-nya juga pernah.
Dunia tasawuf, memang sering melahirkan karakter tokoh model begini ini. Adakah sesuatu yang sepenuhnya baru di kolong langit ini, sedangkan peribahasa Yunani telah merumuskan ‘nihil novum sub sole’ (Tidak ada sesuatu yang baru di bawah kolong langit ini)?
Aku berbaik sangka pada Gustiku, bahwa sesungguhnya perjalananmu dan perjalanan banyak orang sepertimu, barangkali juga aku, merupakan sebuah cetak biru (blue print) route abadi, yang disediakan bagi salah satu tipologi makhluknya sepanjang sejarah. Di samping itu, masih terdapat karakter-karakter lain yang meski diperankan di atas pentas panggung semesta ini.
Namun begitu, tetap saja, sebagaimana route nasib yang lain mana pun, peluangnya masih akan fifty-fifty untuk menjadi pemenang atau pecundang. Aku khawatir, melalui pernyataan verbalmu dalam buku itu, engkau sengaja memilih sad ending dan cenderung kepada pecundang (losser), untuk itulah engkau memerlukan minta izin kepada Tuhan untuk menjadi pelacur, sebuah permohonan yang tentu saja di samping naif sekaligus juga provokatif.
Sebab, apakah pernah ia mengizinkan-mu untuk menjadi pelacur? Kalau engkau ragu, lebih tepatnya tidak pernah Ia memberi izin, maka secara subtansial berarti kalimatmu itu bukan kalimat permohonan izin. Lazimnya, meminta izin itu ditempuh pada saat suatu pekerjaan akan dilaksanakan dan bukan sesudah pelaksanaan sesuatu pekerjaan. Artinya, jika izin sudah diberikan baru pekerjaan boleh dilaksanakan, dan jika sebaliknya, izin tidak diberikan maka pekerjaan itu sama sekali tidak boleh dilaksanakan. Atau sama saja, jika jelas-jelas telah ada larangan dari-Nya untuk tidak melacur, dan engkau belum mendapat dispensi dari-Nya, tetapi tetap saja nekad engkau melacur berarti apa makna permohonan izinmu, Nidah? (Bersambung)
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
Nidah, makhluk mana pun engkau, begitu buku ”best seller”mu sampai di tanganku 2003-an lalu, hatiku terasa teraduk-aduk.Di samping ada banyak sekali hal yang aku setujui darimu, tetapi barangkali lebih banyak lagi yang aku tidak sejui. Oleh karena itu, seusai halaman terakhir bukumu aku tutup tanganku sudah terasa gatal di ujung keyboard komputer bututku untuk membalasi suratmu itu.
Meski berbeda keyakinan, tetapi tidak ada salahnya kita berperilaku dewasa, laiknya etika orang-orang dewasa lainnya di dunia beradab. Tidak perlu keluh tertahan, caci maki apalagi umpatan dan sumpah serapah. Supaya anak beranak kita, jadi generasi baru di negeri ini kelak, terbiasa menyelesaikan masalah dengan menulis buku. Makanya, aku tulis memoar-autobiografi kecil ini, supaya menjadi penyeimbang dari ekspresi pemberontakanmu, meskipun sesungguhnya aku masih juga tidak yakin, engkau “berani” secara satria meminta izin kepada-Nya untuk menjadi “pemberontak”.
Sebab, pemberontakan akan berarti permintaan izin menjadi penghuni neraka Jahanam; sudah engkau pikir betulkah niatmu menantang-nantang Tuhan menjadi nabi kejahatan? Kalau itu maumu, sama saja engkau minta izin atau tidak. Jahanam yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali, memang disediakan untuk orang ”pemberani”seperti itu. Lamat-lamat aku dengar si Salman “Satanic Verses” Rusdhie, apakah itu engkau dengan baju lain. Iman formal sering menamai lagumu sebagai bukan hanya sesat, namun juga menyesatkan. Na’udzubillah, tsumma na’udzubilla min dzalik!
Tidak apa-apa, aku terlambat membawa naskah ini ke percetakan, sehingga agak lebih terlambat lagi sampai kepadamu. Sebab, engkau tidak memberiku barang alamat sebuah pun, kecuali bahwa engkau adalah juga anggota dari semesta makhluk Tuhan, yaa, ya….., meski entah di seberang bumi-Nya yang mana. Atau barangkali, memang Dia yang di atas membuatnya demikian supaya niatku menulis itu lebih terjaga dari nafsu dan kepentinga sesaat yang bersifat duniawi.
Berulangkali aku baca bukumu (mengi’tibari Ibn Rusyd yang membaca Tahafudz al-falasifah al Gazalay sebanyak 200 kali sebelum membandingkannya dengan Tahafudz fi al-Tahafudz) dan tidak bisa tidak, kesimpulanku kembali dan kembali lagi bahwa, pamberontakanmu itu diakibatkan hanya seputar dua hal belaka: kekecewaanmu terhadap jamaah dan “keberanian”-mu mengumbar libido. Terkadang, hal itu kau cabai-garami tambahan dengan asumsi-asumsi eksintensialis yang prematur. Aku sudah emphaty selama hampir empat setengah tahun, supaya tidak terprovokasi sumpah serapahmu, terutama pada syahwatmu yang liar.
Sungguh berat betul rasanya menekan-nekan perasaan dan penaku, supaya tidak terjebak perilaku orang jahil. Sebagaimana Islam kaffah menasehatkan, jika menghadapi mulut nyinyir sepertimu, aku diajarkan bersabar dan bertutur dengan tetap masih harus ”yang menyelamatkan” (qoulan salaman). Sebab sama saja, ”Engkau beri peringatan atau tidak (orang-orang berhati batu itu; nabi kejahatan itu?), mereka tidak akan beriman; ”Sawaun ‘alaihim aandzartahum am lamtundzirhum la yu’minun” (QS.2:6)
Dulu, beberapa tahun sebelummu, nama-nama latar tempat yang kau sebut dalam kisahmu itu, juga mempunyai pertautan emosional denganku, bahkan hingga kini. Itu meneguhkan azamku untuk suatu saat aku harus berbagi cerita denganmu. Barangkali seperti kata orang Perancis, ”le historie le repetete’: kisah perjalananmu itu dalam spektrum dan intensitas lain, juga pernah aku lalui. Tidak hanya kita, Kang Danarto seperti pada kisah Asmaradana, pada God Lob-nya juga pernah.
Dunia tasawuf, memang sering melahirkan karakter tokoh model begini ini. Adakah sesuatu yang sepenuhnya baru di kolong langit ini, sedangkan peribahasa Yunani telah merumuskan ‘nihil novum sub sole’ (Tidak ada sesuatu yang baru di bawah kolong langit ini)?
Aku berbaik sangka pada Gustiku, bahwa sesungguhnya perjalananmu dan perjalanan banyak orang sepertimu, barangkali juga aku, merupakan sebuah cetak biru (blue print) route abadi, yang disediakan bagi salah satu tipologi makhluknya sepanjang sejarah. Di samping itu, masih terdapat karakter-karakter lain yang meski diperankan di atas pentas panggung semesta ini.
Namun begitu, tetap saja, sebagaimana route nasib yang lain mana pun, peluangnya masih akan fifty-fifty untuk menjadi pemenang atau pecundang. Aku khawatir, melalui pernyataan verbalmu dalam buku itu, engkau sengaja memilih sad ending dan cenderung kepada pecundang (losser), untuk itulah engkau memerlukan minta izin kepada Tuhan untuk menjadi pelacur, sebuah permohonan yang tentu saja di samping naif sekaligus juga provokatif.
Sebab, apakah pernah ia mengizinkan-mu untuk menjadi pelacur? Kalau engkau ragu, lebih tepatnya tidak pernah Ia memberi izin, maka secara subtansial berarti kalimatmu itu bukan kalimat permohonan izin. Lazimnya, meminta izin itu ditempuh pada saat suatu pekerjaan akan dilaksanakan dan bukan sesudah pelaksanaan sesuatu pekerjaan. Artinya, jika izin sudah diberikan baru pekerjaan boleh dilaksanakan, dan jika sebaliknya, izin tidak diberikan maka pekerjaan itu sama sekali tidak boleh dilaksanakan. Atau sama saja, jika jelas-jelas telah ada larangan dari-Nya untuk tidak melacur, dan engkau belum mendapat dispensi dari-Nya, tetapi tetap saja nekad engkau melacur berarti apa makna permohonan izinmu, Nidah? (Bersambung)
* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.
Subscribe to:
Posts (Atom)